OLEH: FAIZ ABDALLA*)
GEGER. Belum kering ingatan publik akan vonis rendah terhadap Harvey Moies di kasus korupsi timah. Total kerugian negara mencapai Rp 300 triliun. Hukumannya hanya 6,5 tahun. Belakangan, nama suami aktris Sandra Dewi itu ramai kembali ’’dirujak’’ warganet. Sebuah unggahan di salah platform media sosial mengungkap status Harvey Moies sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS.
Sontak, warganet menggunjing. Menilainya tidak pantas. Dengan profil Harvey Moeis, tentu saja ia dianggap tak layak menjadi peserta BPJS yang iurannya ditanggung APBD maupun APBN. Betapa tidak, PBI itu merupakan program yang tujukan untuk fakir-miskin atau tidak mampu. Sedangkan rekam jejak sebagai crazy rich alias pengusaha tambang batubara, jet pribadi hingga pernah menyelenggarakan resepsi pernikahannya di Disneyland Tokyo. Maka, jelas-jelas Harvey Moeis bukan golongan warga tak mampu yang laik sebagai PBI.
Jejak Eko Aryanto, Alumnus Unbraw Malang, Ketua Majelis Hakim Megakorupsi Rp 300 Triliun
Pihak BPJS pun sudah memberikan tanggapan. Membenarkan atas apa yang disorot warganet tersebut. Harvey Moeis terkonfirmasi merupakan peserta PBI Daerah. Tepatnya, segmen Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU).
***
Lantas, pantaskah orang seperti Harvey Moeis dengan latar belakang sebagai orang berlimpah harta, mendapatkan fasilitas PBI Daerah? Pertama, harus dipahami, walaupun berangkat dari konsepsi yang sama, yakni penerima bantuan iuran (PBI), namun dalam perkembangannya terdapat perbedaan antara PBI-JK (jaminan kesehatan) dengan PBI-D (daerah). Bukan perbedaan yang berarti memang. Tapi, karena sumber anggaran dan maksud berbeda, maka ada konsekuensi beberapa perbedaan implementatif antara PBI-JK dengan PBI-D.
PBI-JK, bersumber dari APBN. Motivasi yang melatarinya murni untuk jaminan dan perlindungan sosial. Bantuan sosial. Guna memenuhi warga kurang mampu, fakir miskin, dan unsur-unsur rentan lainnya, tetap terjamin kebutuhan pokoknya. Khususnya kebutuhan berobat dan kesehatan.
Mengingat keterbatasan anggaran, maka konsep belanja bansos PBI ini juga diturunkan di daerah. Menggunakan alokasi anggaran APBD. Yang kemudian disebut sebagai PBI-D. Dengan demikian, covering untuk penyelenggaraan jaminan kesehatan warga jauh lebih banyak dan merata. Ada pemerataan dan perimbangan antara anggaran pusat dan daerah.
Namun, dalam perkembangannya, muncul inisiasi daerah untuk menyelenggarakan Universal Health Coverage (UHC). Yakni terselenggaranya jaminan kesehatan hingga 98 persen dari total populasi penduduk daerahnya. Dalam konsepsi ini, PBI-D mengalami sedikit pergeseran definisi. Yang semula warga kurang mampu atau warga yang masuk data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), menjadi siapa pun warga daerah asalkan berkenan mendapatkan pelayanan setara PBI-D atau PBI-JK.
Misalnya, di dalam Perbup Nomor 60 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan UHC Kabupaten Gresik. Disebutkan, “Peserta jaminan kesehatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, yang sebelumnya pernah mendaftarkan diri atau didaftarkan sebagai peserta PBI JK, peserta PPU (Peserta Penerima Upah), PBPU atau BP (Bukan Pekerja) dapat dialihkan kepesertaannya menjadi peserta PBI-D.”
