Ali Fauzi Manzi: Dulu Merakit Bom, Kini Merajut Harapan

oleh -92 Dilihat
ALI FAUZI
EKS NAPITER: Ali Fauzi Manzi kini telah menyandang gelar doktor dari UM Malang dengan predikat cum laude. .

ALI Fauzi mungkin bukan siapa-siapa. Tapi, ceritanya jauh lebih panjang dari gelar siapa pun. Pernah menjadi bagian dari lingkaran terorisme internasional. Pernah hidup dalam bayang-bayang dendam dan ledakan. Kini, ia berdiri di podium akademik. Menyandang gelar doktor. Cum laude. Dari Universitas Muhammadiyah (UM) Malang.

Manzi, panggilan akrabnya, tidak hanya meraih gelar S-3 itu untuk dirinya. Tapi, untuk membuktikan bahwa masa lalu bisa diubah. Bahwa, luka bisa dijahit. Dan, bahwa, pelaku kekerasan pun bisa menjadi guru damai.

Lahir dan besar di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan. Sebuah desa kecil di utara Jawa Timur. Tak jauh dari pantai. Desa itu tenang. Tapi kelak, nama itu akan dikenal dunia sebagai tempat lahir tiga tokoh utama tragedi Bom Bali 2002. Yakni, Amrozi, Ali Imron, dan Mukhlas. Mereka adalah kakak-kakak Manzi. Dan, ia tanpa ragu, sempat ikut jejak mereka. Bukan karena dipaksa. Tapi, karena merasa itu jalan perjuangan.

Cerita bermula dari selembar surat, Di tahun 1991, Manzi menerima surat dari Malaysia. Dari Mukhlas, sang kakak. Isinya, mengajak untuk bergabung dalam misi perjuangan. Di sana, katanya, ada perjuangan yang lebih mulia. Ada jihad yang sebenarnya.

Manzi, yang masih muda dan penuh idealisme, pun berangkat. Menyusul. Ia tinggalkan tanah pesantren milik keluarganya di kampung itu. Ia masuk jaringan Jemaah Islamiyah. Organisasi bawah tanah, yang ketika itu menjadi perpanjangan tangan ideologi Al-Qaeda di Asia Tenggara.

Ia dilatih. Dirakit. Dipersenjatai. Pikiran dan tubuhnya dijadikan alat. Lalu, dikirim ke Mindanao, Filipina Selatan, tempat pelatihan ala militer digelar. Manzi belajar merakit bom. Belajar bertempur. Belajar membenci. Tidak sekadar ikut-ikutan. Tapi, menjadi bagian penting dari jejaring.

Dalam rekam jejaknya, ia ikut operasi di Ambon. Di Poso. Menjadi penghubung antara sel dan wilayah. Manzi benar-benar hidup dalam dunia hitam-putih. Dunia yang hanya mengenal dua warna, mukmin atau kafir.

Di benaknya, polisi itu thaghut. Pemerintah adalah musuh. Negara adalah sistem jahiliah. Ia tidak ragu melawan. Tidak takut mati. Justru, menginginkannya. Sebab, mati adalah tiket menuju surga. Itu doktrin yang tertanam. Kuat. Dan, dia percaya penuh. Maka, ketika Bom Bali meledak tahun 2002, Manzi tak kaget. Bahkan, dulu merasa bangga. Kakak-kakaknya dianggap syuhada. Pahlawan dalam jalan yang mereka yakini benar.

Namun jalan hidup tidak selalu lurus. Tahun 2004, Manzi tertangkap di Filipina. Saat itu, ia terluka parah. Tubuhnya penuh luka. Lantas dideportasi ke Indonesia tiga tahun kemudian. Dalam keadaan sekarat. Di sinilah titik baliknya mulai muncul. Manzi tidak dipukul. Tidak disiksa. Tapi dirawat penuh cinta. Oleh polisi. Orang-orang yang dulu dianggapnya musuh.

Manzi mulai bingung. Merasa ada yang salah di pikirannya. Tidak cocok. Di mana sesungguhnya letak kebenaran? Mengapa musuhnya itu merawatnya? Lalu,  ditunjukkan video para korban bom. Mereka yang kakinya hilang. Wajahnya terbakar. Kehilangan anak, istri, suami. Semua manusia biasa. Bukan setan. Bukan musuh. Bukan kafir. Mereka hanya orang-orang yang tak tahu apa-apa. Tapi menjadi korban kebencian.

