FRMJ Geruduk Kantor Bapenda Jombang, Protes NJOP Melejit Kayak Setan dan Pajak Musala

oleh -457 Dilihat
WhatsApp Image 2025 05 08 at 11.53.24 1
Massa FRMJ saat menggelar aksi di depan Kantor Bapeda Jombang. (Foto: Teguh)

KabarBaik.co – Puluhan massa yang tergabung dalam Forum Rembug Masyarakat Jombang (FRMJ) menggelar aksi damai di depan kantor Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Jombang, Kamis (8/5).

Mereka menyampaikan tuntutan keberatan atas kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dinilai tidak wajar dan pengenaan pajak terhadap fasilitas ibadah seperti musala.

Koordinator aksi, Joko Fatah Rochim, mengungkapkan kekecewaannya terhadap lonjakan NJOP yang dianggap “melejit kayak setan”. Ia mencontohkan kenaikan NJOP tanah miliknya dari Rp 300 ribu menjadi Rp 1,4 juta dengan NJOP mencapai Rp 4 juta. Selain itu, ia juga menyoroti tingginya biaya jual beli yang mencapai 25 persen.

“Kami banyak sekali keluh kesah aduan dari masyarakat terkait dengan penawaran yang gila itu,” ujar Joko di sela-sela aksi.

Lebih lanjut, FRMJ juga mempersoalkan adanya pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap musala. Joko mengaku heran mengapa tempat ibadah bisa dikenakan pajak, padahal menurutnya bukti pelunasan pajak musala tersebut sudah ada.

“Musola aja kena, la ini saya heran ini musola dan belum masjid ya. Harusnya tahu kenapa kok sampai dikenakan pajak dan itu sudah dibayar, bukti pelunasannya ada,” tegasnya.

Dalam tuntutannya, FRMJ mendesak Bupati Jombang yang baru untuk merevisi Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 5 Tahun 2024 terkait NJOP. Mereka menilai peraturan tersebut tidak masuk akal dan memberatkan masyarakat kecil.

“Tuntutan kita, saya minta kepada Bupati yang baru untuk merevisi mengenai perda nomor 5 tahun 2024 itu peraturan bupati dan itu harus direvisi, karena di sini sangat tidak masuk akal membebankan kepada masyarakat bawah,” serunya.

Joko juga menyayangkan pernyataan Kepala Bapeda Jombang yang terkesan melempar tanggung jawab kepada pejabat sebelumnya terkait penetapan NJOP tersebut. “Kalau tadi Pak Hartono mengatakan bahwa ini produk yang lama, harusnya sebagai kepala Bapeda yang baru bisa membenahi kalau gak cocok,” katanya.

Menanggapi aksi dan tuntutan massa, Kepala Bapeda Jombang, Hartono, menjelaskan bahwa penetapan NJOP tahun 2024 merupakan hasil penilaian (apraisal) yang dilakukan pada tahun 2022 sebelum dirinya menjabat. Proses penilaian tersebut melibatkan 50 tim penilai dan telah menghasilkan buku hasil penilaian.

“Iya jadi gini, kita pada tahun 2022 sebelum saya di sini sudah ada apreselnya, waktu itu sudah didata bersama 50 apresel dan pendatang kemudian diterapkan pada tahun 2024,” jelas Hartono.

Terkait keberatan masyarakat, Hartono mengaku pihaknya telah menerima banyak aduan. Pada tahun 2024, tercatat sekitar 11 ribu Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang diajukan keberatan dan telah diperbaiki. Ia menegaskan bahwa Bapeda siap melakukan penilaian ulang terhadap objek pajak yang dinilai tidak sesuai.

“Siapa saja yang merasa keberatan sebenarnya kita siap menilai ulang untuk dinilai, bukan di apresel tapi dinilai namanya, jadi ditinjau datang ke lokasinya apakah benar harganya segitu,” ujarnya.

Mengenai pengenaan pajak terhadap fasilitas umum seperti musala, Hartono telah menyampaikan kepada kepala desa bahwa fasilitas seperti makam, masjid, musala, dan tanah wakaf seharusnya tidak dikenakan pajak. Ia menduga adanya ketidakpahaman atau kelalaian dari pihak desa dalam menerapkan aturan tersebut.

“Terkait musola dan sebagainya itu sudah saya sampaikan ke kepala desa bahwa fasum semua tidak dikenakan pajak, yakni makam, masjid, musola tanah wakaf ini tidak dikenakan pajak. Hanya kadang-kadang desa itu tidak menghiraukan apa hasil yang kita sampaikan,” katanya.

Hartono juga menjelaskan bahwa sistem zonasi pajak yang sebelumnya menggunakan sistem blok (satu blok tarifnya sama) sedang dalam perbaikan. Pihaknya bersama pemerintah desa telah melakukan pendataan massal untuk menentukan zona yang lebih adil, di mana tarif pajak akan disesuaikan dengan lokasi dan nilai strategis tanah.

“Jadi model penerapan pajak dulu itu kita menggunakan sistem blok, jadi kalau satu blok ini di apresel depan akhirnya ke belakang pun sama dan itu sudah kita perbaiki bersama desa untuk menentukan zona. Jadi zona yang pinggir jalan akan gak sama dengan zona yang lapis kedua dan ketiga ini sedang kita perbaiki,” terangnya.

Ia berharap perbaikan sistem zonasi ini dapat diterapkan pada tahun 2026 mendatang. Terkait adanya protes dari masyarakat, Hartono menyatakan bahwa pihaknya terus menerima dan menindaklanjuti setiap keberatan yang diajukan.

“Terkait adanya protes ini sebenarnya bukan kecolongan karena memang data itu jumlahnya sekitar 780 ribu dan kami sudah memperbaiki sekitar 11 ribu data tahun 2024, kemudian tahun 2025 ini sedang berjalan juga, masyarakat itu yang kebetulan keberatan kita terus menerima,” pungkasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Penulis: Teguh Setiawan
Editor: Andika DP


No More Posts Available.

No more pages to load.