Menggali Nilai Giri Kedaton, Tansformasi Perpustakaan dan Arsip Menjadi Brinda

oleh -919 Dilihat
FAIZ DUA

OLEH: FAIZ ABDALA*)

SEMASA memimpin Pajang, Joko Tingkir pernah mengumpulkan semua adipati atau penguasa tanah perdikan yang berada di bawah federasi Pajang. Ya, kalau era sekarang, layaknya Presiden Jokowi mengumpulkan para Gubernur atau Bupati. Memberi arahan atau semacam penyelarasan.

Tapi yang menarik. Joko Tingkir tidak sendiri. Ia didampingi sang guru, yakni Prabu Sunan Giri.

Dalam beberapa literatur, Giri Kedaton dikenal sebagai tanah pengukuhan raja-raja Islam. Konon, Joko Tingkir satu di antaranya. Karena itu, Joko Tingkir memiliki garis ideologis yang erat dengan Sunan Giri atau Giri Kedaton. Bahkan, sebab ‘petunjuk’ Sunan Giri pulalah, Joko Tingkir tahu Ki Gede Pemahanan dan Mataram Islam akan besar.

Semasa Mataram Islam berjaya, sedang berkuasa Sultan Agung, ia ingin menguasai semua jalur pelabuhan di pesisir utara Pulau Jawa. Tinggal Gresik yang belum. Tapi Sultan Agung sadar, hanya Ampel yang lebih tua keilmuan dari Giri Kedaton. Sultan Agung pun segan untuk berhadap-hadapan langsung dengan Giri Kedaton. Ia memanfaatkan salah seorang keturunan Ampeldenta yang menjadi menantu Mataram Islam, yakni Pengeran Pekik.

Ya, begitulah Gresik lampau. Punya sejarah besar. Bahkan peradaban. Tentang syahbandar. Jalur perdagangan. Selain Sunan Giri, ada pula Syekh Maulana Malik Ibrahim, sampai Sayid Ali Murtadlo atau Raden Santri. Para pandhita di era Majapahit.

Lantas, apakah tinggalan peradaban itu hanya akan dimaknai sebagai ritus, diziarahi makamnya setiap hari, atau lebih dari itu, tradisi ritusnya kita jaga tapi sekaligus menjadi inspirasi pembangunan?

Kita bisa belajar dari Banyuwangi. Sebuah entitas pinggiran yang ternyata beranjak menjadi salah satu primadona rujukan pembangunan daerah. Bahkan untuk urusan tourism, mulai dilirik para wisatawan sehingga tak selalu terlanjur ke Bali.

Tiga prinsip yang menjadi tumpuan Banyuwangi, yaitu desa, budaya, dan kearifan lokal. Budaya tidak selalu berkonotasi kearifan lokal. Apa yang datang dari luar, juga bisa didefinisikan sebagai budaya. Tapi Banyuwangi, ia tumbuh, beranjak dari kondisi ketertinggalan, dengan corak sosiologisnya.

Pun halnya dengan Kediri. Kabupaten maupun kota. Teknokrasi pembangunan mulai diperkuat dengan agregat kesejarahan. Beberapa produk infrastruktur yang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan PDRB, sebut saja bandara, menginfiltrasi ragam dan motif heritage lokal, khususnya kejayaan Kerajaan Kediri, ke dalam desain arsitektur-nya.

Pun Jembatan Brawijaya, jembatan ikonik di atas sungai Brantas, menjadi memoriar kejayaan Kediri sejak jaman Prabu Airlangga, Jayabaya, hingga Gajah Mada. Sebagai negara agraris, sungai adalah jalur utama hubungan internasional Kerajaan Kediri. Sadar hal itu, pemerintah kota Kediri memperindah jembatan, dan membangun taman kota estetis di bawahnya, sehingga menjadi area strategis untuk pertumbuhan ekonomi dan pusar interaksi warga.

Bahkan, Bupati Kediri Hanindito, bersama DPRD setempat menerbitkan Perda untuk mengembalikan ibukota kabupaten menjadi Pamenang. Hal itu merujuk pada kejayaan Kediri semasa dipimpin Prabu Jayabaya, yang beribukota di Pamenang.

***

Lantas, bagaimana dengan Gresik? Banyak yang bisa digali. Mulai arsitektur kota, ekologi bukit dan air, kesyahbandaran, visi maritim, konsep kesejahteraan sosial, hingga mitigasi kebencanaan. Sebagai sebuah peradaban, Giri Kedaton pasti mewariskan sebuah tatanan. Yang sebagian telah turun-temurun melalui tradisi tutur. Sebagian lagi tertulis melalui kesusasteraan, akan tetapi tercecer, entah di Solo, Malang, atau Belanda.

