KabarBaik.co — Kematian tragis Bagas Priyo, warga Perum Amartha Safira Sidoarjo pada 21 September 2024 lalu, usai menjalani operasi amandel di RS Siti Hajar masih menyisakan luka dan tanda tanya. Setahun berlalu, belum ada kepastian hukum soal kasus ini.
Padahal kasus ini telah dilaporkan ke Polresta Sidoarjo sejak setahun lalu. Keluarga korban pun menilai rumah sakit dan aparat penegak hukum terkesan menutup-nutupi kasus ini.
Dimas Yemahura Alfarauq, kuasa hukum keluarga korban menyampaikan kekecewaan mendalam atas lambannya penanganan kasus ini oleh aparat. Menurutnya, hingga kini penyidik tidak berani membuka fakta sebenarnya di balik kematian pasien.
“Penyidik hingga kini tak berani membuka fakta atas kematian pasien,” ujar Dimas, Minggu, (20/7).
Tak hanya itu, Dimas juga mengatakan hingga hari ini rekam medis korban pun tidak diberikan oleh pihak RS Siti Hajar kepada keluarga, yang memperkuat dugaan adanya indikasi kesalahan prosedur yang berujung pada meninggalnya pasien.
“Kami bahkan mendapat informasi dari penyidik bahwa kematian ini dianggap sebagai takdir. Padahal ini bukan perkara spiritual, tapi soal kelalaian prosedur medis yang bisa menyebabkan kehilangan nyawa,” jelasnya.
Menurut Dimas, tindakan salah prosedur dalam penanganan medis tidak bisa dianggap remeh. Apalagi, operasi yang dijalani korban tergolong ringan dan umum dilakukan.
“Jangan sampai rumah sakit menjadi lembaga pembunuh bayaran. Jika pasien datang dengan kondisi sehat untuk operasi ringan seperti amandel lalu meninggal dunia, harus ada pertanggungjawaban,” tegasnya.
Dimas juga mengungkapkan kejanggalan prosedur sebelum operasi. Saat itu pasien diminta menandatangani dokumen persetujuan tanpa didampingi keluarga. Yang kemudian setelah kejadian ini, RS Siti Hajar disebut-sebut mengubah prosedur dan mulai mewajibkan tanda tangan dari keluarga pasien.
“Kenapa baru sekarang ada prosedur keluarga wajib tanda tangan? Artinya, dulu memang tidak sempurna. Dan ini bukti bahwa RS Siti Hajar telah melakukan kesalahan prosedural,” terang Dimas.
Dimas menduga lambannya penanganan kasus ini juga disebabkan adanya tekanan dari pihak tertentu agar perkara tidak dilanjutkan.
“Kami masih menunggu keberanian Polresta Sidoarjo untuk menegakkan kebenaran. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ini bukan hanya soal satu nyawa, tapi soal perlindungan terhadap seluruh pasien di Indonesia,” lanjut Dimas.
Dimas menegaskan pihaknya siap menghadirkan saksi baru ke hadapan penyidik agar kasus ini tidak berakhir begitu saja.
“Kami tidak ingin ada korban berikutnya. Kami minta keadilan, kami minta transparansi, dan kami minta pertanggungjawaban,” tambahnya.
Sementara itu, Anju Vijayanti, ibu korban, juga menaruh kecurigaan besar terhadap penanganan medis terhadap anaknya. Ia berharap ada kejelasan dan keadilan dari pihak berwenang.
“Kami keluarga hanya ingin ada kejelasan dan keadilan, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa anak saya dikasih makan sebelum operasi? Siapa yang mengambil keputusan, dan kenapa itu dibiarkan terjadi? Anak saya meninggal ketika masih di dalam ruang operasi, keluar dari ruang operasi sudah tidak bernafas lagi,” ungkap ibu korban dengan nada sedih.
Dikonfirmasi terpisah, Kasi Humas Polresta Sidoarjo Iptu Tri Novi Handono, Minggu (20/7), belum memberikan penjelasan mendetail. “Saya masih belum tahu, berkenan konfirmasi ke Kasat Reskrim ya,” ujar Tri singkat. (*)
Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini