Belajar dari Polemik: Mengapa Kritik Rahayu Saraswati Penting

oleh -128 Dilihat
KRITIK RAHAYU

KADANG kita butuh tamparan keras untuk bisa bangun. Pernyataan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, anggota DPR RI, tentang “gaji buta” dan ajakan untuk berwirausaha memang menuai kritik. Bagi sebagian orang, kata-katanya itu terasa terdengar kasar dan menyinggung. Namun, jika sedikit saja bergeser dalam cara pandang, sebenarnya yang disampaikannya adalah kritik penting, sebuah tamparan yang membangunkan.

Polemik ini muncul karena banyak yang terjebak pada pilihan kata. Padahal, yang dimaksud rasanya bukan merendahkan profesi pegawai. Kritik Rahayu lebih ditujukan pada mentalitas: sikap pasif yang menggantungkan nasib sepenuhnya pada sistem dan menunggu gaji bulanan sebagai satu-satunya sumber rezeki.

Cara berpikir semacam itu memang sudah usang. Rezeki, sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW, datang dari banyak pintu—dan pintu-pintu itu terbuka ketika kita berusaha membukanya. Nabi sendiri adalah seorang pedagang. Beliau tidak menunggu lowongan kerja, melainkan menciptakan jalan hidupnya. Inilah semangat kemandirian yang coba ditegaskan Rahayu.

Pesan yang lebih dalam dari pernyataan itu adalah ajakan untuk bertanggung jawab atas diri sendiri, mengambil kendali penuh atas takdir ekonomi kita. Hal ini bukankah sejalan dengan firman Allah dalam Alqur’an: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11).

Ayat ini bukan sekadar nasihat spiritual, melainkan juga fondasi filosofis semangat kewirausahaan. Perubahan tidak datang dari luar. Ia harus dimulai dari dalam diri. Jika kita terus menunggu kebijakan pemerintah, investor, atau lowongan kerja, kita hanya akan menjadi penonton dalam permainan besar ekonomi global.

Lihatlah negara-negara maju. Jepang dikenal dengan bisnis keluarga yang diwariskan lintas generasi. Jerman punya mittelstand, ribuan perusahaan kecil dan menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi. Di Amerika Serikat dan Cina, entrepreneurship sudah menjadi budaya sejak lama. Semua itu lahir dari individu yang berani keluar dari zona nyaman dan menciptakan peluang sendiri, bukan hanya mencari.

Benar, diksi Rahayu mungkin kurang tepat dan rawan disalahartikan. Namun, bangsa ini harus belajar melihat melampaui kata-kata. Inti pesannya jelas: di tengah terbatasnya lapangan kerja formal, semangat mandiri dan berwirausaha adalah kunci. Polemik ini seharusnya menjadi momentum untuk diskusi yang lebih konstruktif—bagaimana menumbuhkan semangat entrepreneurship di kalangan anak muda, bagaimana pemerintah hadir dengan dukungan konkret, dan bagaimana ekosistem yang ramah bagi wirausaha kecil bisa tercipta.

Pada akhirnya, pernyataan Rahayu Saraswati adalah sebuah pengingat. Pengingat bahwa kemandirian bangsa tidak mungkin tercapai jika kita masih bergantung sepenuhnya pada sektor formal. Kritiknya mungkin terdengar keras, tapi justru itulah yang dibutuhkan—sebuah tamparan yang memaksa kita untuk bergerak. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini



No More Posts Available.

No more pages to load.