KabarBaik.co – Menjelang Ramadan, warga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur melaksanakan tradisi nyekar atau ziarah ke makam leluhur. Namun, berbeda dengan tahun-tahun sebelum bencana, kini mereka hanya bisa menabur bunga dan mengirim doa dari atas tanggul karena makam yang dulu ada telah tenggelam di bawah lumpur.
Tradisi ini dilakukan oleh warga dari beberapa desa yang terdampak seperti Desa Mindi, Jatirejo, dan Renokenongo. Mereka berkumpul di tepian tanggul dengan membawa bunga dan air doa sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur. Setiap tahun, ritual ini menjadi pengingat bahwa jejak kehidupan desa mereka telah lenyap akibat bencana lumpur Lapindo yang terjadi sejak 2006.
Saat doa dipanjatkan, beberapa warga tidak mampu menahan air mata. Salah satunya adalah Hasan, seorang warga korban lumpur Lapindo yang mengenang anak sulungnya yang dimakamkan di tempat itu.
“Makamnya sudah terendam banjir dan lumpur seperti ini. Seakan anak saya terkubur di lautan,” ujarnya, Jumat (28/2).
Kesedihan serupa juga dirasakan oleh Suharno yang menyampaikan bahwa satu-satunya cara untuk mengenang para leluhur adalah dengan mengirim doa.
“Kami bisanya ya hanya berbuat seperti ini, kirim doa untuk para leluhur. Sebab makam desa sudah tenggelam oleh lumpur Lapindo,” ungkapnya.
Bencana lumpur Lapindo telah berlangsung selama 19 tahun, tetapi luka yang ditinggalkannya masih terasa bagi ribuan warga dari 19 desa di tiga kecamatan di Sidoarjo.
Banyak dari mereka yang kehilangan rumah, lahan, dan bahkan makam keluarga mereka. Bagi sebagian besar warga, peristiwa ini bukan hanya bencana alam, tetapi juga kehilangan sejarah dan identitas mereka sebagai komunitas.
Setiap tahun, menjelang Ramadan, tradisi tabur bunga dan doa bersama ini menjadi momen refleksi bagi warga. Mereka mengenang masa kejayaan desa sebelum tertimbun lumpur, di mana kehidupan masih berjalan normal dengan ladang pertanian, pasar tradisional, serta hubungan sosial yang erat antarwarga.
Selain sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur, hal ini juga menjadi simbol harapan agar arwah mereka tenang di alam baka. Warga berharap bencana serupa tidak terjadi lagi di masa depan dan generasi mendatang bisa belajar dari kejadian ini. (*)