Museum Potehi Gudo Jombang, Harmoni Budaya Tionghoa-Jawa yang Terus Berdenyut di Kota Santri

oleh -74 Dilihat
WhatsApp Image 2025 11 01 at 8.46.08 AM 1
Kolaborasi budaya Tionghoa dan Jawa hidup dalam setiap gerakan boneka potehi di Gudo (Teguh Setiawan)

KabarBaik.co– Di tengah derasnya arus budaya modern, upaya pelestarian seni tradisional masih berdenyut kuat di Jombang.

Denyut itu ada di Museum Potehi Gudo, Jombang, warisan budaya Tionghoa berpadu harmonis dengan kearifan lokal Jawa melalui teater boneka Potehi yang telah berusia ratusan tahun.

Museum ini berada di dalam kompleks Klenteng Hong San Kiong, Desa Gudo dan kini menjadi destinasi budaya yang makin diminati wisatawan.

Tak hanya pengunjung lokal, sejumlah influencer dari berbagai daerah di Jawa Timur juga datang untuk menyaksikan langsung keunikan teater boneka khas Tionghoa tersebut.

Mereka tak sekadar membuat konten, tetapi juga belajar proses pembuatan boneka Potehi yang terbuat dari kayu dan kain serta digerakkan sepenuhnya menggunakan tangan.

Begitu memasuki ruang pamer, pengunjung akan disambut deretan boneka berwarna mencolok dengan detail menawan.

Setiap karakter memiliki kisah dan makna tersendiri, mulai dari legenda klasik Tiongkok hingga cerita modern yang kini sering diangkat dalam pertunjukan.

Pendiri museum, Toni Harsono, menuturkan bahwa seni Potehi di Gudo telah ada sejak tahun 1920-an dan diwariskan lintas generasi. Ia menjelaskan, museum tersebut bukan hanya tempat pertunjukan, tetapi juga ruang edukasi bagi anak-anak dan masyarakat umum untuk mengenal seni teater tradisional.

“Potehi ini sebenarnya teater boneka dari Tiongkok Selatan. Po itu kain, kantong, dan hi pertunjukan. Jadi artinya ‘wayang kantong’. Satu boneka bisa berperan untuk banyak karakter dengan mengganti kostum dan topinya,” jelas Toni, Sabtu (1/11).

“Ceritanya bisa disesuaikan, dari legenda lama sampai kisah modern. Kami bahkan pernah tampil di UNESCO membawa cerita lokal Indonesia,” tambahnya.

Salah satu sosok yang mencuri perhatian di Museum Potehi Gudo adalah Muhammad Atahiya, dalang cilik berusia 11 tahun yang sudah piawai memainkan wayang Potehi sejak duduk di bangku kelas tiga SD. Dengan gerakan tangan yang lincah, Atahiya mampu menghidupkan berbagai karakter dalam pertunjukannya.

“Saya main ini sejak kelas tiga. Dulu sering lihat pertunjukan di Klenteng Gudo, terus ingin jadi dalang. Akhirnya belajar sama Pak Widodo, belajar hafalin cerita dan main musik juga,” ujar Atahiya.

Semangat anak-anak seperti Atahiya menjadi bukti bahwa teater Potehi masih memiliki tempat di hati generasi muda. Dengan bimbingan Toni dan para seniman lainnya, museum ini kini juga menjadi pusat kegiatan budaya sekaligus tempat pelatihan bagi siapa saja yang ingin belajar seni boneka tradisional.

Keberadaan Museum Potehi Gudo bukan hanya menjaga jejak sejarah, tetapi juga menjadi simbol kerukunan antarbudaya. Seni yang berakar dari tradisi Tionghoa ini kini tumbuh bersama masyarakat Jawa dan bahkan para santri di sekitar Gudo.

Melalui kolaborasi lintas budaya, Museum Potehi Gudo membuktikan bahwa pelestarian tradisi bukan sekadar menjaga masa lalu, tetapi juga menumbuhkan semangat kebersamaan dan toleransi di masa kini. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: Teguh Setiawan
Editor: Imam Wahyudiyanta


No More Posts Available.

No more pages to load.