Dijaga TNI-Polri dan Banser, Jemaah Aolia Salat Idul Fitri 5 Hari Lebih Awal

Editor: Hardy
oleh -378 Dilihat
Anggota Banser dan TNI-Polri turut menjaga pelaksanaan Salat Idul Fitri 1445 H jemaah Aolia di Dusun Panggang, Gunung Kidul, DIY, Jumat (5/4) (Foto istimewa)

KabarBaik.co– Seharian ini (5/4),  banyak beredar kabar tentang pelaksanaan salat Idul Fitri 1445 Hijriah yang digelar jemaah Masjid Aolia. Mereka merupakan warga yang tinggal di Dusun Panggang III, Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Padahal, mayoritas umat Islam di Indonesia masih beberapa hari lagi menjalani ibadah puasa. Muhammadiyah baru akan melaksanakan salat Idul Fitri pada Rabu (10/4) nanti. Adapun Nahdlatul Ulama (NU) baru melakukan rukyatul hilal (pemantauan bulan) pada Selasa (9/4). Begitu pula dengan Kementerian Agama (Kemenag) RI yang masih menggelar sidang Isbat 9 April.

Pelaksanaan salat Id Jemaah Masjid Aolia dimaklumi lebih awal. Sebab, mereka sudah menjalani puasa sesuai keyakinannya sejak 7 Maret lalu. Sementara itu, untuk Muhammadiyah pada 11 Maret. Adapun NU-pemerintah memulai puasa pada 12 Maret. Artinya, Jemaah Masjid Aolia lima hari lebih awal dari pemerintah.

Dikutip dari Antara, dengan diiringi gema takbir, jamaah berdatangan di Masjid Aolia dan kediaman Imam Jamaah Masjid Aolia Ibnu Hajar Sholeh Pranolo alias Mbah Benu mulai pukul 06.00 WIB. Dua lokasi itu hanya berjarak beberapa meter. Setelah berkumpul, mereka melaksanakan salat Id sekitar pukul 06.58 WIB, dilanjutkan mendengarkan khotbah, dan diakhiri saling bersalam-salaman.

Tampak sejumlah personel TNI-Polri, serta Banser melakukan pengamanan di kawasan tersebut. Seusai memimpin salat Id, Mbah Benu berpesan agar masyarakat terus merawat persatuan dan kerukunan satu sama lain. ’’Saling rukun, jaga persatuan dan kesatuan dengan siapa saja,” ujar pria berusia 82 tahun itu.

Baca juga:  4 Titik Rawan Kemacetan di Gresik, Ini Prediksi Puncak Arus Mudik

Dia juga meminta jemaahnya tak mudah menyalahkan orang lain. Termasuk soal perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri. ’’’Jangan menyalahkan orang. Ya kalau salah, tapi kalau benar malah dia yang untung kita yang jadi tertuduh,’’ katanya.

Dari informasi, di Dusun Panggang terdapat sebanyak 244 kepala keluarga (KK). Dari jumlah itu ada sekitar 199 KK yang mengikuti jemaah Aolia. Kendati demikian, selama ini mereka tetap hidup berdampingan tanpa ada masalah.

Kabid Urusan Agama Islam Kanwil Kemenag DIY Jauhar Mustofa menyatakan, jamaah Masjid Aolia pada dasarnya memiliki amalan atau tata cara beribadah layaknya warga muslim pada umumnya.

Hanya saja, dalam penetapan awal Ramadan dan 1 Syawal, mereka memiliki keyakinan atau prinsip sendiri, tanpa menggunakan metode hisab maupun rukyat. “Mereka punya dalil sendiri yang itu diyakini oleh pemimpinnya, Pak Ibnu dan pengikutnya,” jelasnya.

Kemenag DIY, lanjut dia, tidak dapat memaksa mereka untuk mengikuti aturan yang selama ini telah ditentukan pemerintah. “Meskipun tahun ini agak mencolok karena bedanya sampai lima hari. Ini sangat-sangat mencolok. Kalau biasanya kan hanya (selisih) satu dua hari, tapi tahun ini memang agak mencolok sehingga memang menjadi perhatian,” paparnya.