Kesadarannya tumbuh perlahan. Tidak langsung. Tidak instan. Tapi bertahap. Manzi mulai merasa bersalah. Mulai menyesali. Mulai berpikir. Semua ajaran yang dipegangnya dipertanyakan. Keluar dari lingkaran. Tapi, keluar dari masa lalu tidak mudah. Banyak muridnya dulu, telah bergabung ke jaringan terorisme baru. Manzi terpanggil. Merasa bertanggung jawab. Harus menebus.

Tahun 2013, Manzi menangis sendirian. “Ya Allah, dosa apa yang telah saya wariskan kepada mereka?” katanya.

Manzi tidak ingin diam. Tidak ingin menonton dari kejauhan. Namun, ingin turun tangan. Ke gelanggang penyadaran. Maka, ia mulai berbicara. Di televisi, radio, media-media. Di seminar. Di forum. Buka suara. Buka noda. Ia ceritakan semuanya. Tentang bagaimana cara mereka merekrut. Tentang bagaimana mereka mencuci otak. Tentang bagaimana mereka mencetak pelaku.

Lalu, lahirlah sebuah ide besar. Tahun 2016, ia dan rekannya sesama mantan napi terorisme (napiter) mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP). Di kampung halamannya sendiri, Tenggulun. Tempat yang dulu dikenal sebagai ’’sarang radikalisme’’, kini menjadi pusat rehabilitasi. Manzi tidak hanya merangkul para mantan pelaku, melainkan juga keluarganya. Anaknya. Istrinya. Bahkan, para janda korban terorisme.

YLP bukan sekadar yayasan. Namun, rumah tempat pulang. Tempat berteduh bagi mereka yang ingin kembali ke jalan damai. Para mantan napiter diajak berdialog. Diberi pelatihan kerja. Diberi modal usaha. Diperkenalkan dengan komunitas baru. Bukan hanya untuk menghapus masa lalu. Tapi untuk membangun masa depan. Dengan tenang. Dengan manusiawi.

Namun bagi Manzi, itu belum cukup. Ia ingin membuktikan bahwa perubahan harus dibarengi dengan ilmu. Karena itu, Manzi kembali ke bangku kuliah. Hngga doktoral di UM Malang. Jurusan yang sama sejak awal. Yakni, Pendidikan Agama Islam (PAI). Semua linier. Semua bertema yang sama: Membentuk manusia lewat pendidikan.

Jangan dikira perjalanan itu mudah. Penuh perjuangan. Manzi mengaku sempat jatuh dari motor karena vertigo. Sempat dirawat di rumah sakit karena tekanan. Sempat nyaris menyerah karena lelah. Tapi, dukungan dari banyak pihak, menjadi kekuatan. Terutama dari istri. “Saya sempat merasa ini pilihan yang salah. Tapi istri saya terus mendorong. Jangan berhenti. Tuntaskan.”

Disertasinya berjudul Edukasi Moderasi Beragama bagi Mantan Napiter. Sebuah studi mendalam berbasis wawancara, data lapangan, dan refleksi pribadi. Manzi bicara langsung dengan para mantan napiter. Ia menggali bagaimana proses mereka direkrut. Mengapa mereka percaya. Dan bagaimana mereka akhirnya sadar dan kembali ke tengah.

Sidang disertasinya penuh tekanan. Tujuh penguji. Rata-rata profesor. Manzi merasa gugup. Merasa kecil. Tapi, terus maju. Manzi menjawab satu per satu pertanyaan sang guru besar. Ia tidak bicara sebagai akademisi murni. Tapi, sebagai saksi hidup. Hasilnya, lulus! Dengan nilai tertinggi. Cum laude.

Manzi menangis. Bukan karena prestasi. Tapi, karena akhirnya berhasil menaklukkan dirinya sendiri.

Kini, tawaran mengajar datang dari berbagai kampus. Manzi menerima sebagian. Menolak sebagian. Tapi, tetap aktif membina lewat YLP. Ia meyakini, pendidikan adalah jalan panjang. Tapi, itu satu-satunya cara menyembuhkan luka yang paling dalam. Manzi tidak marah pada masa lalu. Namun, memilih untuk menggunakannya sebagai pelajaran.

Manzi tahu, tidak semua orang bisa berubah. Tapi, ia percaya bahwa semua orang punya peluang untuk berubah. Selama diberi kesempatan. Selama diberi ruang. Ia adalah bukti hidup bahwa pelaku kekerasan bisa menjadi pelaku perdamaian. Bahwa masa lalu bisa dibaca ulang. Bahwa hidup bisa diulang. Saling berlomba menyemai perdamaian. Menebar kebermanfaatan.

Dan, sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. (*)

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel WhatsApp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik.  Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan Klik di sini

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Editor: Supardi Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.