KabarBaik.co – Hingga akhir Juli 2025, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bojonegoro tercatat masih rendah, yakni baru mencapai 28,56 persen dari total anggaran. Kondisi ini dinilai berpotensi menimbulkan sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) yang membengkak apabila tidak segera dilakukan percepatan penyerapan anggaran.
Kepala Bidang Akuntansi Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Bojonegoro, Anie Susanti Hartoyo, mengungkapkan bahwa rendahnya serapan anggaran disebabkan oleh sejumlah proyek infrastruktur yang belum terealisasi hingga pertengahan tahun. “Per 31 Juli 2025, dari total APBD sebesar Rp 7,9 triliun, baru terealisasi sebesar Rp 2,26 triliun atau 28,56 persen,” terang Anie, Kamis (6/8).
Anie menjelaskan, hingga akhir Juli lalu, realisasi yang telah dilakukan adalah belanja operasional sebesar Rp 1,66 triliun dari pagu Rp 4,3 triliun, belanja pegawai dengan total Rp 1 triliun dari pagu Rp 2,3 triliun, belanja barang dan jasa sebesar Rp 561 miliar dari pagu Rp 1,5 triliun, belanja hibah Rp 68,6 miliar dari pagu Rp 282,2 miliar, belanja bantuan sosial sebesar Rp 29,9 miliar dari pagu Rp 130 miliar (stagnan sejak Juni), serta belanja subsidi sebesar Rp 1,5 miliar yang belum terserap sama sekali.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi B DPRD Bojonegoro, Lasuri, menekankan pentingnya percepatan penyerapan anggaran guna menghindari penumpukan anggaran yang dapat menyebabkan Silpa di akhir tahun anggaran. “Apalagi dana bagi hasil (DBH) migas sudah beberapa kali ditransfer ke kas daerah Bojonegoro,” ujar politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.
Ia menjelaskan, dari total pagu DBH migas sebesar Rp1,9 triliun pada APBN 2025, sekitar Rp1,16 triliun sudah disalurkan ke Bojonegoro. Masih tersisa Rp777 miliar yang belum ditransfer oleh pemerintah pusat. “Kalau penyaluran DBH migas berjalan lancar dan mencapai target, potensi Silpa akan semakin besar,” tegas Lasuri.
Ia pun mendesak Pemerintah Kabupaten Bojonegoro untuk segera mengambil langkah konkret agar anggaran yang telah dialokasikan dapat dimanfaatkan secara maksimal dan tepat waktu. “Jangan sampai Silpa membengkak di akhir tahun. Ini menyangkut efektivitas dan kredibilitas pengelolaan anggaran daerah,” pungkasnya. (*)