KabarBaik.co- Pagi itu, Gresik menyambut bukan hanya dengan cahaya mentari yang perlahan mengendap di pucuk masjid tua. Tapi, juga dengan getaran halus yang sulit dijelaskan logika. Langit seperti sedang membuka jendela-jendela rahmatnya, ketika ribuan orang berjalan perlahan menuju satu arah.
Kompleks Masjid Jamik Gresik, tempat di mana setiap tahun jejak ruhani seorang ulama, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, kembali ditapak, ditangisi, dan dirindukan para peziarah dari seantero Nusantara. Seolah waktu diatur ulang di hari itu, agar para perindu bisa bersua dalam satu ruang dan satu nafas. Haul.
Aku datang tak sendiri. Bersama seorang sahabat dari Jakarta, yang sama-sama akrab dengan julukan “Sarkub” di kalangan teman sefrekuensi. Jauh-jauh hari telah janjian bertemu di Haul Habib Abu Bakar itu. Haul tahun lalu pun demikian. Sebelum itu, kami pernah berziarah bersama ke Makam Kwitang, tokoh besar yang dulu kerap menjadi jujukan Gus Dur.
Tidak ada yang kebetulan dalam dunia ruhani. Bahkan dalam hal sesederhana tiket pesawat sekalipun.
Ia menelepon dari Jakarta di hari-hari menjelang haul. Suaranya sedikit cemas. Semua tiket ekonomi pesawat dari Jakarta-Surabaya penuh. Habis. Tinggal tiket kelas bisnis. Harganya Rp 5,3 juta sekali jalan. Mahal? Tentu. Tapi entah bagaimana, sahabatku berkata, “Aku niatkan malam ini menyebut nama Habib Abu Bakar. Kalau Allah berkehendak, pasti ada jalan.”
Maka Jumat malam, ia pun nekat meluncur ke Bandara Soetta. Tanpa kepastian, hanya bersandar pada harapan dan doa. Ajaib, namun tidak mengejutkan bagi hati yang percaya. Ternyata, ada satu tiket yang kosong, entah milik siapa yang di-cancel. Yang pasti, itu adalah tiket dari langit. Ia pun bisa terbang malam itu, dan aku menjemputnya di Bandara Juanda, Surabaya, dengan hati yang seperti dibelai angin sore dari masa lalu.
Sabtu menjelang siang, kami berangkat menuju acara. Jalanan masih padat, walaupun harapan kami sederhana. Semoga bisa mendekat, semoga bisa turut menyelami ruh majelis para aulia. Tapi, padatnya jalan bukan sekadar hambatan fisik. Ia adalah simbol dari jalan hidup. Semakin bernilai tujuan, semakin sulit dilalui.
Kami memilih memutar, masuk dari belakang, seperti para pencinta yang malu-malu mencari ruang untuk sekadar menatap kekasihnya dari jauh. Anehnya, sahabatku itu bisa masuk. Menerobos kerumunan. Aku tertahan .Dicegah penjaga. Sudah kujelaskan bahwa aku teman yang menyertainya, tapi penjaga tetap menggeleng. Tidak bisa. Aku tersenyum. Di titik itu aku tahu, barangkali takdir sedang berbelok, menawarkan kejutan tak terduga.
Aku berdiri di kerumunan, menunduk, menahan kecewa, tapi juga mencoba meresapi makna. Lalu tiba-tiba, dua ulama muncul dari arah belakang. KH Najih Maimun Zubair dan Habib Syaikh bin Abdul Qodir Assegaf, yang juga hadir di haul. Keduanya melangkah dikelilingi manusia yang tersentak hormat. Aku pun terseret arus keberkahan itu, dan tanpa dirancang, aku bisa bersalaman. Tangannya hangat, sorot matanya menembus sesuatu yang tak kasat mata
Bagi ornag kampung seperti saya itu tentu membahagiakan. Sebab, aku sekadar perindu. Debu-debu pasir yang tak tampak. Di titik itu, aku mengerti, bahwa aku saat itu tidak bisa cepat masuk ke kompleks makam bukan karena ditolak. Namun, karena sedang diarahkan. Inilah keberkahan dalam bentuk yang tidak selalu diminta, tapi selalu mengena.
Tak lama setelah itu, Allah berkehendak lain. Aku pun diizinkan masuk ke area makam, meski manusia memenuhi ruang yang sempit itu. Entah bagaimana jalannya terbuka, tubuh ini berjalan, dan hati ini terpaut. Tahlil dan Yasin pun bergema, dipimpin langsung para habaib dan ulama, seakan suara mereka membentuk jembatan dari dunia ini menuju dimensi lain. Di dekat pusara Wali Qutb itu, aku merasa kecil. Seperti debu yang berdoa untuk tidak dilupakan angin.
