Bertani- Di tengah kebun singkong menghijau nan subur, terdengar jeritan yang nyaris tak terdengar oleh pasar global. Harga singkong terjun. Cukup jauh di bawah biaya produksi. Situasi ini membuat petani lokal merugi. Di Lampung Timur, satu kilogram singkong dijual seharga Rp 600–700. Padahal, biaya produksi mencapai Rp 740 per kilogram. Bagi para petani, ini bukan sekadar rugi, tetapi ancaman nyata bagi keberlangsungan hidup.
“Kami menanam singkong dengan harapan hidup lebih baik, tapi yang terjadi justru kami tercekik oleh harga yang anjlok. Sudah kerja keras di ladang, tapi hasilnya tidak sebanding dengan biaya yang kami keluarkan.” Demikian kerap kali jeritan itu terdengar.
Tekanan harga singkong tersebut disinyalir tidak lepas dari tingginya impor tepung tapioka. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah II Lampung pernah mengungkap, sepanjang tahun 2024, empat perusahaan besar di Provinsi Lampung telah mengimpor tepung tapioka sebanyak 59.050 ton dari Vietnam dan Thailand. Total nilainya mencapai Rp 511,4 miliar. Salah satu perusahaan bahkan mendominasi impor tersebut dengan porsi mencapai 80 persen, setara dengan 47.202 ton dan nilai sekitar Rp 407,4 miliar.
Dari data yang dihimpun, empat perusahaan besar di Lampung yang diduga menguasai mayoritas pasar tepung tapioca adalah PT Sorini Agro Asia Corporindo Tbk (SOBI), anak perusahaan multinasional Cargill Inc., mengimpor sekitar 47 ribu ton melalui pelabuhan Panjang, Tanjung Priok, dan Tanjung Perak; PT Budi Starch & Sweetener Tbk, bagian dari Sungai Budi Group; CV Semangat Jaya, milik pengusaha lokal; dan PT 555/Johan Gani.
Harga murah bahan baku impor tersebut, tanpa kontrol ketat, menekan daya beli singkong lokal. Petani merasa seperti “terjebak” antara kebutuhan hidup dan permainan harga industri besar. Sejatinya, pemerintah telah menetapkan harga beli minimal singkong sebesar Rp 1.350 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15 persen dan membatasi impor tepung tapioka melalui regulasi larangan terbatas (Lartas). Namun, pengawasan implementasi kebijakan di lapangan pun menjadi kunci.
Persoalan ini bukan hanya soal harga. Tapi, soal keberlanjutan hidup para petani lokal dan masa depan industri singkong dalam negeri. Setiap jeritan di ladang adalah alarm nyata. Di balik angka impor dan kepentingan industri besar, ada manusia yang menanam dengan harapan. Bukan sekadar statistik pasar. Apakah kebijakan pemerintah cukup kuat untuk melindungi mereka? Atau jeritan petani akan tetap tenggelam oleh arus tepung tapioka impor?
Reaksi Pemerintah
Sementara itu, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman memastikan aturan larangan terbatas (Lartas) impor etanol dan tapioka segera berlaku sebagai langkah strategis melindungi petani lokal serta memperkuat ketahanan pangan nasional. Amran menjelaskan, kebijakan Lartas tersebut merupakan arahan langsung Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan pemenuhan kebutuhan dalam negeri harus menjadi prioritas utama sehingga impor hanya dilakukan ketika produksi domestik tidak mencukupi.
’’Hari ini atas arahan Bapak Presiden Republik Indonesia, khusus etanol, kita akan terbitkan Lartas, larangan terbatas, impor. Ini kita impor sesuai kebutuhan. Kalau dalam negeri bisa terpenuhi, impor ditiadakan. Kemudian juga tapioka,” kata Amran seusai rapat koordinasi (Rakor) dengan Pemprov Lampung dan sejumlah asosiasi petani singkong dan tebu di Jakarta dilansir dari Antara, Jumat (15/9).
Dia menegaskan, jika produksi etanol maupun singkong dari dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan nasional, maka impor akan dihentikan sepenuhnya sehingga petani lokal mendapatkan kepastian pasar yang lebih menguntungkan.
Kementan juga menekankan bahwa keputusan strategis tersebut merupakan bagian dari implementasi kebijakan Presiden yang selama kepemimpinan dalam 10-11 bulan terakhir telah mengeluarkan 17 instruksi di sektor pangan. Amran mencontohkan beberapa kebijakan Presiden di sektor perkebunan tebu, antara lain regulasi pupuk subsidi melalui ZA yang kini bisa diakses, bantuan subsidi bibit senilai Rp 200 miliar, serta program bongkar ratoon (peremajaan tanaman tebu) senilai Rp1,6 triliun.
Selain itu, pemerintah juga menggulirkan berbagai kebijakan pangan lain seperti program irigasi, pompanisasi, dan perbaikan oplah yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas pertanian nasional secara menyeluruh dalam jangka panjang.
Terkait payung hukum Lartas etanol dan tapioka, Amran memastikan Kementan telah berkoordinasi dengan Menteri Perdagangan Budi Santoso dan melaporkan hal itu kepada Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan, dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto agar segera ditetapkan dalam waktu dekat.
Dia menegaskan, kebijakan tersebut akan diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang saat ini sedang difinalisasi dan ditargetkan terbit paling lambat awal pekan depan. “Mudah-mudahan hari ini keluar, paling lambat, Senin (22/9) atau Selasa (23/9). Lartas dalam bentuk Permendag,” bebernya.
Ketika ditanya apakah kebijakan tersebut merupakan revisi dari Permendag Nomor 16 Tahun 2025, Amran enggan merinci lebih jauh dan hanya menyatakan masyarakat diminta menunggu pengumuman resmi pemerintah. Dia juga memastikan produksi singkong nasional saat ini dalam kondisi cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga pemerintah berkomitmen penuh mengutamakan hasil pertanian lokal daripada membuka keran impor kembali.
Sementara itu, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal mengapresiasi langkah Presiden melalui Mentan yang mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada petani singkong, mengingat Lampung menyumbang sekitar 70 persen produksi ubi kayu nasional. Ia menyoroti penurunan harga tepung tapioka di pasar global serta derasnya impor yang akhirnya menekan harga singkong, sehingga menimbulkan keluhan berkepanjangan dari petani singkong di Lampung dan seluruh Indonesia.
Rahmat menyambut baik keputusan Mentan menutup keran impor tepung tapioka melalui kebijakan Lartas, karena diyakini mampu mengangkat kembali harga singkong di Lampung maupun daerah lain. Selain itu, pihaknya juga meminta agar pemerintah memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) untuk tepung tapioka agar rantai perdagangan lebih terkendali sehingga mampu memberikan keuntungan lebih besar bagi petani. (*)












