MUSIM kepulangan telah tiba. Setelah puncak haji, saat tubuh dan ruh menyatu dalam samudra manusia di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, gairah yang sebelumnya menyala seperti api, perlahan mulai meredup. Menjadi bara, namun tetap hangat. Umrah sunah, tawaf malam, dan zikir panjang, semula dilakukan dengan penuh semangat tak putus. Perlahan terasa melambat.
Bukan karena lelah semata, melainkan karena jiwa tahu. Puncak telah dilalui. Seperti gunung tinggi sudah didaki hingga ke puncaknya, kini tak ada lagi yang dituju kecuali menurun. Menapak ke dataran pulang, membawa serta rasa syukur yang dalam dan sunyi yang samar.
Bayang-bayang tanah air mulai datang dalam mimpi dan diam. Setiap langkah di pelataran Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, terasa sudah seperti ziarah terakhir. Doa-doa menjadi perpisahan, azan terdengar lebih sayup, dan hati mulai mengemas dirinya sendiri
Sebelum pulang, ada satu aroma yang tak hanya menguar dari tubuh para jemaah. Tapi, juga menyelusup lembut dari balik koper-koper yang akan kembali ke tanah air. Tidak terkecuali pada diri saya. Aroma minyak wangi. Ia bukan sekadar harumnya parfum, melainkan lebih mirip-mirip ziarah inderawi yang dibungkus botol kecil berhiaskan aksara Arab.
Di antara yang paling diburu jemaah, selain kurma, air zamzam, dan sajadah bermotif Masjidil Haram serta Masjid Nabawi, adalah minyak wangi. Attar, begitu orang Arab menyebutnya. Sebuah tetes yang menyimpan kesan spiritual sekaligus kemewahan duniawi. Ia seakan-akan memiliki kemampuan gaib untuk membawa pulang jejak harum dari Tanah Suci, sekaligus sebagai bukti telah ‘menyentuh langit’, bahkan jika hanya sebentar.
Tapi, apa sesungguhnya yang sedang dikejar para jemaah ketika berebut dan antre membeli botol-botol mungil seharga ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah itu? Apakah hanya sebatas aroma? Ataukah ada makna simbolik lain yang jauh lebih dalam, terselip di antara molekul-molekul harum dan bisik-bisik pedagang di toko atau mal-mal di Makkah atau Madinah?
Minyak wangi, dalam konteks haji, bukan hanya benda. Ia adalah metafora. Tetes kecil itu mengandung hasrat manusia untuk menangkap yang ilahi, untuk membotolkan kesucian dan membawanya pulang sebagai warisan spiritual. Ia adalah percobaan manusia untuk mengabadikan pengalaman transenden dalam bentuk fisik.
Dalam sejarah Islam, wangi-wangian bukan barang asing. Nabi Muhammad SAW sendiri mencintai wangi-wangian. Dan, sunnah beliau mengajarkan bahwa minyak wangi adalah bagian dari kebersihan dan keindahan. Dua hal yang amat dijunjung tinggi dalam iman. Tapi, dalam konteks jemaah haji, terutama yang datang dari kampung, boleh jadi ada dimensi yang lebih kompleks.
Baca juga: Hajar Aswad dan Nama Ibu
Minyak wangi menjadi lambang keberhasilan. Ia adalah “oleh-oleh tertinggi”. Sebotol kecil dari toko di Tanah Haram ini menjadi pusaka keluarga. Diteteskan di hari-hari istimewa seperti malam takbiran, salat Hari Raya ataupun saat momen pernikahan keluarga. Harumnya menjadi pengingat bahwa sang ayah, kakek, atau ibu pernah menginjakkan kaki di tanah impian jutaan umat di seantero bumi.
Namun, seperti semua simbol, ia bisa menjadi jebakan. Saya masih ingat bagaimana, saat menjadi bagian dari Media Center Haji (MCH) tahun 2013. Saya melihat sendiri bagaimana para jemaah memborong minyak wangi dengan gairah yang—maaf—terkadang lebih menyala dari zikir saat malam. Ada yang membawa botol berharga jutaan rupiah, bahkan puluhan juta. Sebagai orang kampung, saya pun hanya bisa geleng kepala.
Mereka membeli bukan karena butuh, melainkan karena makna. Sebab, aroma adalah pengganti cerita yang tidak bisa diucapkan. Karena di desa, tidak semua bisa memahami kisah spiritual dalam bahasa teologis. Namun, semua bisa mengendus harum, kemudian berkata. “Ah, ini pasti wewangian dari Tanah Suci.”
Baca juga: Jejak Kecil dari Langgar Kampung ke Raudhah Cinta
Jika minyak wangi seolah aroma surga, maka minyak oles, seperti hajar jahanam, kadal Mesir, atau ramuan entah apa namanya, adalah komedi spiritual dalam wujud lain. Sudah pasti, tak semua jemaah memburunya. Tapi, cukup banyak yang menaruh rasa penasaran. Mungkin karena cerita-cerita nyeleneh dari mulut ke mulut. Mungkin karena rasa ingin tahu yang tak bisa diredam oleh usia dan status sosial.
Teman saya, misalnya. Pernah berujar sambil tersenyum lirih. ’’Bro, carikan itu lho, kadal Mesir atau Hajar Jahanam.”
