Bertani- Jasinga, sebuah kecamatan di Kabupaten Bogor yang mungkin tak banyak dikenal, kini harum semerbak oleh aroma durian. Di sana, di tengah pepohonan rindang dan tanah subur, Haji Listiono, seorang mantan pengusaha pabrik dan mebel, menemukan rezeki yang sesungguhnya. Bukan dari gedung tinggi atau bisnis besar, melainkan dari sepetak lahan di kampung halamannya sendiri, tempat ia menanam durian dengan tangan dan hati.
Kisah Haji Listiono adalah sebuah anomali. Setelah bertahun-tahun berkutat dengan bisnis skala besar yang omzetnya miliaran, ia justru menemukan kenikmatan cuan yang paling nyata dari bertani. Berbekal lahan seluas hampir 20 hektare di Desa Bagoang, ia memutuskan untuk fokus pada satu hal: durian. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Baginya, durian adalah buah dengan nilai ekonomi terbaik saat ini, dan perawatannya tak serumit yang orang bayangkan.
Filosofi Bertani yang Membumi
Haji Listiono mematahkan stereotip tentang pertanian modern. Ia tidak mengandalkan alat canggih atau pestisida berlebihan. Sebaliknya, ia merawat pohon-pohon duriannya dengan cara-cara tradisional, warisan para petani lama. Prinsipnya sederhana: “Yang penting pupuknya cukup dan organik.” Ia bahkan menganggap hama sebagai bagian dari kehidupan alam, bukan musuh yang harus dibasmi habis.
Metode organiknya ini menghasilkan buah yang berkualitas tinggi. Ia membuat pupuk sendiri dari kotoran ayam, kambing, dan bahan organik lain yang difermentasi. Pupuk ini diberikan tiga kali setahun, sementara penyiraman hanya dilakukan saat musim panas. Alih-alih menggunakan perangsang buah, ia membiarkan pohon beristirahat alami setelah panen agar tetap sehat dan berproduksi secara berkelanjutan.
Panen Melimpah, Cita Rasa Juara
Kerja keras Haji Listiono membuahkan hasil yang luar biasa. Dalam tahun-tahun terbaiknya, panennya bisa mencapai 32 ton durian! Satu pohon bahkan bisa menghasilkan hingga 100 buah. Namun, yang paling membanggakan adalah kualitas buahnya. Varietas Bawor yang ia tanam memiliki daging buah yang tebal, biji yang kempis, dan tekstur creamy dengan rasa manis yang disukai banyak orang. Saking lezatnya, para pembeli sering menyebut rasa durian Bawornya mirip dengan Musang King.
Kualitas ini membuat durian H. Lis sangat diburu. Awalnya, ia menjual durian Bawor seharga Rp60.000 per kg. Kini, harganya melonjak hingga Rp150.000 per kg, namun tetap ludes diserbu pembeli. Konsumennya tak hanya datang dari Jabodetabek, tapi juga dari Sumatera dan bahkan luar negeri. Saking banyaknya permintaan, hasil panennya selalu habis terjual di kebun tanpa perlu dikirim ke tengkulak.
Inspirasi dan Harapan yang Menginspirasi
Kisah sukses Haji Listiono tidak hanya berhenti di kebunnya. Ia kini menjadi inspirasi bagi banyak orang. Banyak petani dan calon petani datang untuk belajar, dan pulang dengan semangat baru untuk membuka kebun durian sendiri. Ia bahkan menjual bibit durian, membuka peluang bagi orang lain untuk mengikuti jejaknya.
Harapan Haji Listiono pun sederhana, namun kuat: ia ingin Jasinga menjadi sentra durian nasional dan membangkitkan ekonomi petani lokal. Baginya, pasar durian Indonesia masih sangat besar dan belum dimaksimalkan, bahkan kita masih harus impor dari Malaysia. “Buat saya, durian itu makanan enak yang enggak akan pernah kehilangan pasar. Jadi, jangan takut jadi petani durian,” ujarnya, memotivasi.
Dari seorang pengusaha dengan modal besar, kini Haji Listiono menjadi petani yang membumi dan tetap rendah hati. Ia telah membuktikan bahwa rezeki sejati seringkali datang dari kerja keras, ketekunan, dan kecintaan pada alam, di tanah sendiri yang kita cintai. Kisah manisnya menjadi pengingat bahwa kesuksesan tak melulu soal kota atau gedung tinggi, tapi tentang bagaimana kita menemukan potensi di tempat di mana kita berpijak. (*)