KabarBaik.co – Arca Totok Kerot yang berdiri kokoh di Dusun Kunir, Desa Bulupasar, Pagu, Kabupaten Kediri bukan sekadar patung raksasa dari masa lalu. Ia menyimpan cerita rakyat, pesan moral, dan nilai spiritual yang masih hidup di tengah masyarakat hingga kini.
Tradisi jamasan atau prosesi pembersihan arca kembali digelar pada Jumat Pon (24/7) setelah sempat terhenti selama pandemi COVID-19. Prosesi ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sekaligus bentuk penghormatan kepada leluhur Kediri.
Kepala Bidang Museum dan Purbakala Disbudpar Kabupaten Kediri Eko Priyatno menyebut kegiatan ini lahir dari inisiatif komunitas juru pelihara cagar budaya yang selama ini menjaga situs-situs sejarah di Kabupaten Kediri.
“Sebetulnya ini kegiatan yang cukup mendadak, belum seminggu teman-teman mengusulkan. Tapi karena kami memandang ini penting dalam pelestarian budaya, kami laporkan ke pimpinan dan langsung disambut baik. Kami bantu semampunya,” kata Eko, Kamis (24/7).
Totok Kerot secara arkeologis merupakan arca Dwarapala yang diperkirakan berasal dari abad ke-10 hingga ke-12. Gaya ragam hiasnya khas dengan Kerajaan Kediri masa pasca-Kahuripan. Namun, bagi masyarakat sekitar, arca ini memiliki makna yang lebih dalam.
Museum Kediri Siap Diperkenalkan Lewat Pameran Artefak, Libatkan Budayawan dan Akademisi
“Totok Kerot dikenal dalam cerita rakyat sebagai Putri Lodaya dari selatan yang melamar Sri Aji Joyoboyo. Karena sikapnya yang kurang santun, ia dikutuk menjadi batu. Di situ ada pesan moral hidup itu perlu andap asor, lembah manah, dan sabar,” lanjut Eko.
Idris, Koordinator Komunitas Juru Pelihara Cagar Budaya se-Kabupaten Kediri, mengatakan bahwa jamasan Totok Kerot juga bertepatan dengan penutupan bulan Suro—bulan yang dalam tradisi Jawa diyakini sebagai waktu untuk pembersihan diri.
“Air yang kami pakai berasal dari tujuh sumber di wilayah Kecamatan Pagu, seperti Tirto Kamandanu, Menang, Bendo, Wonorejo, dan Kedung di Tengger. Air itu kami jadikan simbol pensucian. Bunganya cukup melati saja, sebagai wewangian, bukan tujuh rupa. Yang penting niatnya,” ujarnya.
Menurut Idris, tradisi ini dulunya rutin dilakukan, namun sempat terputus sejak pandemi. Tahun ini, berkat dukungan Disbudpar, komunitas juru pelihara mencoba menghidupkannya kembali agar tidak hilang ditelan waktu.
“Harapannya bisa rutin lagi, supaya generasi muda tahu bahwa arca ini bukan sekadar batu, tapi simbol nilai dan sejarah,” pungkasnya.
Jamasan Totok Kerot bukan hanya prosesi pembersihan fisik arca, melainkan juga pembersihan batin dan pengingat akan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur. Sebuah tradisi yang tumbuh dari akar rumput dan menjadi bagian penting dalam menjaga identitas budaya Kediri. (*)