KabarBaik.co – Delman Slamet melintasi sisa-sisa kejayaan masa lampau di seputaran Alun-alun Gresik. Roda kayu bergemeretak di atas aspal yang kini lebih akrab dengan deru knalpot kendaraan bermotor ketimbang derap kaki kuda.
Di tengah arus modernitas yang terus mendesak maju, Slamet masih setia menggenggam kendali andong. Seakan menolak lupa pada romantisme kota yang dulu pernah begitu ramah pada kereta kuda.
Slamet, warga Kebomas, sudah lebih dari satu dekade menjadi kusir delman. Sebuah profesi yang ia lakoni setelah pabrik tempatnya bekerja dulu menyapanya dengan tiga huruf pahit: PHK.
Alih-alih meratapi nasib, Slamet memilih menjemput takdirnya di jalanan, memegang kendali delman, menghidupkan kembali roda-warisan yang kini perlahan tergilas zaman.
“Suka dukanya banyak, Mas. Kadang ramai, kadang sepi. Tergantung musim,” tuturnya lirih. Tangannya yang kasar mengelus leher kuda seolah memberi semangat.
Dalam musim ramai seperti saat musim liburan dan momentum hari besar keagamaan, delmannya bisa sibuk mengantar penumpang keliling alun-alun, dan ke wisma, tarifnya Rp50 ribu sekali putar. Tapi ketika musim paceklik tiba, Slamet bisa pulang dengan dompet yang tetap setipis saat ia berangkat.
Ia bekerja dari jam delapan pagi hingga tujuh malam. Setiap hari. Di bawah sengatan matahari atau guyuran hujan yang mengendap di pinggir langit, Slamet duduk menanti. Kadang, satu hari berlalu tanpa satu pun penumpang menaiki delmannya.
Namun, seperti kuda yang tetap berjalan meski tak tahu ujung padang, Slamet terus melaju. “Demi keluarga, Mas. Walaupun tidak ada penumpang, saya tetap di sini. Nunggu,” katanya.
Slamet bukan hanya kusir, tapi juga penjaga ingatan kota. Di tengah bangunan-bangunan baru yang tumbuh seperti jamur beton, dan generasi muda yang lebih memilih moda transportasi cepat dan instan, ia adalah lanskap hidup dari masa yang perlahan menghilang.
Sayangnya, Slamet dan teman-teman seprofesinya seperti bayang-bayang yang terlupakan. “Selama saya jadi kusir, enggak pernah dapat bantuan dari pemerintah,” katanya. “Bulan-bulan sepi juga tidak ada perhatian”.
Ironis, sebab untuk mendapatkan pelat resmi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), Slamet harus mengeluarkan biaya hingga Rp20 juta. Sebuah harga yang lebih pantas untuk sebuah investasi usaha besar, bukan sekadar izin melestarikan tradisi.
Kini, andong Slamet berjalan pelan di antara kenangan. Di sisi kiri-kanannya, deretan ruko dan warung yang dulunya ramai kini menua dan sunyi.
Wisma-wisma yang dulu dipenuhi wisatawan kini beranjak sepi, membuat denyut kawasan yang dulu menjadi magnet wisatawan itu makin lesu. Dan di tengah lanskap yang kehilangan semarak, Slamet terus bergerak. Menarik harapan di balik derap langkah kuda.
Ia tak banyak meminta. Hanya perhatian. Mungkin selembar kebijakan yang melihat mereka sebagai bagian dari wajah kota. Bukan sekadar pelengkap nostalgia.
“Saya cuma berharap, suatu hari nanti, kami bisa dianggap bagian dari pariwisata Gresik. Bukan hanya dekorasi yang bisa dilupakan,” ujarnya sebelum menarik tali kendali. Delman pun bergerak perlahan, menyusuri jalan yang kian sunyi seperti masa depan yang belum pasti.(*)