KabarBaik.co – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur mencatat deflasi sebesar 0,10 persen (month to month/mtm) pada Agustus 2025. Penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 108,76 pada Juli menjadi 108,65 di bulan Agustus terutama dipicu oleh melimpahnya pasokan hortikultura dan kebijakan pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Kepala BPS Jawa Timur, Zulkipli, menegaskan bahwa deflasi kali ini lebih disebabkan oleh faktor pasokan, bukan melemahnya daya beli masyarakat.
“Deflasi pada Agustus lebih disebabkan faktor supply side. Panen sejumlah komoditas horti dan penurunan harga BBM membuat inflasi terkoreksi menjadi deflasi,” jelas Zulkipli dalam keterangan resmi di Surabaya, Rabu (3/9).
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, deflasi Agustus 2025 lebih dalam. Tahun lalu, deflasi Agustus tercatat 0,07 persen. Secara tahunan, inflasi year-on-year (yoy) Jawa Timur berada di level 2,17 persen, sementara inflasi kumulatif year-to-date (ytd) mencapai 1,44 persen.
Deflasi Agustus tercatat merata di seluruh kabupaten/kota IHK di Jawa Timur. Deflasi terdalam dialami Kabupaten Bojonegoro sebesar 0,23 persen, sedangkan yang terendah terjadi di Jember dengan 0,04 persen. Secara nasional, 27 provinsi, termasuk Jawa Timur, juga mencatat deflasi pada periode yang sama.
Kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang deflasi bulanan terbesar dengan penurunan 0,59 persen dan andil negatif 0,17 persen. Beberapa komoditas utama yang mendorong deflasi antara lain cabai rawit, tomat, telur ayam ras, bensin, dan bawang putih.
Di sisi lain, kelompok pengeluaran yang masih mencatat inflasi tertinggi adalah pendidikan (0,49 persen, andil 0,04 persen), disusul perawatan pribadi dan jasa lainnya (0,35 persen, andil 0,02 persen), serta perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga (0,06 persen, andil 0,01 persen).
Adapun sejumlah komoditas yang memberikan andil inflasi di antaranya beras, daging ayam ras, biaya perguruan tinggi, bawang merah, emas perhiasan, dan ketimun.
Meski deflasi mengindikasikan penurunan harga, BPS menekankan perlunya kewaspadaan terhadap dampaknya bagi petani dan produsen lokal.
“Deflasi ini memang memberikan ruang bagi konsumen, tetapi pemerintah perlu memastikan harga di tingkat petani tetap menguntungkan agar roda perekonomian daerah tetap bergerak,” pungkas Zulkipli.





