Membayangkan Si Kurcaci Monster di Tribun Stadion Pierre Pibarot

Editor: Hardy
oleh -456 Dilihat

OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)

TIMNAS Indonesia U-23 melawan Guinea (baca Gini, Red). Malam (9/5) nanti, pukul 20.00 WIB. Rencananya, disiarkan langsung RCTI. Kedua tim berebut satu karcis tersisa. Untuk dapat menjejak stadion di pesta akbar olahraga dunia: Olimpiade 2024 di Paris, Prancis.

Timnas Indonesia harus melakoni playoff melawan Guinea. Sebab, di perebutan tempat ketiga Piala Asia lalu, Garuda Muda dikandaskan Irak 2-1. Nyaris menang. Unggul lebih dulu. Sayangnya, keunggulan itu berbalik. Indonesia pun harus tanding hidup-mati melawan tim dari Afrika Barat itu. Ah, sudahlah…

Untuk menghibur diri sambil menanti kick off laga penting dan bersejarah itu, beberapa kali saya menghitung bunyi suara tokek. Saat di warung kopi atau rumah. Juga, menghitung kancing baju setiap kali memakainya. Tokek, menang. Tokek, kalah. Begitu seterusnya sampai bunyi tokek tidak terdengar lagi. Tekadang pas di akhir menang, namun juga kalah.

Anda sudah tahu, saat melawan Guinea di Paris malam nanti, skuad timnas Indonesia tampaknya sedang tidak baik-baik saja. Tidak dalam formasi terbaik yang lengkap. Kabarnya, Justin Hubner tidak bisa bermain. Demikian juga Rizky Ridho. Upaya PSSI mendatangkan Elkan Baggott pun masih gelap. Belum ada sinyal persetujuan dari klub yang dibelanya saat ini.

Baca juga:  Vietnam 0-3 Indonesia: Gol Perdana Jay Idzes dan Ragnar Oratmangoen, Patahnya Rekor 20 Tahun Silam!

Di pihak lawan, untuk merebut satu karcis tersisa ke Olimpiade 2024, Anda pun tahu, Guinea sampai-sampai mendatangkan sejumlah pemain terbaiknya. Mereka yang merumput di Liga Eropa. Setidaknya, ada 13 pemain. Rata-rata bermain di Liga Perancis.

Salah seorang di antaranya, pemain jebolan Barcelona yang kini bermain untuk Getafe, Ilaix Moriba. Rekam jejaknya baik. Harga transfernya, jangan tanya. Sepuluh kali lipat harga pemain termahal Indonesia. Selain Moriba, ada Ibrahim Diakite (Stade Lausane, Swiss), Facinet Conte (Bastia), dan Saido Sow (Stasbourg).

Dari sisi peringkat FIFA, Guinea juga lebih unggul. Guinea berada di rangking 76, sementara Indonesia masih nangkring di 143. Keder? Anda pasti sepandangan dengan saya. Semestinya, timnas Garuda Muda tidak perlu gentar atau minder.

Meski dalam kondisi sedang tidak baik-baik saja, tapi niat, semangat, dan kebulatan tekad bersama, biasanya kerap mengalahkan segalanya. Sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Bunyi tokek yang di akhir semula jatuh ke kalah, boleh jadi ternyata tokek besuara sekali lagi: Tokek…menang.

Baca juga:  Indonesia U-23 vs Australia U-23: Garuda Muda Pantang Menyerah

Seperti dalam catatan saya sebelumnya, kata-kata ajaib yang dapat menjadi pelecut semangat adalah memutar kembali pernyataan Winston Churcill, perdana menteri Inggris (1940-1945). Kala menghadapi tekanan berat di Perang Dunia II, Churcill berkata: “It is our darkest hour, but we will make it.”

Dalam laga melawan Guinea, saya pun membayangkan kehadiran Andi Ramang. Anda sudah tahu, ia pemain timnas Indonesia yang legendaris. Ramang dkk lah yang kali pertama dan terakhir menorehkan sejarah bahwa Indonesia pernah disegani di panggung sepak bola dunia. Yakni, Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia. Kala itu, Indonesia sukses melangkah ke perempatfinal, sebelum kalah dengan Uni Soviet 2-0.

Ramang juga mencatatkan namanya sebagai satu-satunya pemain asal Indonesia yang diulas FIFA. Pria kelahiran Makassar itu mendapat julukan Kurcaci Monster. Tubuhnya yang tidak ideal bagi seorang pemain sepak bola alias kecil, tidak lantas membuatnya minder. Justru, akrobat-akrobat yang dilakukan saat berada di rumput hijau, membuat banyak orang terhenyak. Biasa menciptakan gol melalui tendangan salto. Ramang bergerak lincah seperti Kurcaci.

Baca juga:  Ernando Jadi Pahlawan, Timnas Indonesia Ukir Sejarah Baru, Sukses Tekuk Austalia

Kendati pertandingan Indonesia vs Guinea digelar tanpa penonton, tetapi saya membayangkan ’’Si Kurcaci Monster’’ sedang menyaksikan. Duduk di tribun Stadion Peirre Pibarot, Prancis. Dekat papan skor. Sesekali meneriaki dan memberikan semangat kepada Witan Sulaeman, yang sama-sama dari Provinsi Sulawesi. ‘’Jangan egois!’’

Dan, jika timnas Indonesia menang, maka Ramang pun tersenyum di alam sana. Senyum lirih, namun menggema se-Nusantara. Sejarah yang pernah ia dan kawan-kawan catatkan pada 1956, telah terulang. Tentu saja yang senang bukan hanya Ramang, juga jutaan fans sepak bola Indonesia.

Namun, saya tetap menggantungkan hope tidak terlalu melangit. Tidak sampai ke lapis tujuh. Sekadarnya saja. Ekspektasi yang berlebihan, kalau kenyataannya tidak sesuai harapan, nggak bahaya tah? Apalagi, kita hidup di ”negara lucu”. Maka, biasa-biasa saja. Menang-kalah, Alhamdulillah. Kita tetap satu: Indonesia. (*)

*) M. SHOLAHUDDIN, pecinta bola tinggal di Kampung Suci, Gresik.

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.