Selesai dari makam, kami melanjutkan ziarah ke Sunan Gresik, Maulana Malik Ibrahim, pelopor dakwah Islam di tanah Jawa. Makamnya tenang, tapi bukan sepi. Di sana, setiap detik seperti mencatat siapa yang datang dengan cinta, dan siapa yang datang hanya karena tradisi. Lalu, kami menuju Makam Sumur Songo, tempat Habib Muhammad Umar bin Assegaf, ayah dari Habib Abu Bakar, disemayamkan. Jalanan sempit, diapit rumah tua, tapi hati kami lapang. Karena di setiap langkah, ada harapan untuk disapa langit.
Aku menyadari satu hal yang penting. Haul bukan sekadar ibadah spiritual. Ia juga denyut ekonomi rakyat. Sepanjang jalan, pedagang makanan, minuman, hingga tasbih tumbuh subur seperti bunga di musim semi. Wajah-wajah letih namun bahagia menyapa siapa saja. Tak ada rasa curiga, hanya persaudaraan dalam bentuk yang paling murni. Spiritualitas di sini bukan meminggirkan dunia, tapi justru merangkulnya. Seolah Gresik menjelma menjadi pasar akhirat, tempat dunia berdagang tapi hati tetap berzikir.
Menjelang maghrib, saat kendaraan kami kembali berputar menuju rumah, kami menyebut dua nama. Satu adalah Ahmad Nawardi, anggota DPD RI, teman lama saya. Dan satu lagi Komjen M. Iqbal, Sekjen DPD RI, teman dari teman saya. Kami hanya menyebutnya dalam obrolan ringan sambil lalu layaknya angin menyapu dedaunan.
Tapi, siapa sangka, beberapa saat kemudian, nama-nama itu benar-benar muncul dalam realitas. Mereka menghubungi dan menyampaikan niat untuk hadir ke Gresik, bersilaturahmi ke seorang sahabat yang baru pulang dari tanah suci.
Subhanallah. Di titik ini, kami hanya bisa terdiam. Bukankah haul adalah majelis ruhani yang mampu menggetarkan lapisan realitas? Bukankah zikir mampu membuka jalan tak terduga? Dalam majelis seperti ini, tidak ada yang mustahil. Karena langit sedang mendekat ke bumi.
Di hari itu, aku belajar bahwa haul bukanlah sebuah acara semata. Ia medan ujian. Medan harap. Medan zikir. Di dalamnya, manusia diuji keikhlasannya. Apakah datang karena rindu, tabaaruk, atau karena sebatas validasi? Apakah bersabar dalam kerumunan, atau mengutuk takdir karena tak bisa masuk ke ruang utama? Apakah hati lapang saat tertahan, dan tetap bersyukur saat tak disebut?
Haul Habib Abu Bakar Assegaf, yang disebut sebagai haul terbesar ketiga di Indonesia setelah Haul Guru Sekumpul dan Haul Solo, bukanlah tentang angka dan massa. Ia tentang makna. Ia tentang bagaimana menembus batas mahal dan padatnya jadwal hanya karena satu keyakinan bahwa nama seorang wali bisa membuka langit. Ia tentang bagaimana ekonomi rakyat tumbuh tanpa harus menghilangkan ruh agama.
Dan di atas semua itu, ia adalah tentang bagaimana kehidupan modern tetap membutuhkan oase. Di tengah bisingnya digitalisasi, orang tetap butuh ziarah. Di tengah kelimpahan informasi, orang tetap mencari ketenangan. Di tengah kesombongan dunia, haul datang sabagai salah satu pembisik bahwa semua dari kita akan pulang. Dan di jalan pulang itu, tidak ada yang lebih kita butuhkan selain keberkahan dan wasilah para wali. Alim-ulama.
Malam pun datang, dan kami kembali pulang. Tapi sebenarnya, haul tidak pernah usai. Ia hanya berpindah ke dalam dada. Menjadi bekal. Menjadi arah. Menjadi kompas. Agar dalam kehidupan sehari-hari, tetap berjalan di jalan yang dibimbing para aulia. Dan, bukankah itu yang kita cari selama ini? Sebuah jalan pulang, yang tak hanya lurus, tapi juga bercahaya? (*)