Beberapa, atau bahkan sebagian besar warisan dan kekayaan intelektual tersebut, telah kabur, dan akan semakin mengabur, tak tergenealogi. Terlupakan. Sebab itu, perlu untuk pelan-pelan digali, ditemukan kembali, guna kemudian memperkaya proses dan produk-produk teknokratis di pembangunan daerah.

Untuk itu, kiranya perlu dibentuk semacam pusat studi. Yang terakomodir, terfasilitasi oleh perangkat daerah. Kira-kira, ya seperti BRINDA. Yakni BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang berada di tingkat daerah. Badan ini yang nantinya punya peran menginventarisir kembali warisan serta kekayaan intelektual tinggalan kejayaan lampau Gresik, khususnya Giri Kedaton.

Di beberapa provinsi, kabupaten, atau kota, BRINDA ada yang dimerger dengan Bapelitbangda (Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah). Menjadi sebuah bidang di perangkat daerah, umumnya di Litbang Bappeda. Ada juga yang jadi UPT atau struktur setingkat eselon empat. Macam-macam memang implementasi dan praktiknya di daerah.

Tapi menurut penulis, bisa juga dipertimbangkan untuk diintegrasi ke Dinas Perpustakaan dan Arsip (Perpussip). Pertama, karena faktor urgensi BRINDA diintrodusir di daerah agar memperkuat kualitas teknokrasi berkelanjutan dan khususnya berwawasan heritage intelektual lokal. Kedua, untuk memperkuat peran literasi berakar lokal, serta kelembagaan Dinas Perpussip daerah.

Selama ini, Dinas Perpussip daerah kebanyakan hanya menjadi komplementer. Kurang dipandang strategis. Tidak semua memang, tapi kebanyakan.

Maka, literasi daerah perlu diperkuat. Memiliki ruh. Tidak lagi hanya peran kolektor atau katalog buku. Yang barangkali buku-buku itu kurang memiliki akar sosiologis dengan masyarakat lokal. Sehingga literasi seperti sebuah dialektika di ruang yang kosong. Tak menemukan konteks relevansinya.

Oleh karena, perlu literasi didorong ke orientasi yang lebih produktif. Berbasis proses penelitian, kajian, dan mengkontruksi kembali warisan serta kekayaan intelektual yang tercecer, berserakan, pasca linimasa sejarah yang terpaut. Supaya kemudian terkodifikasi, terbukukan, menjadi karya, sebuah kualitas literasi yang memiliki ruh, jiwa.

Akan muncul pertanyaan kemudian, apakah nanti akan menggabungkan Litbang Bappeda ke dalam? Ini yang perlu kajian lebih lanjut di Ortala (Organisasi dan Tata Laksana) Sekda. Mungkin ada baiknya tetap dipisah, Litbang tetap di Bappeda, dan core penelitiannya adalah murni teknokratis, semisal kajian pendapatan daerah. Atau, kajian evaluasi penerapan UHC/Jamkesda.

Sementara BRINDA Perpussip akan lebih ke arah kajian, penelitian, dan literasi. Sebagai pembanding, adalah kajian pendapatan kerajaan Giri Kedaton. Atau singkatnya, “Bagaimana prinsip-prinsip pajak dan kesejahteraan di masa Giri Kedaton?”

Mungkin hasil penelitiannya tidak secara langsung bisa diterapkan, seperti laiknya teknokratis murni. Tapi bisa diperas nilai, asas, sumber normanya. Untuk memperkaya khazanah teknokrasi serta menjadi inspirasi ide inovasi dan modifikasi program.

Atau, kajian tentang warisan pemikiran Sayid Ali Murtadlo. Tokoh ini sangat penting, karena begitu disebut dan disegani dalan literasi proses dakwah Islam di Pulau Madura. Nama putranya bahkan diabadikan menjadi nama sebuah pulau di timur Sumenep. Tapi kemudian, ketika gencar Bandar Grissee dibangun sebagai ekspresi infrastruktur kawasan heritage, narasi tentang Raden Santri justru terkesan terpunggungi oleh pembangunan.

Padahal, bila narasi dibangun di balik tegak produk infrastruktur, maka karya infrastruktur akan mampu bicara dan berdialog lebih panjang dengan zaman. Sebagai contoh, masyarakat Madura bahkan NTB akan berduyun-duyun datang ke Gresik, ziarah ke makam dan pemikiran Sayid Ali Murtadlo, datuknya.

Meski bagian dari perangkat daerah, tapi BRINDA Perpussip nantinya akan lebih banyak diisi para akademisi, pegiat kebudayaan dan sejarah, seperti Mata Seger, DKG, mahasiswa, dan lain sebagainya.

Untuk literasi, dan kualitas teknokrasi Gresik Maju. (*)

*) FAIZ ABDALA, Pegiat Literasi Gresik Alumnus UGM

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Editor: Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.