OLEH: KH MAS MUHAMMAD MAFTUCH*)
MUKTAMAR Luar Biasa (MLB) secara konstitusi memang diatur dalam Anggaran Dasar (AD) maupun Anggaran Rumah Tangga (ART) Nahdlatul Ulama (NU). Keberadaan pasal-pasal konstitusi NU ini tidak saja di atas kertas, melainkan juga telah menyejarah. Sepanjang perjalanan politik organisasi Ahlussunnah wal Jamaah (Aswasja) ini, gagasan dan upaya menyelenggaran MLB bukan perkara asing lagi.
Penulis tergerak menulis ulang sejarah politik NU dan hubungannya dengan MLB ini setelah Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) mengatakan sejumlah kiai yang mengusulkan MLB bukan kiai sepuh atau ulama senior. Namun, hanya sekelompok barisan sakit hati saja yang berulah. Gus Fahrur beranggapan, Pengurus Cabang (PC) NU tidak akan tertarik, karena tidak ada istilah berontak di dalam kamus kepengurusan PBNU.
Pernyataan Gus Fahrur agak membingungkan dan ahistoris. M. Imam Aziz, dkk., dalam buku Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh dan Khazanah Pesantren menyebutkan dua peristiwa terkait gagasan dan upaya menyelenggarakan MLB di lingkungan NU. Pertama, pasca Muktamar NU ke-29 yang digelar pada 1-5 Desember 1994. Saat itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai ketua umum Tanfidziyah PBNU.
Sementara Abu Hasan kalah. Gus Dur memperoleh sebanyak 157 suara dan Abu Hasan hanya berhasil mengumpulkan 136 suara. Sisanya, Fahmi Saifuddin 17 suara dan Chalid Mawardi 6 suara. Setelah kekalahan tersebut, Abu Hasan yang berkoalisi dengan Presiden Soeharto menyelenggarakan MLB dua tahun kemudian atau 1996, di Pondok Gede, Jakarta. Sebagai hasil MLB Pondok Gede, Abu Hasan membentuk KPPNU dengan seluruh struktur keanggotaannya.
Lalu, menjelang Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Solo, Jawa Tengah, banyak kiai NU kultural menyuarakan gagasan MLB. Kiai-kiai kultural resah nan gelisah melihat Muktamar yang dijadikan ajang perebuatan kursi kepemimpinan di NU. Apakah Gus Fahrur tahu peristiwa di Boyolali ini? Bahkan, saat itu Gus Dur memimpin massa melakukan protes dengan jalan kaki sepanjang 500 meter untuk mendatangi lokasi Muktamar tersebut.
Gus Dur menghasilkan massa sejumlah 400 orang, termasuk di dalamnya kiai-kiai khos. Di antaranya, KH Abdullah Abbas Buntet, KH Sanusi Baco Makassar, KH Muhaimin Gunardo, KH Kholiq Amuntai, KH Sofyan, KH. Cholil Asad, KH Tuan Guru Turmudzi NTB, KH Akrom Males Basri, dan beberapa kiai sepuh lain. Mereka membentuk Gerakan Penyelamat NU dan membawa poster yang menolak terpilihnya KH Hasyim Muzadi.
Apakah Gus Farhrur juga tahu apa yang disampaikan oleh Gerakan Penyelamat NU? Mereka menilai bahwa KH Hasyim Muzadi memang dibesarkan di lingkungan NU, namun tidak membesarkan NU. Bahkan menjual kewibawaan dan mengkhianati NU. Apakah Gus Fahrur akan menyebut Gus Dur dan kiai-kiai khas tersebut sebagai barisan sakit hati yang kalah? Apakah salah menyampaikan aspirasi menolak ketua terpilih yang dianggap menjual NU dan merusak marwah NU itu?
MLB, baik sebagai gagasan dan tindakan, sama-sama pernah terjadi dalam sejarah panjang politik NU. MLB yang disuarakan oleh ulama-ulama NU tidak saja melanjutkan tradisi yang sudah ada. Sebaliknya, mereka mempertahankan kewarasan intelektual dan berikhtiar menyampaikan kebenaran, walaupun mereka harus menanggung rasa pahit yang menyayat hati. Tidak mudah menahan diri ketika dituduh pengangguran dan barisah sakit hati.
Buntut Soal Tambang-Menambang PBNU, Suara Muktamar Luar Biasa NU Makin Nyaring
MLB dalam Pandangan Khazanah Pesantren
Dalam kitab Al-Tibru Al-Masbuk fi Nashihati Al-Muluk, Imam Abu Hamid Al-Ghazali mengatakan, Allah SWT menciptakan dua kelompok manusia; para nabi yang mengajarkan cara beribadah pada Tuhan dan para raja untuk menghentikan permusuhan dan mewujudkan kemaslahatan (Al-Ghazali, 1988:43).
Para pemimpin bertanggung jawab untuk menyudahi segala bentuk perselisihan. Perselisihan tidak menambah aroma wangi bagi marwah kita, khususnya sebagai warga Nahdliyyin. Perselisihan menurut Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dalam Muqaddimah Al-Qanun Al-Asasi, seraya mengutip Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA., merupakan mendatangkan bencana.
Suatu kaum yang hati mereka terpecah belah dan dipermainkan oleh hawa nafsu maka mereka tidak akan meraih manfaat universal, mereka tidak akan menjadi umat yang bersatu, sebaliknya menjadi individu-individu yang bercerai-berai. Secara permukaan mereka tampak bersatu, tetapi hati mereka bercerai-berai (AD/ART NU, 2021:13).
Apabila seorang pemimpin tidak memiliki kualitas kepemimpinan, maka dia harus mengundurkan diri. Imam Haramain Abul Ma’ali Al-Juwaini, dalam kitab Ghiyats al-Umam fi Iltiyas al-Zhulam, mengatakan, apabila seorang pemimpin memiliki kualitas kepemimpinan maka orang-orang yang ingin memakzulkannya tidak dapat dibenarkan berdasarkan kesepakatan umat. Sebab, penobatan seorang imam adalah wajib, dan tidak ada opsi untuk menurunkannya kecuali ada sebab.. Beberapa kelompok lain berpendapat, imam yang demikian harus mengundurkan diri (Al-Juwaini, 1979:97).
Dengan demikian, seorang pemimpin tidak boleh dimakzulkan apabila kualitas kepempinan masih melekat padanya. Namun, ketika kualitas-kualitas ideal seorang pemimpin telah terlepas darinya, maka posisinya juga harus dilepaskan atau mengundurkan diri tanpa harus menunggu tuntutan dari rakyat. Dalam konteks PBNU, kualitas ideal seorang pemimpin baik ketua umum maupun Rais Am diatur dalam AD/ART.
Selama ketua umum dan Rais Am tidak melanggar AD/ART, maka warga NU baik kultural maupun kultural tidak memiliki jalan—meminjam istilah Al-Juwaini—untuk memakzulkannya. Tetapi, apabila AD/ART telah dilanggar oleh ketua umum dan Rais Am, maka pemakzulan dapat dilakukan. Di sinilah kita melihat tradisi intelektual pesantren yang berbasis kitab kuning selaras dengan logika hukum organisasi modern seperti PBNU. Tidak ada salahnya melakukan MLB, karena sudah ada suri teladannya di masa lalu serta kuat referensi kitab kuningnya. (*)
—
*) KH MAS MUHAMMAD MAFTUCH, Pengasuh Ponpes Nur Muhammad Sidoresmo, Surabaya dan Ketua Forum Komunikasi Kiai Kampung Indonesia