Membaca Buku Puisi Cica Karya Cyntha Hariadi Melihat Rumah Lama Menjelma Mesin Luka

Editor: Gagah Saputra
oleh -151 Dilihat
Buku Puisi Cica Karya Cyntha Hariadi.(IG penerbit)

Buku puisi “Cica” karya Cyntha Hariadi hadir dengan 96 puisi yang terbagi dalam dua babak, meskipun tidak tercantum eksplisit dalam daftar isi.

Babak pertama, bertajuk “Padangan”, sebuah jamuan makan bersama, baik di rumah sendiri maupun di rumah orang lain. Puisi-puisi Cyntha Hariadi terasa begitu hangat dan akrab, dengan penggunaan bahasa Indonesia yang dipadukan dengan dialek Cina Benteng, Sunda, Jawa, Medan, Belanda, Inggris, hingga Betawi.

Sudut pandang yang diceritakan dari mata anak-anak menghadirkan kepolosan dan kejernihan dalam cara pandang puisi.

Tengoklah satu puisi ini:

Berbeda dengan babak pertama, bagian kedua yang bersubjudul “Kebadi” atau “kesurupan” menghadirkan nuansa yang lebih kompleks.

Baca juga:  4 Rekomendasi Buku Inspiratif untuk Meningkatkan Motivasi: Temukan Semangat Baru dalam Diri Anda

Ragam sudut pandang, dari anak-anak yang beranjak remaja hingga dewasa, membuat nada puisi berubah menjadi lebih garang, penuh amarah, dendam dan trauma.

Hal ini diperkuat dengan realitas yang disuguhkan, yaitu gambaran kekacauan sosial pada Mei 1998.

Coba tengok dan bedakan bagian kedua buku puisi ini dengan bagian pertama di atas, nuansa traumatiknya begitu menyala:

Puisi-puisi dalam “Cica” lahir dari perpaduan memori pribadi, sejarah keluarga, dan lingkungan multietnis dan multitradisi yang mewarnai kehidupan komunitas Cina Benteng. Perpaduan budaya Tionghoa, Medan, Jawa, Islam, Kristen, dan Konghucu tergambar jelas dalam puisi-puisi ini.

Baca juga:  8 Fakta Keren Membaca Buku

Bahasa yang digunakan pun terbilang hibrid, beralih-alih antara bahasa Cina Benteng, Jawa, Sunda, Belanda, Inggris dan Bahasa Indonesia. Perpaduan bahasa (code-mixing) ini menghasilkan bunyi yang unik, bagaikan alunan musik jazz, blues, atau bahkan hip-hop, yang menghadirkan pengalaman membaca yang semakin imersif.

Begitulah, di awal bukunya Cyntha Hariadi mengutip pernyataan Yiyun Li tentang ingatan biografis, sebuah rumah lama yang akan selalu mengikuti dan memanggil, bahkan menghantui, dan di akhir bukunya Cyntha pun menulis bahwa memori adalah mesin luka.

Baca juga:  Mantan Jurnalis Moncer, Ketua MPR RI Bamsoet Segera Luncurkan Buku ke-31

Bisa dikata, secara dominan puisi-puisi Cyntha Hariadi dalam buku Cica ini menyuarakan politik identitas yang harus dihadapi dengan kejembaran hati dan pikiran. Jembar dalam arti luas/ombo sekaligus jeru/dalam. Puisi-puisinya mempertebal kebhinnekaan, keberagaman, perbedaan. Tanpa kejembaran hati dan pikiran, pembacaan akan menjadi mesin luka penggali jurang perbedaan dan mempersempit cita-cita ketunggal-ika-an, ketetap-satu-jua-an. Sebuah komunitas/rumah (ke)manusia(an) yang adil dan beradab. Semoga pembaca kita selalu diberi kejembaran hati dan pikiran.(*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.