KabarBaik.co- Izin PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk menjual konsentrat tembaga ke luar negeri (ekspor) hasil menambang di Tanah Papua, memang sudah distop sejak 31 Desember 2024 lalu. Masa pemberian kelonggaran (relaksasi) izin itu sudah habis sesuai diatur dalam Undang-Undang tentang Minerba maupun Peraturan Pemerintah (PP).
Namun, sinyal pemerintah untuk kembali memberikan kelonggaran bagi PTFI tampaknya makin terang. Tinggal menunggu waktu. Hal itu tergambar dari rapat yang membahas perhomoman relaksasi PTFI bertempat di Kantor Kementerian Koordinator (Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, pada Jumat (7/2). Pihak Kementerian Perdagangan telah memberikan sinyal persetujuan.
Dilansir dari laman resmi Kementerian Perdagangan, hadir pada pertemuan itu Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Dyah Roro Esti. Ia didampingi Direktur Ekspor Produk Industri dan Pertambangan Andri Gilang Nugraha Ansari. Rapat tersebut dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto itu,
‘’Kementerian Perdagangan mendukung rencana relaksasi kebijakan ekspor dengan mempertimbangkan cost and benefit analysis dampaknya terhadap sisi hulu dan dampak sosial serta ekonomi dengan tetap memperhatikan keberlanjutan kebijakan Pemerintah terkait hilirisasi sumber daya alam,’’ kata Roro.
Sebelumnya, PTFI telah mengajukan permohonan relaksasi untuk tetap dapat mengekspor konsentrat tembaga. Sebab, pabrik smelter yang dibangun di Kabupaten Gresik, Jatim, terbakar pada Oktober 2024 lalu. Namun, pemerintah tidak serta memberikan izin. Sebab, sesuai ketentuan peraturan perundang-unangan, izin ekspor itu sudah berakhir pada 31 Desember 2024 lalu. Hal itu sejalan dengan program hilirisasi yang digagas pemerintah sejak terbitanya UU Minerba pada 2009 silam.
Kalaupun kebakaran itu menjadi dalih PTFI mengajukan kembali relaksasi, tentu pemerintah juga tidak bisa begitu saja gegabah. Ada regulasi-regulasi yang telah mengaturnya.
Mengacu beberapa aturan, kebakaran memang bisa saja termasuk kahar atau force majeure. Yakni, suatu keadaan di mana terjadi peristiwa luar biasa yang tidak dapat diprediksi, dihindari, atau dikendalikan oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian, sehingga menghalangi salah satu atau kedua belah pihak untuk memenuhi kewajiban mereka sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Nah, dalam masalah tersebut, sesuai UU Minerba, semua perusahan pertambangan diwajibkan untuk membangun smelter. Termasuk PTFI. Mereka tidak boleh lagi menjual langsung barang setengah jadi berupa konsentrat itu ke luar negeri. Namun, wajib mengolah menjadi bahan jadi di pabrik smelter yang telah dibangun.
Menanti Hilirisasi PT Freeport Indonesia Bukan Sekadar Omon-Omon
Dalam UU Minerba, pemerintah sudah memberikan batas waktu. Namun, terus molor beberapa kali sejak 2009. Termasuk karena Pandemi Covid-19 lalu. Nah, khusus PTFI, sudah membangun smelter di Gresik yang disebut menelan investasi mencapai USD 3 juta atau hampir Rp 50 triliun. Selama proses membangun smelter itu, PTFI masih diperbolehkan mengekspor konstrentrat tembaga.
Akhirnya, smelter di Gresik itu selesai. Pada September 2024 diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Eh, belum beroperasi secara penuh, pabrik yang dibanggakan sebagai single line terbesar di dunia itu, pada Oktober atau hanya berselang sekitar satu bulan, mendadak terbakat. Operaisonal pun dihentikan untuk perbaikan unit yang terbakar.
Nah, penyebab kebakaran itulah yang tengah dalam proses kajian dan penyelidikan investigasi. Sebab, tidak semua kebakaran bisa disebut force majeure. Dari referensi yang dihimpun KabarBaik.co, ada beberapa ciri kejadian yang bisa masuk kategori farice majeure. Misalnya, tidak dapat diprediksi (unforeseeable). Artinya, peristiwa tersebut tidak dapat diantisipasi atau diperkirakan sebelumnya oleh para pihak.
Lalu, tidak dapat dihindari (Unavoidable). Peristiwa tidak dapat dihindari atau dicegah meskipun telah dilakukan upaya yang wajar. Selain itu, di luar lendali (Beyond Control), Peristiwa tersebut terjadi di luar kendali para pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Beberapa contoh keadaan force majeure adalah bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tsunami, gunung meletus, atau badai besar. Lalu, konflik atau perang, yang mengganggu mengganggu aktivitas normal. Juga, wabah atau seperti Pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu. Adapun dasar hukum force meajeure antara lain Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.
Hilirisasi Bertujuan Baik, Potensi Dampak Limbah Industri Smelter Bisa Berbahaya
Nah, apakah kabakaran dapat dikategorikan sebagai force majeure? Mengacu ketentuan tersebut, kebakaran memang dapat dianggap sebagai force majeure jika memenuhi ketentuan antara lain unforeseeable dan unavoidable. Sebut saja, karena ada sambaran petir sehingga memicu kebakaran.
Bagaimana jika kebakaran disengaja atau terdapat kelalaian? Kelalaian itu seperti tidak mematuhi standar keselamatan (SOP) atau tidak melakukan perawatan peralatan, apakah termasuk force majeur? Kalau setiap kebakaran merupakan force majeur, bagaimaka kalau nanti kebakaran lagi? Apakah mengajukan relaksasi lagi?
Jika nanti kebakaran itu diputuskan sebagai force majeur, maka PTFI setidaknya tercatat mendapatkan 9 kali perpanjangan izin ekspor. Rencana hilirisasi agar Indonesia sebagai pemilik kekayaan alam mendapatkan nilai tambah dan manfaat lebih besar, kembali tertunda.
Yang jelas, sebelumnya, PTFI juga memiliki kewajiban untuk membayar denda atas keterlambatan pembangunan smelter di Gresik itu. Dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat potensi denda administratif PTFI itu mencapai USD 501,9 juta atau sekitar Rp 7,78 triliun.
Taksiran nominal tersebut berdasarkan realisasi kemajuan fisik pabrik smelter yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I-2023, BPK menemukan laporan hasil verifikasi kemajuan fisik 6 bulanan, sebelum adanya perubahan rencana pembangunan, tidak menggunakan kurva S awal sebagai dasar verifikasi kemajuan fisik. Hal ini mengakibatkan negara berpotensi tidak segera memperoleh penerimaan denda administratif dari PTFI sebesar USD 501,9 juta tersebut.
Berdasarkan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang diteken pada Desember 2018, PTFI semestinya harus menyelesaikan proyek pembangunan smelter itu pada 21 Desember 2022. Nah, apakah PTFI sudah membayar semua tagihan denda seperti hasil laporan BPK sebesar Rp 7,78 triliun itu? (*)