Dulu Saksi Skandal Korupsi E-KTP, Kini KPK Berpeluang Panggil Maman Masalah Istri

oleh -261 Dilihat
MAMAN UMKM
Menteri UMKM Mmaan Abdurrahman saat memberikan klarifikasi di Gedung KPK, Jumat (4/7).

KabarBaik.co- Menteri UMKM Maman Abdurrahman boleh jadi akan kembali berurusan dengan KPK. Lembaga Antirasuah itu membuka peluang untuk memanggil Maman buntut heboh surat perjalanan Agustina Hastarini, istrinya, ke sejumlah negara Eropa. Bahkan, bukan tidak mungkin, istrinya itu juga ikut diminta keterangan.

Saat ini, KPK masih mempelajari dokumen-dokumen yang telah diserahkan Maman pada Jumat (4/7) lalu. ’’(Pemanggilan) itu nanti jika memang dibutuhkan informasi ataupun klarifikasi tambahan, KPK akan meminta keterangan-keterangan tersebut,” kata Budi Prasetyo, juru bicara KPK kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (7/7).

Menurut Budi, surat berkop Kementerian UMKM terkait kunjungan istri Menteri UMKM itu menjadi atensi. ’’Ya itu tentu juga menjadi atensi KPK, karena memang KPK terus mengimbau kepada para pejabat publik, kepada para penyelenggara negara untuk menghindari potensi-potensi gratifikasi, potensi konflik kepentingan,” jelasnya.

Modus gratifikasi itu bisa diberikan langsung kepada pejabat atau penyelenggara negara bersangkutan. Namun, bisa juga melalui keluarga, kerabat, ataupun pihak-pihak lainnya. ‘’Termasuk, gratifikasi ataupun konflik kepentingan itu bentuknya tidak hanya dalam bentuk barang, jasa, tapi juga dimungkinkan dalam bentuk-bentuk fasilitas,’’ jelas Budi.

Sebelumnya, publik di Tanah Air dihebohkan dengan kasus beredarnya surat berkop Kementerian UMKM perihal pendampingan kunjungan Agustina Hastarini alias Tina Astari ke sejumlah negara Eropa. Surat tertanggal 30 Juni 2025 itu ditandatangani Sekjen Kementerian UMKM Arif Rahman Hakim. Kunjungan istri Menteri UMKM itu akan berlangsung selama 14 hari.

’’Berkenan dengan hal tersebut, kami mohon dukungan dari Kedutaan Besar Indonesia di Sofia, Brussel, Paris, Bern, Roma dan Den Haag serta Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Istanbul selama pelaksanaan agenda dimaksud berupa pendampingan istri menteri beserta rombongan selama kegiatan ini berlangsung.”  Demikian isi surat itu.

Namun, dalam klarifikasinya kapada wartawan seusai mendatangi Gedung Merah Putih KPK pada Jumat (4/7), Maman mengaku tidak tahu-menahu soal surat tersebut. Kader Golkar itu juga menyatakan tidak pernah memberi perintah atas terbitnya surat itu. Dia juga menegaskan, tidak satu rupiah pun biaya perjalanan istrinya itu menggunakan uang negara. Semua memakai uang pribadi. Mulai akomodasi, transportasi hingga konsumsi. Bantahan serupa juga telah disampaikan Tina Astari melalui akun resmi Instagram miliknya.

Saksi Meringankan Setyo Novanto

Sementara itu, jauh sebelumnya, Maman Abdurrahman ternyata pernah berurusan dengan KPK. Tepatnya, pada 27 November 2017. Saat itu, Maman menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar. Ia memberikan keterangan sebagai saksi meringankan mantan Ketua DPR RI Setyo Novanto dalam kasus megakorupsi e-KTP dengan kerugian negara Rp 2,3 triliun.

Ketika itu, Maman diminta keterangan selwma 5 jam. Kepada wartawan, Maman menjelaskan kapasitasnya. ’’Kenapa saya mau hadir sebagai saksi? Karena memang diminta oleh Pak Novanto. Bagi saya beliau saat ini tengah mengalami masa ujian, cobaan dari Allah. Saya sebagai adik, kader, berkewajiban juga meringankan bebannya,” ujar Maman ketika itu. Namun, dia tidak menjelaskan lebih lanjut terkait hal-hal apa yang meringankan Novanto.

Dalam perkembangan terbaru, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dan memangkas hukuman Setyo Novanto menjadi ’’hanya’’ 12 tahun 6 bulan penjara.

Kisah bermula dari proyek pengadaan e-KTP yang nilainya mencapai Rp 5,9 triliun. Proyek yang seharusnya bertujuan untuk memperbaiki sistem administrasi kependudukan itu, malah terungkap menjadi bancakan sejumlah pihak. Salah seorang di antaranya Setyo Novanto. Dari hasil pengusutan, mantan ketua umum DPP Golkar itu menerima aliran dana haram sebesar USD 7,3 juta dan sejumlah uang dalam bentuk rupiah.

Pada April 2018, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan, serta pencabutan hak politik selama 5 tahun. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti setara jumlah yang diterimanya secara ilegal. Pada 6 Januari 2020, Setnov melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK).

Lebih dari lima tahun kemudian atau 4 Juni 2025, MA membacakan putusan PK tersebut. Mengejutkan, ternyata MA mengurangi hukuman Setya Novanto menjadi 12 tahun 6 bulan penjara. Adapun denda yang harus dibayar tetap Rp 500 juta subsidair 6 bulan, dan jumlah uang pengganti yang wajib dibayarkan tetap, dengan ketentuan subsidair 2 tahun penjara jika tidak dilunasi.

Namun, masa pencabutan hak politiknya juga “didiskon”. Dari semula 5 tahun, menjadi hanya 2,5 tahun setelah selesai menjalani masa tahanan. Putusan tersebut dibacakan oleh majelis hakim yang diketuai Surya Jaya, dengan anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono. Dalam dokumen resmi, MA menyatakan bahwa Setyo Novanto terbukti bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor, dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Editor: Supardi Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.