KabarBaik.co – Di masa ketika sebagian orang seusianya sibuk menghitung detak waktu menuju senja, Dwi Soetjipto justru memilih memutar pedal, bukan malah menginjak rem. Mantan Direktur Utama Pertamina dan Kepala SKK Migas ini telah meninggalkan ruang-ruang beraroma negosiasi, digantikan aroma embun pagi, jalan menanjak dan embusan angin dari balik helm aerodinamisnya.
Bersepeda bagi Dwi Soetjipto bukan sekadar hobi. Ia adalah ritus baru, medium pembaruan diri dan titik temu antara kenangan dan masa depan.
“Dulu saya gunakan sepeda untuk menjalin kedekatan dengan rekan kerja. Sekarang, saya lebih memilih bersepeda untuk kesehatan,” katanya dalam satu kesempatan, senyumnya mengembang seperti langit pagi yang baru saja ditarik garis matahari.
Dalam sepekan ia bisa tiga kali mengayuh. Tak main-main, setiap sesi menembus jarak 60 kilometer lebih. Ada stamina, tentu. Tapi lebih dari itu, ada disiplin.
“Pagi-pagi saya sudah bangun. Karena tahu ada sesuatu yang berguna menanti, bukan sekadar tidur yang diperpanjang,” katanya.
Pernah satu waktu, dalam kunjungan kerja ke Bojonegoro, ia memutuskan untuk berangkat dari Surabaya dengan bersepeda, menempuh jarak 100 kilometer. Bagi sebagian orang, itu ekstrem. Namun bagi Dwi Soetjipto itu adalah latihan yang memberi rasa.
Ada banyak cara menandai usia. Tapi bagi Dwi Soetjipto, usia bukan soal angka, tapi tentang bagaimana menjaga semangat agar tetap hangat.
Di usia yang tak lagi muda, Dwi Soetjipto justru masuk dalam 110 pesepeda tercepat dunia saat mengikuti lomba di Bali. Start dan finish di Jembatan Merah, Klungkung, dengan 1.000 peserta, ia berhasil finis sebelum batas waktu yang ditentukan. Ia bukan hanya peserta, ia adalah pebalap dalam hidupnya sendiri dan ia tak mau tertinggal.
Di level nasional dan internasional, namanya juga tercatat sebagai peserta aktif berbagai event. Yang paling mencuri perhatian, tentu saja keikutsertaannya dalam Bromo KOM 2025, ajang kelas berat yang jadi barometer para pesepeda sejati. Jalurnya sangat gila, 94,5 kilometer dari Surabaya ke kawasan Bromo dengan elevasi 2.000 meter. Tanjakan yang mengiris napas. KOM—King of Mountain bukan hanya gelar, tapi pengakuan.
Sebanyak 1.500 peserta dari 19 negara berjejer di starting line mulai dari Jerman ke Korea, dari Brasil ke Belanda. Dwi Soetjipto dengan jersey kebanggaan dan sepeda yang disetel presisi, bergabung bersama mereka. Bukan untuk menjadi yang tercepat, tapi untuk menjadi yang terus melaju.
“Ini bukan soal menang atau kalah,” katanya. “Ini soal mengalahkan diri sendiri,” tegasnya.
Dalam hidupnya yang panjang, Dwi Soetjipto telah memimpin banyak kapal besar. Dari PT Semen Padang hingga Pertamina. Ia pernah jadi nakhoda dalam badai, penyelaras arah dalam ombak bisnis energi. Tapi kini, jalur hidupnya lebih sunyi, lebih jujur menyelusuri sepanjang aspal, diiringi suara rantai dan desir angin.
Dwi Soetjipto mengayuh bukan untuk lari dari masa lalu, tapi justru untuk merayakan hasilnya. Di atas sadel, ia menemukan versi dirinya yang tak lagi dikejar-kejar waktu, tapi justru menikmati tiap detiknya. Dalam dunia yang makin riuh, Dwi Soetjipto justru menemukan ketenangan pada suara pedal yang berputar.
Inilah kisah tentang seorang pria yang pernah berdiri di puncak korporasi negara, lalu merasa benar-benar hidup saat berada di tanjakan. Tangan menggenggam handlebar, mata menatap cakrawala.
Dwi Soetjipto bukan hanya bersepeda, ia sedang menulis ulang hidupnya, satu kilometer demi satu kilometer. Dan di setiap napas yang ia tarik saat mendaki, ia tahu satu hal pasti: jalan hidup ini masih panjang!