Baca juga:  Profil Mbah Benu, Imam Jemaah Aolia yang Ngaku Telepon Allah

Jauhar menambahkan, Kemenag DIY bakal terus melakukan pendekatan dan silaturahmi dengan pemimpin jemaah itu melalui KUA maupun Kemenag kabupaten. “Agar saling silaturahmi antara pemerintah dan ulama tetap terjaga,” ujar Jauhar.

Dihimpun dari berbagai sumber, jemaah Aolia merupakan sekelompok masyarakat yang tinggal di wilayah Padukuhan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Jemaah ini dipimpin Mbah Benu. Jemaah Aolia sebenarnya tersebar ke berbagai daerah. Terutama di Jateng dan DIY.

Menurut Musa Assiqbillah, putra ketiga pimpinan Jemaah Aolia, jumlah pasti anggota jemaah tidak diketahui. Di Kecamatan Panggang, misalnya, ada sekitar sepuluh lokasi yang masyarakatnya menjadi pengikut Jemaah Aolia. Jemaah Aolia mengaku bukan merupakan organisasi. Mereka mengklaim sebagai aliran Aswaja. Kumpulan jemaah telah eksis sejak 1983.

Sosok Mbah Benu menjadi mursyid atau pemimpin jemaah. Menurut Musa, Mbah Benu pernah menjadi santri di Pesantren Mbulus, daerah Maron, Purworejo. Dia menyebut guru antara lain Gus Jogo Rekso dari Muntilan, Syaikh Jumadil Kubro, dan Sunan Pandanaran, Klaten.

Jemaah Aolia memiliki sistem penanggalan sendiri. Penanggalan ini berbeda dengan kalender hijriah yang biasa dipakai umat Islam untuk menentukan awal bulan dalam Islam. Setiap tahun, seringkali ada perbedaan hari pelaksanaan puasa Ramadaan antara Jemaah Aolia dengan keputusan pemerintah.

Ibnu Hajar Sholeh Pranolo alias Mbah Benu

Ada Tradisi Banyu Manaqib

Ida Novianti, dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, pernah melakukan satu penelitian menarik dari jemaah Aolia. Hasil penelitannya, pertama, nilai-nilai dan meaning di balik tradisi yang berkembang pada Jamaah Aolia memiliki keyakinan yang kuat terkait dengan Banyu Manaqib sebagai obat penyembuh penyakit.

Baca juga:  Biar Tidak Monoton, Contoh Ucapan Selamat Lebaran dengan 5 Bahasa Asing

Keyakinan yang dimiliki oleh Jamaah Aolia Panggang bahwa mereka merasa perlu untuk membaca selawat, mendoakan aulia melalui syair-syair pujian, dan doa untuk para syuhada dan orang-orang beriman. Kedua, Banyu Manaqib sebagai obat penyembuh penyakit di dalam air yang telah didoakan dalam manaqib tersebut terkandung doa-doa.

Partikel-partikelnya telah terarah lurus dan fokus sehingga lebih mudah bersatu dalam memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak. Kinerja air dalam membersihkan tubuh akan menjadi maksimal setelah mendapat sentuhan doa.

Dialektika mikrokosmos dan makrokosmos berdasarkan metode “pencerminan”, yakni citra simbolik dalam diri manusia dan hakekat keberadaan benda-benda di bumi yang merupakan pembayangan dari langit-Nya.

Ketiga, dinamika Sufism dan Healing terkait dengan penggunaan Air Manaqib sebagai pengobatan pada Jamaah Aolia Panggang terlihat dalam manaqib yang mengamalkan zikir kepada Allah SWT. Selain salat, dianjurkan senantiasa dalam keadaan bersuci (berwudu).

Keadaan suci inilah yang menjaga hati manusia untuk tetap tuma’ninah pada saat zikir atau manaqib berlangsung. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.