Perlu Diruwat? Proyek Strategis Smelter PT Freeport di Gresik Masih Terdera Musibah

oleh -282 Dilihat
GRESBERG

HARAPAN besar memanen nilai tambah hilirisasi tembaga dari megaproyek smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE Gresik, sejauh ini masih terseok. Setelah perjalanan panjang sejak peletakan batu pertama oleh Presiden Joko Widodo pada 2018, smelter raksasa dengan investasi sekitar Rp 56 triliun itu kini belum juga mampu beroperasi optimal. Ini menyusul rangkaian musibah beruntun. Mulai kebakaran hingga terganggunya pasokan konsentrat akibat longsor di area tambang Grasberg, Papua Tengah.

Awalnya, proyek ini digagas sebagai simbol hilirisasi mineral nasional. Membangun fasilitas pemurnian tembaga terbesar di dunia. Mengolah 1,7 juta ton konsentrat per tahun menjadi 650 ribu ton katoda. Pembangunan fisiknya berjalan bertahap sepanjang 2019–2023, setelah sempat tertunda oleh pandemi. Pada pertengahan 2024, Presiden Jokowi meresmikannya dengan optimisme tinggi. Bahwa, era ketergantungan ekspor mentah akan berakhir, dan negara akan memanen nilai tambah hingga puluhan triliun rupiah per tahun.

Namun, hanya beberapa bulan setelah peresmian smelter PTFI di KEK Gresik tersebut, musibah pertama menghantam. Pada Oktober 2024, terjadi kebakaran di salah satu bagian fasilitas pemurnian. Meski tidak menelan korban jiwa, insiden itu memaksa sebagian sistem dihentikan dan proses komisioning ulang dilakukan. Proses pemulihan berlangsung lama, menyebabkan smelter belum bisa berjalan stabil sebagaimana dirancang.

Belum pulih sepenuhnya pasca kebakaran itu, gangguan berikutnya datang dari hulu. Longsor besar di wilayah tambang Grasberg, sumber utama konsentrat tembaga untuk smelter Gresik. Tentu saja, kondisi itu mengganggu operasi penambangan dan logistik. Dampaknya langsung terasa. Pasokan konsentrat menurun signifikan, memaksa smelter kembali mengurangi aktivitas. Tanpa aliran konsentrat yang stabil, fasilitas raksasa tersebut nyaris tak bisa menghasilkan nilai tambah apa pun.

Akibat dua pukulan bertubi-tubi itu, bangunan industri berteknologi tinggi seluas ratusan hektare di Manyar kini ibarat “museum raksasa”. Megah secara fisik, tetapi denyut produksinya masih jauh panggang dari api. Padahal, pemerintah sebelumnya menargetkan proyek ini dapat menyumbang potensi penerimaan negara hingga Rp 80 triliun per tahun dari hilirisasi katoda tembaga.

Pengamat industri mineral menyebut kondisi tersebut sebagai underutilization ekstrem, yang mengikis manfaat strategis proyek. Pabriknya selesai, tetapi ekosistemnya belum. Hilirisasi tidak akan berhasil jika rantai dari tambang hingga smelter tidak berjalan stabil.

PTFI dan pemerintah kini berupaya memulihkan rantai pasok serta menuntaskan penilaian pasca-longsor. Termasuk opsi penyeimbangan produksi hingga normalisasi jalur konsentrat. Namun prosesnya tidak bim salabim alias tidak dapat selesai dalam waktu singkat. Diprediksi membutuhkan waktu beberapa tahun.

Hilirisasi tidak boleh dipersempit menjadi sekadar pembangunan pabrik. Hilirisasi adalah manajemen rantai pasok dari hulu hingga hilir. Tanpa diversifikasi sumber konsentrat, tanpa cadangan bahan baku strategis, tanpa penguatan mitigasi geoteknik di tambang, dan tanpa kerangka regulasi darurat yang memungkinkan impor konsentrat sementara atau pengolahan parsial, maka smelter sebesar apa pun akan tetap rentan.

Pemerintah perlu segera membenahi pendekatan hilirisasi yang terlalu berorientasi pada infrastruktur fisik. Pengembangan tambang baru harus dipercepat. Buffer stock konsentrat harus diwajibkan. Audit keselamatan dan geoteknik di seluruh area tambang besar harus ditingkatkan. Dan, yang tak kalah penting, industri turunan berbasis tembaga harus dipupuk di sekitar KEK Manyar agar smelter tidak hanya berdiri sebagai monumen, tetapi menjadi pusat nilai tambah yang sesungguhnya.

Smelter Freeport Gresik adalah simbol ambisi nasional. Tetapi simbol tidak cukup. Megaproyek itu harus segera bekerja, menghasilkan, dan memberi nilai tambah nyata bagi ekonomi bangsa.

Bila pemerintah tidak segera memperkuat seluruh mata rantai hilirisasi, maka proyek raksasa ini akan tinggal sebagai ironi. Bangunan megah yang tak pernah mencapai potensi yang dijanjikan. Hilirisasi tidak boleh berhenti pada pembangunan pabrik, ia harus menjelma menjadi sistem yang tangguh, terpadu, dan berkelanjutan.

Kini, giliran menjadi pekerjaan rumah terbesar pemerintah Presiden Prabowo Subianto. (*)

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Supardi


No More Posts Available.

No more pages to load.