OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)
ASYURA atau 10 Muharram baru saja kita lewati. Sebagian umat Islam pun berpuasa sunah. Masyhur diketahui, Muharram adalah satu dari empat bulan yang dimuliakan dalam Islam. Dalam Surat At-Taubah ayat 36, Allah SWT menyebut bahwa di antara dua belas bulan, ada empat yang dihormati. Yakni, Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Di bulan-bulan ini, umat Islam dianjurkan menjauhi kezaliman. Memperbanyak amal saleh.
Namun, di tengah kekhususan tersebut, Muharram di sebagian wilayah Indonesia juga diwarnai dengan berbagai tradisi lokal yang tak kalah menarik untuk dikaji. Di Pulau Jawa, misalnya. Muharram dikenal dengan sebutan bulan Suro. Masyarakat Jawa memaknai sebagai bulan keramat, penuh misteri dan keheningan.
Malam-malam Suro pun diisi dengan beragam kegiatan spiritual. Mulai tirakatan, doa bersama, hingga ritual pencucian keris. Keris-keris pusaka warisan leluhur dimandikan dengan air kembang, diminyaki, dan disimpan kembali dengan nuansa penghormatan. Sebagian masyarakat percaya bahwa momentum ini adalah waktu terbaik untuk membersihkan benda pusaka dari energi negatif.
Tidak hanya itu, banyak orang juga menghindari gelaran acara seperti pernikahan atau pesta besar di bulan Suro. Alasannya beragam. Mulai dari anggapan Suro adalah bulan duka, hingga kepercayaan bahwa energi spiritual di bulan ini terlalu kuat dan bisa berdampak buruk jika dilanggar. Meski tidak semua umat Islam mempercayainya, namun tradisi tersebut tetap lestari sebagai bagian dari budaya dan kearifan lokal.
Di tengah arus tradisi tersebut, saya teringat sebuah kutipan menarik dari KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha), seorang ulama kharismatik dari Rembang. Dalam sebuah pengajiannya, ia menyampaikan sebuah pandangan yang menggugah. Intinya, Muharram tidak cukup hanya dengan mencuci keris, tetapi yang lebih penting adalah mencuci otak.
Pernyataan tersebut tentu tidak dimaksudkan untuk merendahkan budaya lokal. Tapi, sebagai refleksi atau evaluasi konstruktif. Ajakan spiritual. Dalam pernyataan itu terkandung ajakan bagi umat Islam agar tidak hanya sibuk dengan simbol-simbol budaya, tetapi juga memaknai Muharram sebagai momentum pembersihan pikiran dan hati.
“Mencuci otak” dalam konteks itu bukanlah seperti indoktrinasi. Pemaksaan pemikiran, sebagaimana sering dimaknai dalam politik. Sebaliknya, mencuci otak adalah metafora. Mencuci otaka adalah menyucikan cara berpikir, membersihkan akal dari segala bentuk keraguan, kesyirikan, kesombongan intelektual, dan pemikiran sesat yang menjauhkan manusia dari tauhid.
Jamak dipahami, dunia modern saat ini telah memproduksi beragam “debu pikiran”. Kotoran-kotoran halus dan sulit disadari. Dalam era media sosial, konsumerisme, dan opini massal, begitu banyak orang secara tidak sadar menjadikan harta, jabatan, pengaruh, atau bahkan teknologi sebagai sesembahan baru. Mereka kehilangan Allah dalam kesibukan duniawi.
Nah, Muharram adalah panggilan untuk berhenti sejenak dan bertanya: Apakah selama ini aku benar-benar bertauhid? Apakah Allah benar-benar pusat hidupku?
Masyhur, Muharram juga tidak bisa dilepaskan dari salah satu tragedi memilukan dalam sejarah Islam. Yakni, peristiwa Karbala, di mana cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husain bin Ali RA, gugur secara tragis bersama keluarga dan pengikutnya. Mereka dibunuh pasukan Yazid bin Muawiyah karena mempertahankan prinsip kebenaran dan menolak tunduk kepada penguasa zalim.
Kisah Karbala itu adalah cermin keberanian spiritual. Sayyidina Husain memilih jalan sulit. Mempertahankan tauhid dan keadilan, walaupun harus kehilangan nyawa. Sayyidina Husain menolak menjadikan agama sebagai alat politik, dan menolak tunduk pada kekuasaan yang menyeleweng.
Di sinilah pelajaran besar itu berada. ’’Mencuci otak’’ berarti menanamkan kembali nilai-nilai keberanian untuk berkata benar, membersihkan niat dari kepentingan pribadi, serta menegakkan tauhid di atas segalanya. Tragedi Karbala bukan sekadar kisah duka. Namun, inspirasi abadi tentang keteguhan iman.
***
Tradisi mencuci keris, tirakat malam Suro, atau menghindari pesta besar, adalah bagian dari kebudayaan masyarakat Jawa. Budaya ini terbentuk dari hasil percampuran antara nilai Islam dan nilai-nilai lokal yang berkembang berabad-abad. Islam, sebagai agama rahmatan lil alamin, tidak serta-merta menolak budaya, selama tidak bertentangan dengan ajaran tauhid.
Namun, seperti pesan Gus Baha, jangan sampai kita lebih sibuk mengelap keris daripada mengasah akal dan membersihkan hati. Jangan sampai spiritualitas kita lebih melekat pada simbol-simbol lahiriah, sementara substansi iman ditinggalkan. Keris tidak akan ditanya di akhirat. Yang akan ditanya adalah sejauh mana kita meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya yang patut disembah.
Dari “mencuci keris” ke “mencuci otak”, dari Karbala hingga budaya Jawa, semua ini pada akhirnya bermuara pada satu hal. Ketauhidan. Sebuah konsep inti dalam Islam bahwa Allah SWT adalah pusat segalanya. Dalam tauhid yang murni, tidak ada yang ditakuti selain Allah, tidak ada yang dicintai lebih dari Allah, dan tidak ada yang bisa menolong selain Allah.
Orang yang telah mencuci otaknya dalam makna spiritual, akan menjadi hamba yang bersih dari penyakit hati. Mulai dari iri, sombong, dengki, riya, dan cinta dunia. Ia akan menjadi sosok yang ringan hidupnya, lapang pikirannya, dan kuat jiwanya. Sebab, dalam dadanya hanya ada satu kekuatan besar: La ilaha illallah.
Muharram bukan hanya bulan haram. Bukan hanya bulan penuh pantangan. Namun, Muharram adalah momentum pembaruan diri. Momentum untuk membersihkan, menyucikan, dan memulai lagi. Bukan hanya secara budaya, melainkan secara ruhani. Mari jaga tradisi dengan bijak, tapi jangan lupakan inti ajaran Islam. Yakni, menjadikan Allah sebagai satu-satunya pusat kesadaran dan tujuan hidup.
Silakan saja cuci keris, jika itu bagian dari penghormatan budaya. Namun, jangan lupa bahwa otak kita jauh lebih penting untuk dicuci. Sebab, dari sanalah jalan hidup kita ditentukan. Jika pikiran kita bersih, tauhid akan terus hidup. Dan, jika tauhid hidup, maka seluruh hidup akan menemukan maknanya. (*)
—-
*) M. SHOLAHUDDIN, penulis lepas tinggal di Kabupaten Gresik