TAKDIR menuliskan namaku dalam lembaran para pelayan tamu-tamu Allah pada 2013 silam. Sebagai bagian Media Center Haji (MCH), kami mengemban tugas dan amanah yang bukan sekadar pekerjaan. Namun, ibadah dalam bentuk lebih sunyi dan tersembunyi. Di balik layar kerumunan dan keramaian, kami merangkai kisah, mengabarkan kabar, dan memelihara makna.
Di sela-sela tugas yang menyita detik demi detik, bersyukur Allah memberikan kesempatan berharga untuk menyusur jejak-jejak spiritual yang tersembunyi di celah Tanah Suci. Salah satunya: perjalanan menuju Jabal Magnet. Sebuah tempat yang bagi sebagian jemaah mungkin hanya menjadi lokasi wisata alternatif. Namun, bagiku ia menjelma menjadi simbol
Baca juga: Panggilan Langit
Bukit ini, atau lebih tepatnya kawasan bergelombang perbukitan yang mengandung fenomena magnetik di luar kelaziman, terletak sekitar 30 kilometer dari Kota Madinah. Kendaraan yang berjalan tanpa gas di lintasan menurun atau bahkan sedikit menanjak, seolah tunduk pada suatu gaya misterius. Bagiku dan beberapa teman seperjalanan, itu lebih dari sekadar atraksi fisika.
Kami memulai perjalanan dari Madinah saat pagi. Udara masih menyimpan sisa-sisa sejuk malam gurun. Mentari menyembul perlahan dari balik cakrawala, laksana jari-jari rahmat menyibak kabut makna. Dalam setiap deru mesin kendaraan yang kami tumpangi, ada gema doa-doa yang tidak terucap. Mengalun dari hati.
Seperti firman Allah SWT: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 20-21)
Kami bukan sekadar melihat bumi. Kami sedang belajar membaca tanda-tandanya. Saat kendaraan kami mulai memasuki jalur menuju Jabal Magnet, seorang teman berkata lirih, “Bayangkan, bumi saja bisa menarik kendaraan tanpa mesin. Bagaimana jika Allah sendiri yang menarik jiwa kita?”
Ucapannya terasa menusuk. Aku menoleh ke arah jalanan yang seolah tak logis. Mobil bergerak sendiri. Tapi, bukankah memang begitu pula hidup ini? Kadang kita merasa mengendalikan arah, padahal ada tangan tak terlihat yang menggerakkan. Ada kehendak Yang Maha Mengatur, yang menuntun ke titik-titik tak terduga.
Baca juga: Ziarah Rindu
Jabal Magnet bukan hanya peristiwa fisik. Ia adalah metafora spiritual. Seolah ia berbisik, bahwa manusia pun diciptakan dengan medan magnet batin yang senantiasa tertarik pada Tuhan. Sehebat apapun kita berjalan dengan ego, tetap ada tarikan lembut dari langit yang memanggil.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasad, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hati adalah pusat gravitasi spiritual. Ketika ia sehat, medan magnetnya akan kuat menarik kita pada Allah. Ketika ia rusak, kita menjadi seperti logam berkarat, kehilangan daya tarik ilahiah.
Mobil kami melaju tanpa pedal gas. Kami diam. Bukan karena takjub semata, tapi karena kami sedang diajar diam oleh semesta. Dalam diam itu, kami mendengar suara yang selama ini tenggelam. Suara nurani.
Jabal Magnet menjadi kelas filsafat paling purba. Bukit-bukitnya adalah paragraf-paragraf dari kitab terbuka alam raya. Padang pasirnya adalah lembaran-lembaran waktu, dan angin gurun adalah pena yang mencatat renungan.
Ada satu momen yang tak akan aku lupakan. Saat kami berhenti sejenak, aku turun dari mobil dan menatap cakrawala. Di kejauhan, bukit-bukit batu menghitam, membisu. Tapi dalam kebisuan itu, mereka seolah berbicara. Bahwa segala sesuatu di alam ini, yang tampak mati, sebenarnya hidup dalam zikirnya kepada Allah. “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka.” (QS. Al-Isra: 44)
Baca juga: Sepuntung Asap di Tanah Suci
Maka apa arti diam? Ia bukan ketiadaan suara, melainkan puncak dari kehadiran makna.
Fenomena Jabal Magnet juga mengingatkanku pada kisah ruh yang condong. Dalam kitab-kitab tasawuf, ruh manusia ibarat logam yang memiliki kecenderungan. Ada yang condong pada dunia, dan ada yang condong pada langit.
Sebagaimana kendaraan itu condong ke Jabal Magnet, jiwa manusia pun memiliki kecenderungan alami menuju Tuhannya. Dalam hadis Qudsi, Allah berfirman: “Barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Dan barangsiapa yang datang kepada-Ku berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jalan menuju Jabal Magnet bukan hanya jalan geografi. Ia adalah simbol dari jalan kembali pada Allah. Setiap langkah dalam haji, setiap perjalanan menuju tempat-tempat seperti itu, sesungguhnya adalah latihan untuk kembali. Untuk pulang.
Menatap batu-batu di Jabal Magnet membuatku teringat pada dua jenis hati. Hati yang keras seperti batu, dan hati yang lembut seperti air. Allah berfirman: “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal dari batu-batu itu sungguh ada yang memancar sungai-sungai…” (QS. Al-Baqarah: 74)
Baca juga: Sahabat di Tanah Suci: Seutas Tali Penenun Makna
Jabal Magnet menjadi tempat refleksi. Apakah hati kita seperti batu yang keras, atau seperti batu yang mampu memancarkan air?
Perjalanan ke Jabal Magnet kami tutup dengan zikir pelan dan obrolan ringan. Tapi di hati, riuhnya luar biasa. Kami tidak hanya membawa pulang foto dan cerita, tetapi juga sepotong kesadaran baru. Bahwa, setiap jengkal tanah suci, bahkan yang tidak tertulis dalam manasik, menyimpan ayat-ayat yang dapat dibaca oleh hati yang jernih.
Di tengah kesibukan sebagai bagian dari MCH, perjalanan ke Jabal Magnet menjadi titik hening. Seolah Allah memberi waktu jeda agar kami tidak hanya sibuk dalam tugas, tapi juga merenungi. Sebab, siapa tahu, pelayanan tanpa kesadaran bisa berubah menjadi rutinitas yang hampa. Adapun sebuah kunjungan, jika disertai dengan perenungan, bisa menjadi ibadah yang tak terduga.
Jabal Magnet bukan sekadar bukit. Ia adalah simbol dari daya tarik ilahi, daya pikat fitrah yang mengundang kita untuk kembali. Dalam sunyi padang pasirnya, kami mendengar panggilan untuk mendekat. Dalam tarikan misterius jalannya, kami melihat isyarat dari Yang Maha Menarik.
Seperti firman-Nya: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.” (QS. Al-Baqarah: 156)
Baca juga: Hajar Aswad dan Nama Ibu
Dan memang, seluruh perjalanan haji, termasuk ke Jabal Magnet, adalah tentang satu hal: Kembali. (*/bersambung)