KabarBaik.co – Meski bukan tokoh agama ternama, pria ini memiliki peran penting dalam komunitas spiritual yang tak banyak dikenal orang. Komunitas itu adalah Penghayat Kepercayaan Kapribaden.
Pria itu adalah Herman Useno. Pria 65 tahun tersebut menyambut tamunya dengan senyum tenang di rumahnya di Perumahan Jombang Permai, Jombang.
Kapribaden bukanlah ajaran baru, juga bukan aliran sesat. Bagi Herman, Kapribaden adalah jalan hidup, atau ‘laku’, untuk mengenal diri hingga menyatu dengan Sang Urip, sebutan mereka untuk Tuhan.
“Kami tidak menyebut ini agama. Ini kepercayaan. Agama tetaplah agama, dan kami menghormati semuanya,” ujar Herman saat ditemui di rumahnya, Jumat (1/8).
Saat ini, Herman menjabat sebagai Ketua Kapribaden Jombang. Ia mengaku jumlah penghayat Kapribaden di wilayah itu memang tidak banyak, namun keberadaan mereka nyata.
Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Jombang, sudah ada 19 orang penghayat Kapribaden yang kini memiliki identitas resmi dalam dokumen kependudukan.
“Awalnya belum ada. Tapi sejak tahun 2020 sudah mulai ada yang mendaftar, dan sekarang totalnya menjadi 19 orang,” kata Kepala Bidang Pelayanan Pendaftaran Penduduk Dispendukcapil Jombang, Mufattichatul Ma’rufah.
Ma’rufah menjelaskan bahwa hal ini merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2017 yang mengakui penghayat kepercayaan sebagai identitas sah di kolom agama KTP dan Kartu Keluarga (KK).
“Ini bagian dari perintah MK yang sudah wajib kami tindak lanjuti. Sekarang di sistem kami memang sudah tersedia pilihan untuk ‘penghayat kepercayaan’ sebagai ganti agama,” jelasnya.
Berbeda dengan agama-agama besar, para penghayat kapribaden tidak melakukan ritual massal. Mereka berdoa di rumah masing-masing, terutama saat Senin Pahing, yang dianggap sebagai hari sakral.
“Yang kami sembah hanya satu, yakni Gusti. Tidak ada yang lain,” tutur Herman.
Menurut Herman, perjalanan spiritual dalam Kapribaden dimulai dari pengenalan diri raga dan roh yang disebut sebagai urip. Setelah seseorang dinilai siap, ia akan menerima ‘Kunci’, semacam bimbingan awal menuju pengenalan diri sejati.
Setelah itu, ia bisa meminta Asmo, nama bagi roh atau urip-nya, sebagai bentuk penghormatan kepada kehidupan yang berasal dari Tuhan.
“Kalau sudah bisa mijil, menyatukan raga dan urip, maka setiap tindakan bisa lebih selaras dengan petunjuk Tuhan,” imbuh Herman.
Berbeda dengan agama-agama lain yang memiliki kitab suci, Kapribaden tidak memiliki kitab yang bisa dibaca secara harfiah. Bagi mereka, ajaran diturunkan lewat rasa dan laku hati.
“Kitabnya tidak bisa dibaca, tapi dirasakan dengan hati,” kata Herman.
Herman menjelaskan bahwa manusia terdiri dari tujuh lapisan jasmani yakni rambut, kulit, daging, otot, tulang, sumsum, dan darah. Namun yang terpenting adalah urip, sebagai inti kehidupan dari Tuhan.
Herman mengaku bahwa masa lalu penghayat kepercayaan tidaklah mudah. Pada masa Orde Baru, mereka sering mengalami diskriminasi sosial maupun administratif. Kolom agama di KTP mereka hanya berupa strip (-), menandakan kekosongan.
“Mereka takut. Masih terbayang trauma masa lalu,” katanya.
Namun kini, berkat putusan MK, para penghayat bisa menikah secara sah di catatan sipil, dimakamkan sesuai adat, dan beribadah tanpa harus menyamar sebagai penganut agama resmi.
Kapribaden resmi berdiri sebagai Paguyuban pada 30 Juli 1978. Ajaran ini berakar dari tradisi Jawa dan spiritualitas leluhur. Sebuah ‘Sabdo Tinulis’ atau sabda tertulis dalam aksara Jawa menjadi dasar ajaran.
Ada pula simbol-simbol penting seperti tongkat kayu galih kelor yang diberikan oleh Romo Semono, salah satu tokoh spiritual awal, sebagai lambang amanah.
Meski sempat dikaitkan secara historis dengan Presiden Soekarno, komunitas ini tidak pernah menyebarkan ajarannya secara masif. Semuanya disampaikan dari hati ke hati.
“Kalau cocok, jalani. Kalau tidak, ya tidak apa-apa,” kata Herman sambil tersenyum.
Di lingkungan tempat tinggalnya, Herman hidup berdampingan dengan warga beragama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha tanpa konflik.
“Kami ini tidak sedang mencari siapa yang paling benar. Kami hanya ingin hidup selaras dengan kehendak Tuhan, seperti yang kami pahami lewat urip kami,” tutupnya.
Di tengah keragaman keyakinan di Indonesia, keberadaan para penghayat kepercayaan seperti Herman dan komunitas Kapribaden menjadi pengingat bahwa spiritualitas tidak selalu harus ramai dan formal. Ia bisa hadir dalam kesunyian, dalam ketulusan untuk mengenal diri dan Sang Pencipta. (*)