Awalnya, saya kira sebatas canda. Tapi, ketika saya bertanya ke beberapa orang, ternyata memang ada toko-toko yang menjualnya. Sambil berbisik, tentu saja, saya seolah sedang membeli rahasia Mesir kuno. Transaksinya mirip jual-beli barang gelap. Di sebuah toko, setelah beberapa lembar Riyal diberikan, pedagang Arab dengan tatapan penuh selidik itupun menyerahkan barang dalam sebuah kotak plastik kecil.
Baca juga: Sepuntung Asap di Tanah Suci
Minyak ini lebih mirip cerita rakyat daripada produk ilmiah. Di pasaran dalam negeri, kita pun mendengar ada minyak untuk memperbesar, memperpanjang, mempercepat, memperlambat. Seolah tubuh ini adalah jam yang bisa diatur ulang. Ada pula minyak untuk “mengembalikan suami yang hilang gairah”, atau “mengikat cinta istri yang nakal”.
Semuanya absurd. Tapi, sekaligus menyentuh satu sisi manusiawi. Kerentanan. Di balik ritual-ritual sakral haji, manusia tetaplah manusia. Penuh keinginan, lelucon, dan hasrat-hasrat kecil yang ingin dimenangkan. Apakah haji sudah berubah menjadi tur ritual dan bazar spiritual? Apakah oleh-oleh semacam ini mengganggu kekhusyukan ibadah? Atau justru menjadi bagian dari kekayaan pengalaman sosial yang tak bisa dihindari?
Mungkin jawabannya tidak tunggal. Perjalanan haji adalah ziarah yang berlapis. Ada lapisan syariat, tawaf, sa’i, lontar jumrah, wukuf. Ada pula lapisan sosial. Bertemu sesama Muslim dari seluruh dunia. Dan, ada pula lapisan personal. Hasrat membawa pulang bukti, cerita, dan kenangan.
Baca juga: Panggilan Langit
Minyak wangi dan minyak oles adalah dua sisi dari koin yang sama. Yang satu sakral, yang lain profan. Yang satu diteteskan ke sajadah, yang lain diam-diam dioles di balik pintu. Tapi, keduanya adalah cara manusia memahami dan merayakan kehidupannya setelah menyentuh dimensi spiritual.
Tak jarang, saya melihat jemaah tua dari Madura atau lereng Merapi, bertanya dengan sungguh-sungguh tentang harga minyak wangi Ajmal atau Oud khas. Padahal, harganya bisa menyaingi emas. Tapi, mereka tetap membelinya. Entah karena ingin membahagiakan keluarga di rumah, entah karena percaya bahwa setiap tetesnya adalah berkah yang bisa diwariskan.
Di sisi lain, para jemaah muda lebih santai. Mereka lebih mudah tergoda membeli hajar jahanam, kadal Mesir, dan sejenisnya itu karena mungkin dari video media sosial atau cerita dari grup WhatsApp. Mereka menjadikan perburuan itu sebagai hiburan di sela-sela ritus serius.
Saya tetap menjadikan pengalaman ini sebagai sebait pelajaran. Pasti tidak ada di bangku kuliah atau lembar-lembar buku manasik. Bahwa, haji tidak hanya mempertemukan manusia dengan Tuhan. Namun, juga dengan dirinya sendiri. Dengan segala lapisan keinginannya. Dengan segala absurditas, keluguan, dan kejujurannya.
Baca juga: Dulu Aku Hanya Anak Madrasah, Kini Aku Berdiri di Hadapan Laut Musa
Ketika pesawat mendarat di tanah air, oleh-oleh itu keluar satu per satu dari koper-koper besar. Ada yang bungkusnya mewah, ada pula yang sudah hampir bocor karena tekanan udara. Tapi, semuanya disambut rasa haru. Bagi yang menerima, sebotol kecil minyak wangi itu bisa menjadi semacam relik suci. Ia akan ditaruh di lemari kaca, dikeluarkan saat hari raya, dan diceritakan kepada anak-cucu.
Sementara minyak oles, akan lebih sering disembunyikan. Tapi diam-diam, tetap dicari, dibagikan, dan boleh jadi dipesan ulang lewat jasa titip haji berikutnya.
Akhirnya, haji bukan hanya soal wukuf di Arafah atau lempar jumrah di Mina. Ia juga soal pasar, tawa, oleh-oleh, dan perburuan kecil. Tampaknya sepele, tapi menyimpan makna manusiawi.
Minyak wangi dan minyak oles adalah dua aroma dari dunia yang sama. Dunia manusia. Yang satu harumnya menenangkan, yang lain baunya menyengatkan. Tapi, keduanya menunjukkan bahwa haji bukan hanya pertemuan dengan Tuhan, melainkan juga pertemuan dengan diri sendiri. Yang rapuh, yang ingin dikenang, yang ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Baca juga: Ke Museum Haramain, Hati Peradaban Tanah Suci
Dan, mungkin, dari semua oleh-oleh tersebut, yang paling berharga bukanlah yang ada di botol itu. Namun, cerita di baliknya. Cerita yang akan terus hidup, dituturkan dari mulut ke mulut, dan menjadi aroma tak kasat mata, yang menyelimuti keluarga, desa, bahkan bangsa dan tanah air. (*/Tamat)