KASUS Wahyudin Mohidu, anggota DPRD Provinsi Gorontalo, seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua. Viral dengan video “merampok uang negara”, melaporkan kekayaan minus dalam LHKPN yang dikirim ke KPK, hingga akhirnya dipecat oleh partainya, ia bukan sekadar sosok individu yang khilaf. Namun, cermin retak dari wajah politik kita hari ini.
Mari jujur. Kasus Wahyudin hanyalah puncak gunung es. Di berbagai daerah, bahkan di pusat, publik kerap disuguhi tontonan wakil rakyat yang berperilaku aneh bin nyeleneh. Ada yang asyik berjoget saat rakyat menjerit, ada yang terlibat korupsi berjamaah, ada pula yang gagap memahami tugas legislatif tapi lihai bermain citra. Bukannya menjadi teladan, mereka justru mencederai martabat institusi yang seharusnya menjaga kepentingan rakyat.
Namun, kita juga tidak boleh menutup mata, Memang masih banyak wakil rakyat yang bekerja sungguh-sungguh, menjaga integritas, dan benar-benar memperjuangkan suara rakyat. Mereka yang serius menjalankan fungsi budgeting, controlling, dan legislasi, sering kali justru tenggelam di balik sorotan negatif rekan-rekannya yang lebih sibuk mencari sensasi. Namun, perilaku mereka yang nyeleneh itu jelas dapat merusak citra seluruh lembaga, bahkan membuat publik apriori terhadap parlemen secara keseluruhan.
Fenomena ini memperlihatkan cacat sistemik. Parpol kerap abai dalam melakukan kaderisasi dan seleksi caleg. Representasi rakyat hanya dihitung dari kuantitas kursi, bukan kualitas figur. Asal punya uang, asal bisa meraup suara, asal terpilih, seolah itu sudah cukup. Konsekuensinya, lahirlah wakil rakyat yang tidak memahami substansi kerja-kerja legislatif, bahkan ada yang menjadikannya ladang untuk memperkaya diri. Menjadikannya aji mumpung.
Jika dibiarkan, demokrasi kita akan mengalami erosi kepercayaan. Rakyat yang kecewa pada wakilnya perlahan kehilangan keyakinan terhadap institusi demokrasi itu sendiri. Celah ini bisa dimanfaatkan oleh kekuatan otoriter yang menawarkan stabilitas semu sebagai ganti demokrasi. Demokrasi yang runtuh bukan hanya kehilangan kebebasan berpendapat, tapi juga menutup ruang partisipasi rakyat. Kita akan kembali pada masa di mana suara rakyat tak berarti, dan kekuasaan hanya dikuasai segelintir orang.
Karena itu, momentum ini semestinya dijadikan bahan introspeksi mendalam. Bukan hanya bagi partai politik, tetapi juga bagi sistem demokrasi kita. Jika reformasi kepolisian kini menjadi tuntutan publik, maka reformasi lembaga legislatif dan partai politik juga sama mendesaknya. Tanpa itu, demokrasi hanya akan melahirkan wajah-wajah serupa. Wakil rakyat yang lebih sibuk mencari sensasi ketimbang bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat.
Rakyat sudah terlalu sering disuguhi tontonan murahan dari mereka yang seharusnya menjadi teladan. Kini saatnya semua pihak, terutama partai politik, menutup pintu bagi figur oportunis, pragmatis, dan tak berintegritas. Demokrasi sejatinya bukan sekadar prosedur memilih wakil. Demokrasi adalah soal kualitas orang-orang yang duduk di kursi wakil rakyat. Jika kursi itu terus diisi oleh orang-orang salah, jangan salahkan rakyat bila kepercayaan pada demokrasi makin runtuh dan bersama runtuhnya demokrasi, runtuh pula masa depan bangsa. (*)