Dari Arafah ke Mina: Berlomba Jadi Sarjana Universitas Kehidupan

oleh -617 Dilihat
LEMPAR JUMRAH
ILUSTRASI: Jemaah haji sedang lontar jumrah di Minam Arab Saudi di musim haji. (Foto Kemenag)

DI TANAH yang disucikan oleh langit dan dilipatgandakan oleh waktu, saya dan teman-teman datang bukan hanya sebagai tamu-Nya. Sebagai bagian dari tim Media Center Haji (MCH) tahun 2013, kami tidak hanya meliput peristiwa. Tapi, juga menyusuri lembaran-lembaran makna dalam setiap jengkal tanah suci.

Haji adalah Arafah sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. Maka, perjalanan spiritual ini mencapai klimaksnya bukan saat tawaf atau sai. Namun, saat ruh dan raga tunduk di Padang Arafah. Seperti anak panah yang dilepaskan dari busur waktu, perjalanan dari Arafah tak berhenti. Berlanjut ke Muzdalifah, dan akhirnya ke Mina. Tempat ritual itu menjelma menjadi ujian lahir dan batin, atau dalam istilah jemaah: “Armuzna” atau ‘’Armina’’.

Arafah adalah panggung kontemplasi. Jutaan manusia berada. Bersatu dalam putihnya ihram. Menyuarakan satu kata. Ampunan. Di situlah jemaah meletakkan ego terakhirnya. Di hadapan langit terbuka, tak ada pangkat, jabatan, atau status yang bisa menyelamatkannya, kecuali hati bersih dan air mata yang jujur.

Baca juga: Gurun, Gelap, dan Malaikat Tambal Ban

Saya menyaksikan dan mencatat. Tapi, bagaimana mungkin mencatat doa-doa yang tak terucap? Bagaimana menuliskan getaran hati yang hanya bisa dibaca oleh Tuhan? Di Arafah, jurnalistik kehilangan bentuk formalnya. Kata-kata tak cukup. Kamera terlalu kaku. Maka, yang tersisa adalah diam. Diam yang merenung.

Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. Tirmidzi)

Ada sesuatu dalam langit Arafah yang menahan waktu. Kita berdiri di tengah ribuan bahkan jutaan doa. Tapi, seakan sendirian. Seakan Arafah adalah ruang pertemuan antara seorang hamba dengan Tuhan, di mana tak satu pun bisa ikut campur.

Dari Arafah, kami bergerak menuju Muzdalifah. Sebuah perjalanan pendek di peta. Tidak lebih 10 kilometer. Namun, begitu panjang dalam makna. Di sana, di antara kerikil dan bintang, kami mengumpulkan batu. Batu-batu kecil, penuh niat besar. Setiap butir adalah simbol perlawanan terhadap ego, syahwat, dan kebodohan diri.

Malam di Muzdalifah adalah malam yang membeku oleh lelah. Tidak ada hotel, tidak ada kasur empuk. Hanya bumi yang menjadi ranjang. Langit menjadi selimut. Di sana, kami tak hanya kelesetan di tanah, tetapi meletakkan semua kesombongan di atasnya. Langit Muzdalifah malam itu menjadi saksi kerendahan hati. Terdengar zikir lirih, dibalut bunyi angin gurun. Malam itu tidak sunyi. Ia menyimpan percakapan rahasia antara hamba dan Rabb-nya.

Baca juga: Sepatu Dahlan Iskan 19: Antara Cinta Dunia dan Panggilan Langit Tanah Suci

Dan akhirnya, Mina. Tempat di mana semangat dan tubuh diuji. Tempat kerikil-kerikil yang dikumpulkan semalam di Muzdalifah itu berubah menjadi peluru simbolik. Untuk melempar setan bukan di luar, tetapi di dalam dada. “Mina bukan tempat tinggal. Tapi, tempat pindang manusia ” kata seorang jemaah dengan nada bercanda.

Ia tidak sepenuhnya salah. Tenda-tenda Mina adalah labirin panas dan sempit. Seperti sebuah judul lagu, penuh aroma perjuangan dan doa. Seperti ikan pindang yang dijejal dalam bungkusan bambu, kami, para jemaah, berbaring dalam kepadatan. Bahkan, banyak yang harus tidur di luar tenda, atau bahkan tidak tidur sama sekali.

Sebagai petugas MCH, kami tidak mendapat perlakuan istimewa. Sama saja. Antre toilet, antre wudhu, bahkan antre untuk sekadar membasuh muka. Di tengah keterbatasan itu, sungguh kesabaran menjadi satu-satunya kekayaan. Kemewahan. Tidak jarang kami mendapati jemaah yang meledak amarahnya. Mungkin karena lapar, mungkin karena lelah, atau mungkin karena tak terbiasa diuji.

Di Mina, ritual jumrah menjadi puncak fisik dan spiritual. Jutaan jamaah berjalan dari tenda ke jamarat. Seperti semut putih keluar dari sarang. Mereka bergerak dalam irama yang tak kasat mata. “Ini bukan gaduh, melainkan zikir,” kata seorang jemaah sambil tersenyum saat kami berdesakan di terowongan.

