Melayar untuk Ibadah, Tradisi Kajakan Nelayan Randuboto Gresik

oleh -368 Dilihat
2a7947d0 151f 4910 987d 184bf50bd7d8
Kajakan Randuboto Gresik. (Foto: Ist)

KabarBaik.co – Di pesisir utara Gresik, saat fajar Minggu (27/4) kala itu masih basah dan angin laut belum sepenuhnya terjaga, belasan perahu kayu mulai menggeliat dari dermaga Desa Randuboto, Kecamatan Sidayu.

Riuh ombak pagi bersahut dengan suara mesin diesel yang meraung pelan. Di atas gelombang yang bergoyang tenang, bukan semata tangkapan yang menjadi tujuan, melainkan sebuah niat mulia yang diwariskan dari masa silam yaitu tradisi Kajakan.

Tradisi ini bukan sekadar kegiatan melaut berjemaah. Ia adalah nyanyian lama yang dihidupkan kembali, sebuah napas solidaritas yang tumbuh dari jaring dan kail, lalu berlabuh di halaman rumah ibadah.

Kajakan adalah ikhtiar kolektif nelayan Randuboto yang sejak ratusan tahun lalu, menyatukan hasil tangkapan laut mereka untuk satu tujuan suci yaitu merenovasi langgar, musala, dan masjid yang membutuhkan.

Tahun ini, giliran langgar Sabilul Muttaqin menjadi dermaga tempat hasil laut bersandar. Para nelayan yang terdiri sekitar 150 orang dalam 52 perahu itu turun serempak ke laut, seakan menjawab panggilan yang lebih dalam dari sekadar nafkah harian.

Dari pagi hingga siang mereka berjibaku dengan arus dan jaring, menangkap kerang kecil, sembilang, kepiting, hingga pari. Tak lama, aroma asin dan semangat gotong royong memenuhi tepian desa.

Hasil tangkapan mencapai lebih dari satu kuintal, dijual ke pengepul, dan terkumpul sekitar lima belas juta rupiah. Uang itu lantas dialirkan bukan ke kantong pribadi, melainkan ke lantai-lantai langgar yang akan dipaving, ke kran-kran tempat wudhu yang akan diperbarui menjadi amal yang terus mengalir.

Bagi Subianto, 41 tahun, salah satu nelayan, Kajakan bukan hanya menghidupkan kenangan, tetapi juga menyambung iman. Di matanya, tradisi ini adalah warisan yang seharusnya tidak karam di dasar waktu.

“Kami melaut bareng, tapi tujuannya bukan untuk kami sendiri. Hasilnya kami serahkan ke langgar. Rasanya seperti ibadah juga,” katanya sambil menepuk-nepuk keranjang berisi kerang, Minggu (27/4).

Andhi Sulandra, Kepala Desa Randuboto, menyebut tradisi Kajakan terakhir diadakan pada tahun 1998. Sejak itu, ia seperti kapal tua yang terdiam di pelabuhan sejarah. Kini, dengan dorongan masyarakat dan semangat kolektif yang tumbuh kembali, Kajakan dihidupkan sebagai wujud nyata dari nilai gotong royong yang nyaris pudar di tengah zaman serba individualis.

“Masyarakat Randuboto ini punya banyak tempat ibadah. Kajakan adalah cara kami saling bantu. Harapannya, tahun depan bisa terus digelar. Bukan hanya di laut, tapi juga di hati,” ujar Andhi, matanya menatap jauh ke laut, seakan sedang membaca pusaran arus masa depan.

Kajakan, dalam sunyi laut dan riuh niat baiknya, menjadi bentuk lain dari wakaf, bukan dari tanah atau uang, tapi dari keberanian menantang ombak demi membangun rumah Tuhan. Di Randuboto, iman ditambatkan bukan hanya di sajadah, tapi juga di jaring-jaring nelayan yang dijalinkan bersama.(*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Penulis: Muhammad Wildan Zaky
Editor: Andika DP


No More Posts Available.

No more pages to load.