KabarBaik.co- PT Pertamina (Persero) kembali menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi mulai hari ini, 1 Juli 2025. Kenaikan harga ini tentu menjadi kabar kurang menggembirakan bagi masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang relatif masih sulit. Terlebih, hampir semua jenis BBM non subsidi mengalami kenaikan harga.
Dari informasi di website resmi Pertamina yang dilihat pada Senin (30/6) malam, kenaikan harga ini merupakan implementasi dari Keputusan Menteri ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022, yang merupakan revisi dari Kepmen No. 62 K/12/MEM/2020. Perubahan ini mengatur ulang formula harga dasar BBM umum seperti bensin dan solar yang dijual melalui SPBU.
Kenaikan harga terjadi secara merata di berbagai wilayah, termasuk ibu kota. Untuk wilayah DKI Jakarta, harga Pertamax (RON 92) naik menjadi Rp 12.500 per liter, dari sebelumnya Rp 12.100. Atau, kenaikannya Rp 400 per liter. Kenaikan ini juga diikuti jenis BBM lainnya:
- Pertamax Turbo: Rp 13.500 per liter (sebelumnya Rp 13.050)
- Pertamax Green: Rp 13.250 per liter (sebelumnya Rp 12.800)
- Dexlite: Rp 13.320 per liter (sebelumnya Rp 12.740)
- Pertamina Dex: Rp 13.650 per liter (sebelumnya Rp 13.200)
- Pertamax di Pertashop: Rp 12.400 per liter
Kenaikan ini tentu makin menambah beban masyarakat, terutama kelompok menengah yang selama ini masih mengandalkan BBM non subsidi demi kualitas kendaraan.
Mengingat Ulang Skandal Pertamina
Sebelumnya, pada akhir Februari 2025, sebuah skandal besar mengemuka dan mencoreng wajah Pertamina. Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap praktik ’’pengoplosan’’ BBM. Praktik itu diduga telah berlangsung sejak lama. Namun, Kejagung mengusut hanya dalam rentang 2018 hingga 2023. Skandal itu dilakukan secara sistematis oleh sejumlah pihak di dalam tubuh anak usaha Pertamina serta broker eksternal.
Dampak dari kejahatan tersbeut tidak main-main. Perhitungan kerugian negara disebut-sebut mencapai Rp 193,7 triliun hanya pada 2023 saja. Jika ditotal sejak 2018 dengan perkiraan jumlah kerugian setara, maka potensi kerugian bisa mencapai Rp 968,5 triliun. Sejumlah kalangan menyantakan, angka kerugian itu mencerminkan kerusakan luar biasa terhadap sistem distribusi energi nasional dan menyentuh langsung sektor keuangan negara.
Dalam megaskandal itu, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka, yang terdiri atas enam eksekutif anak usaha Pertamina, termasuk mantan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, serta tiga broker dan importir BBM. Mereka diduga terlibat dalam manipulasi pasokan dan pencampuran BBM di tingkat depo, dengan tujuan meraup keuntungan pribadi.
Tidak lama setelah terungkap, kemarahan publik pun tidak terbendung. Ribuan warganet meluapkan kekecewaan di media sosial, menuntut keadilan bagi konsumen yang telah membeli Pertamax dengan harga lebih, namun mereka menerima kualitas BBM yang diduga hasil oplosan,
Survei Celios bersama LBH Jakarta pada 20 Maret 2025 mencatat dari 619 pengadu, sebanyak 86,4 persen mengaku mengalami kerugian ekonomi, dan 55,3 persen menyatakan kerusakan materiil, seperti kerusakan mesin kendaraan. Estimasi kerugian konsumen mencapai Rp 47,6 miliar per hari atau sekitar Rp 17,4 triliun per tahun.
Sementara itu, pihak Pertamina ketika itu membantah keras tuduhan pencampuran BBM tersebut. Namun, pihak Kejagung memiliki bukti kuat antara lain berupa catatan pembelian BBM RON 90 yang kemudian diberi label RON 92 dan dipasarkan sebagai Pertamax. Praktik ini disebut terjadi di beberapa depo milik Pertamina.
Dari informasi, persidangan sejumlah tersangka dijadwalkan berlangsung mulai pertengahan hingga akhir 2025. Kejagung pun terus menelusuri akumulasi kerugian sejak 2018 dan tidak menutup kemungkinan memperluas jumlah tersangka. (*)