KabarBaik.co– Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan sanksi pemberhentian tetap kepada dua penyelenggara pemilu. Yakni, Rita Afrianti, Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Tamiang, dan Luky Noviana Yuliasari, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Madiun. Keduanya diberhentikan lantaran pelanggaran berat terhadap Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP).
Dalam sidang pembacaan putusan yang berlangsung di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, pada Senin (16/6), Ketua Majelis Heddy Lugito menegaskan bahwa kedua teradu itu telah terbukti melakukan pelanggaran serius yang dapat merusak integritas proses pemilu dan mencoreng kehormatan lembaga penyelenggara pemilu.
Putusan pemecatan terhadap Rita Afrianti dibacakan dalam perkara Nomor 20-PKE-DKPP/I/2025. Dalam persidangan, terungkap bahwa Rita melakukan komunikasi langsung dengan Muhammad Usman, seorang calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tamiang dari Partai Aceh, Daerah Pemilihan 4 dalam Pemilu 2024.
Dalam percakapan yang dilakukan di dalam mobil, Rita berjanji akan membantu meningkatkan perolehan suara Muhammad Usman. Sebagai imbalannya, pengadu menyerahkan uang sebesar Rp 200 juta melalui perantara kepercayaan Rita, Heriansyah Pasaribu. Bukti kuat berupa kwitansi penyerahan uang yang ditandatangani kedua belah pihak, serta pengakuan dari Rita sendiri, menjadi dasar utama dalam putusan DKPP.
Anggota Majelis Ratna Dewi Pettalolo menyatakan, tindakan tersebut merupakan pelanggaran berat karena memperdagangkan suara pemilih demi kepentingan pribadi dan politik. “Tindakan teradu mengiming-imingi pengadu berupa peningkatan suara dengan imbalan uang, dan menjanjikan pengembalian jika tidak berhasil, adalah bentuk transaksional yang melanggar integritas dan kehormatan penyelenggara pemilu,” tegas Ratna seperti dilansir dari laman resmi DKPP.
Rita dinyatakan melanggar sejumlah ketentuan dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017, termasuk Pasal 6 ayat (2) huruf a dan b, Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 huruf a, h, j, dan l, serta Pasal 15 huruf a dan d. Putusan pemberhentian berlaku sejak tanggal dibacakannya putusan.
Sementara itu, sanksi serupa dijatuhkan kepada Luky Noviana Yuliasari dalam perkara Nomor 118-PKE-DKPP/III/2025. Luky terungkap masih menjabat sebagai pengurus aktif DPC Partai Demokrat Kabupaten Madiun untuk periode 2022–2027 saat mencalonkan diri sebagai anggota KPU. DKPP menilai, Luky tidak memenuhi syarat masa jeda 5 tahun sebelum menjadi penyelenggara pemilu, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam bukti yang diajukan, nama Luky tercatat dalam Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) sebagai Kepala Badiklat Cabang, dengan nomor KTA resmi dari DPP Partai Demokrat. Selain itu, foto-foto Luky mengenakan seragam partai dalam acara ulang tahun ke-21 Partai Demokrat turut memperkuat keterlibatannya secara aktif dalam kegiatan kepartaian.
Dalam persidangan, Luky sempat berdalih namanya dicatut. Selain itu, kehadirannya dalam acara tersebut hanya sebagai instruktur senam. Namun, Majelis DKPP menolak klaim tersebut karena tidak ada alat bukti dan saksi yang mendukung dalih itu. ’’Dalam batas penalaran yang wajar, bagaimana mungkin seseorang yang mengaku namanya dicatut justru menghadiri acara resmi partai dan mengenakan atribut partai tersebut?” ujar Anggota Majelis Muhammad Tio Aliansyah.
Luky terbukti melanggar Pasal 6 ayat (2) huruf a, b, dan d, Pasal 6 ayat (3) huruf a dan f, Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 huruf a dan e, serta Pasal 16 huruf a dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017.
Dalam kesempatan sidang kali ini DKPP menyidangkan sebelas perkara yang melibatkan total 34 penyelenggara pemilu dari berbagai tingkatan. Dari hasil sidang tersebut, DKPP menjatuhkan sanksi 2 pemberhentian tetap, 3 peringatan keras, 9 peringatan, dan 20 penyelenggara direhabilitasi karena tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Putusan-putusan tersebut menjadi sinyal kuat bahwa DKPP tidak akan mentoleransi pelanggaran etika. Apalagi yang berkaitan dengan transaksi politik dan afiliasi kepartaian. Penegakan integritas penyelenggara pemilu dinilai sebagai kunci utama menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi Indonesia. (*)