Artinya apa? Bahwa, ketika sebuah daerah telah mendeklarasikan diri sebagai UHC, maka daerah bersangkutan telah bersiap secara anggaran menempatkan warganya sebagai penerima bantuan iuran (PBI). Tidak peduli apakah yang bersangkutan warga kurang mampu, warga tidak mampu (DTKS), atau mampu. Asalkan berkenan didaftarkan sebagai peserta PBI-D dengan layanan yang setara, maka warga daerah setempat berhak mendapat bantuan iuran dari pemerintah daerah yang telah melaksanakan program UHC.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa konsep PBI-JK itu merupakan murni bansos, dan filtrasi atau penyaringnya adalah DTKS. Sementara, PBI-D merupakan bansos yang terbilang samar. Sebab, tidak mengkualifikasikan kategori miskin dan rentan. Filtrasinya pun bukan DTKS, melainkan prinsip kesetaraan antarwarga daerah.
Nah, dari penjelasan ini, maka tidak heran sebenarnya mengapa orang seberlimpah harta seperti Harvey Moeis bisa terdaftar sebagai peserta PBI-D BPJS.
***
Akan tetapi, publik tentu tetap akan bersikap heran. Bertanya-tanya. Anggaran dialokasikan untuk membantu iuran orang seberlimpah Harvey Moeis atau orang lain yang lebih dari kata mampu, kok rasanya aneh. Janggal. Membuang-buang anggaran.
Karena itu, muncul pikiran-pikiran berontak dari penulis. Mencoba mengotak-atik kembali kebijakan tersebut. Bukan berontak dalam arti sebenarnya. Namun, sekadar mencari opsi-opsi. Alternatif berpikir lain. Sehingga tidak ada lagi anggaran yang terlokalisir sia-sia. Mubazir.
Sebagai contoh Kabupaten Gresik, misalnya. Total sekitar Rp 125 miliar yang dialokasikan untuk program UHC di tahun 2024. Anggaran itu terbilang besar. Dengan angka itu, total sudah 534 ribu jiwa yang ditanggung APBN atau segmen PBI-JK. Artinya, dari angka kasar total penduduk lokal Gresik sebanyak 1,2 juta jiwa, jumlah jiwa yang ditanggung APBN tentu sudah mencakup desil 1 sampai 4. Mulai yang ekstrim miskin sampai yang rentan.
Penulis pun berpikir, agar lebih efektif dan efisien, apa tidak cukup sampai 2 desil di atasnya saja yang akan di-cover PBI Daerah? Dengan begitu, dari total Rp 125 miliar, mungkin kita bisa berhemat anggaran antara Rp 60 miliar sampai Rp 80 miliar. Anggaran yang cukup untuk dialihkan ke program dan kebijakan lain, yang implikasinya lebih signifikan dan terasa. Misalnya, peningkatan atau pengembangan SDM berupa program beasiswa pascasarjana/magister (S-2) untuk 3 sampai 5 putra-putri daerah per desa/kelurahan.
Tentu, melalui program ini, profil derajat pendidikan warga lokal akan naik. Memiliki lulusan magister di setiap desa/kelurahan. Atau mungkin tidak selalu magister. Bisa juga sarjana dari unsur keluarga rentan atau kurang mampu. Menyesuaikan kondisi di desa/kelurahan masing-masing. Intinya, bagaimana profil derajat pendidikan di desa/kelurahan mulai diintervensi anggaran daerah.
Nah, selebihnya, bagaimana kemudian dipersiapkan hilirisasi program magister per desa/kelurahan tersebut. Alumni dari program tersebut, tentu diharuskan untuk berkontribusi ke desa/kelurahan masing-masing. Membangun atau turut berpartisipasi aktif dalam memajukan desa/kelurahan asalnya.
Pemerintah daerah selanjutnya mengatur, melalui Perbup, mengenai preferensi dan prioritas Dana Desa serta APBDes secara makro. Kebijakan dan program-program pemberdayaan untuk kemajuan kesejahteraan warga, ditarik garis dari daerah. Baik di bidang pertanian, ekonomi digital, peternakan, atau sektor ekonomi serta pembangunan lain.
Alumni dari program pendidikan magister daerah itulah, yang kelak menjadi SDM penggerak dari program-program pemberdayaan, pengembangan, dan kemajuan kesejahteraan desa/kelurahan. Bila di dunia pendidikan ada istilah guru penggerak, maka melalui program ini, daerah akan melahirkan ratusan kader-kader terbaik sebagai penggerak desa/kelurahan. (*)
—
*) FAIZ ABDALLA, pegiat literasi alumnus UGM tinggal di Kabupaten Gresik