KabarBaik.co- Pada masa ketika pita kaset menjadi harta karun dan radio menjadi jendela dunia, udara Nusantara pernah dipenuhi suara lembut para perempuan berhijab. Mereka bukan sekadar penyanyi. Mereka adalah penyampai risalah melalui irama. Kasidah modern pun lahir, menautkan nada dan dakwah, menggubah spiritualitas menjadi lagu-lagu yang hidup di hati rakyat. Dari panggung kampung hingga pentas dunia, nama-nama seperti Nasida Ria, Nida Ria, dan Persada Ria bersinar seperti tiga bintang di langit malam yang sama. Menyebarkan cahaya kebaikan melalui harmoni.
Dari Semarang, tahun 1975, berhembus angin pembaruan. Nasida Ria lahir. Mereka adalah pelopor kasidah modern. Jembatan antara rebana dan gitar, antara pesan spiritual dan ritme universal. Lagu-lagu mereka seperti Perdamaian, Bom Nuklir, dan Kota Santri, dan lainnya bukan hanya melodi, tetapi juga doa yang bernyanyi tentang cinta, kemanusiaan, dan perdamaian. Suara Nasida Ria bahkan menembus batas negeri, membawa salam damai hingga ke Jerman dan Malaysia. Gema dari Indonesia yang bersujud lewat musik.
Beberapa tahun kemudian, dari denyut inspirasi yang sama, lahirlah Nida Ria di Jakarta. Jika Nasida Ria adalah matahari yang bersinar terang, maka Nida Ria adalah bulan yang menenangkan malam. Lagu-lagu mereka seperti Anakku Sayang dan Cinta di Jalan Allah menetes lembut di hati pendengarnya, menjadi penyejuk di tengah hiruk-pikuk zaman. Kasidah pun menemukan wajah lain: lembut, melankolis, dan mendalam.
Sementara itu, dari tanah pesantren di Lamongan, Jawa Timur, gema kasidah juga kembali berpadu dengan doa. Di Pondok Pesantren Sunan Drajat lahir Persada Ria, singkatan dari Persatuan Santri Dakwah. Dari tangan-tangan santriwati bersarung doa, lahirlah irama sederhana namun sarat makna. Busana anggun, suara yang jernih, dan lirik yang menapak pada ajaran para wali, semua berpadu menjadi dakwah yang membumi. Mereka seperti warisan nilai-nilai dari Sunan Drajat yang hidup kembali dalam bentuk nada.
Namun di balik semua kilau itu, ada satu nama yang jarang disebut, meski nadanya mengalun di banyak bibir: Masbul B.A. Ia bukan selebritas, bukan maestro yang hidup di panggung megah, melainkan seorang guru agama dari Desa Kemangi, Bungah, Gresik. Seorang perajin makna yang menenun lirik dengan keikhlasan. Dialah tangan sunyi di balik banyak lagu yang dinyanyikan oleh tiga grup kasidah besar itu.
Lahir di Jawa Tengah dan menempuh pendidikan di IAIN (kini UIN) Sunan Ampel Surabaya, Masbul kemudian menetap di Gresik setelah menikahi Hj. Mariatun Uzma Ainun, teman kuliahnya. Dalam diri Masbul mengalir darah seni dari sang ayah, seorang dalang wayang kulit. Karena itu, setiap lagu yang ia tulis seolah memiliki “jiwa wayang”. Yakni, religius namun estetik, sederhana, penuh simbol.
Dari rumah sederhana di kampung, Masbul menulis ratusan lagu. Ia merekamnya dengan peralatan seadanya, menyalin di kaset pita, dan mengirimkannya ke Puspita Record di Jakarta. Kadang diterima, kadang tidak. Tapi, ia tak pernah berhenti mencoba dan berkarya. Nabi Muhammad Mataharinya Dunia menjadi salah satu ciptaan terkenalnya. Satu bait lagu yang masih berputar hingga kini, menandai keabadian nada seorang guru desa.
Bermula sekitar tahun 1987. Perjalanan pengiriman lagu-lagu itu dimulai. Dari situ, datang pula beberapa penghargaan, sebuah motor Vespa, bahkan mobil Kijang. Sejatinya, bukan kemewahan yang dikejar, melainkan kepuasan spiritual saat mendengar karyanya mengudara. Biasanya saat Ramadan kala itu menjadi masa panen karena lagu-lagu almarhum banyak diputar di televisi dan radio-radio sehingga dapat royalty dari karya cipta Indonesia.
Sebagai ayah, Masbul adalah guru yang menanam nilai tanpa paksaan, mendidik dengan keteladanan, dan berdialog dengan cinta. Ia membuka ruang bagi anak-anaknya untuk berpikir dan berpendapat. Di rumahnya, agama, seni, dan politik bisa berbincang di satu meja dengan secangkir kopi dan senyum tenang.
Di luar dunia musik, Masbul adalah pendidik sejati. Ia mendirikan madrasah di kampungnya, menjadi kepala sekolahnya, dan pernah mengajar di lembaga di bawah naungan Ponpes Qomaruddin Bungah, salah satu pesantren tertua di Gresik. Bapak dua anak itu bukan sekadar guru, tetapi pelita yang menuntun dengan senyum dan kesederhanaan.
Namun pelita yang menyala lama, kerap mengorbankan minyaknya sendiri. Sekitar tahun 2000, ia menerima permintaan menciptakan satu album berisi sepuluh lagu dalam tiga hari. Ia bekerja seolah tanpa tidur, hanya ditemani kopi dan rokok. Dan ketika semua selesai kemudian hendak mengirimkan karyanya itu ke Jakarta, tubuhnya runtuh. Stroke menyerang, membuatnya harus dirawat di rumah sakit karena pendarahan. Meski gagal berangkat ke Jakarta, kaset hasil karyanya tetap meluncur. Sebuah bukti cinta yang tak kenal batas tenaga.
Seusai sembuh, semangatnya tak pudar. Masbul tetap menggubah lagu, membina grup Persada Ria di Pondok Sunan Drajat, membantu melahirkan generasi baru kasidah modern. Lagu-lagu ciptaannya menjadi jembatan antara iman dan nada bagi para santriwati muda.
Tahun 2012, senar kehidupannya berhenti bergetar. Dalam usia 55 tahun, Masbul berpulang — namun nada-nada karyanya terus hidup. Di madrasah, di pesantren, di radio kampung, kini di platform digital, di hati mereka yang mendengarkan. Ia telah berdakwah bukan lewat mimbar besar, tapi melalui nada yang merasuk ke jiwa.
Masbul adalah guru yang mengajarkan iman melalui melodi, ayah yang mendidik dengan cinta, dan seniman yang mengabdi tanpa pamrih. Dari Semarang hingga Gresik, dari panggung hingga pesantren, suaranya masih bergaung, menjadi bukti bahwa seni yang lahir dari iman dan ketulusan tak akan pernah padam. Hanya berubah menjadi gema abadi di udara. (*)