Benar saja, gema takbir, talbiyah, salawat, doa-doa dalam berbagai bahasa, menyatu menjadi nyanyian alam. Langkah kaki menjadi denting waktu. Napas terengah-engah menjadi irama kerinduan. Di balik peluh dan debu, ada cinta yang tak bisa dijelaskan.

Baca juga: Sepuntung Asap di Tanah Suci

Empat malam hampir tanpa tidur. Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Badan ini menjadi saksi bahwa cinta kepada Tuhan bukan hanya ritual, tapi pengorbanan total. Tubuh ini pun sempat terhuyung. Fisik tak lagi bisa kompromi. Tapi, takdir mempertemukan aku dengan seorang dokter asal Gresik. Muhibatul Husna, yang kelak menjadi kepala Dinas Kesehatan di Gresik. Ia tidak hanya memberikan vitamin, tetapi juga suntikan semangat.

“Tuhan pasti mencatat lelah-lelah kita. Bahkan, mungkin jauh lebih dari yang ditulis dalam berita,” katanya sambil tersenyum. Obat yang diberikannya mungkin biasa, tapi kalimat itu memiliki mana luar biasa. Seperti ayat yang tak tertulis, tapi menggugah.

Sebagai MCH, tugas kami bukan hanya melaporkan. Tapi, tugas utama adalah membantu jemaah. Bisa berhaji itu bonusnya. Kami kerap menjadi penunjuk jalan. Mencari tenda jemaah yang tersesat. Di Mina, semua tenda putih. Semua lorong sempit. Gelang identitas menjadi peta. Tapi, tidak semua jemaah bisa bicara bahasa Indonesia. Ada yang hanya bisa bahasa Madura, Sunda, atau bahasa daerah masing-masing.

Aku masih ingat seorang nenek dari Madura. Ia menangis karena tak menemukan tendanya. Kami tidak saling mengerti bahasa. Tapi ia menunjukkan gelangnya. Kami pun berusaha menuntun arah dengan bahasa isyarat. “Nek, ayo ikut saya,” ucapku sambil menunduk, berharap ia memahami.

Baca juga: Hajar Aswad dan Nama Ibu

Ia mengangguk. Dan saat kami tiba di tendanya, ia memeluk erat. Tidak ada kata. Hanya peluk. Tapi pelukan itu berbicara lebih dari seribu bahasa. Mungkin itulah yang dimaksud dalam hadis: “Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Di tengah kelelahan, ada juga tawa. Seorang jemaah asal Jawa Timur bertanya padaku saat kami dalam kerumunan. “Mas, ini kok jumrah tiga kali ya? Apa nggak bisa langsung dilempar semua sekalian?” Aku tersenyum. Lalu menjelaskan bahwa itu simbol dari perjuangan berlapis-lapis. Setan tidak datang sekali, tapi berkali-kali. Dan kita harus siap setiap saat.

Setiap batu yang dilempar adalah batu yang dilempar ke dalam diri. Terhadap nafsu. Terhadap ego. Terhadap keinginan untuk menyerah. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Hajj ayat 27: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan dengan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”

Dan kami datang. Dari pelosok negeri. Dengan niat. Dengan semangat. Dengan cinta. Haji bukan hanya peristiwa. Ia adalah transformasi. Revolusi sunyi dalam diri. Sebagaimana Kakbah adalah titik pusat semesta, maka haji adalah pusat perubahan. Sebagaimana firman-Nya: “Dan barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)

Baca juga: Simfoni Sunyi Kepak Merpati di Tanah Suci

Menjadi haji bukan soal pergi ke Makkah. Tapi menjadi orang yang berhaji yang sabar dalam antre, ikhlas dalam sempit, dan bijak dalam kelelahan. Haji bukan hanya tentang doa yang naik ke langit, melainkan tentang bagaimana setelahnya kita turun ke bumi. Menjadi manusia yang lebih baik.

Armuzna adalah universitas kehidupan. Di sana, kami belajar makna zuhud, sabar, dan syukur. Kami belajar bahwa dalam sempitnya ruang, manusia bisa saling berbagi. Dalam gelapnya malam, doa menjadi cahaya. Dan dalam lelahnya tubuh, ruh tetap bisa bertasbih. Sebuah pelajaran dari perjalanan spiritual yang tak mungkin digantikan seminar, buku, atau diskusi intelektual.

Di Armuzna, aku belajar. Surga tidak dijanjikan kepada yang kuat, tetapi kepada yang sabar. Bahwa, tak semua air mata itu duka, sebagian adalah cahaya. Setiap langkah di tanah suci, adalah doa yang sedang berjalan. Selamat jalan, wahai diri. Kembalilah dari Mina bukan hanya dengan nama “Haji,” tapi dengan jiwa yang lebih mengerti. Perjalanan ini bukan sekadar ibadah, tapi pertarungan batin yang memformat ulang pribadi-pribadi. (*/bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: M. Sholahuddin


No More Posts Available.

No more pages to load.