Ibrahim Assegaf, Napas Kuat Najwa Shihab di Balik Layar

oleh -565 Dilihat
IBRAHIM NAJWA
Ibrahim Sjarief Aseegaf (kiri) semasa hidup bersama sang istri Najwa Shihab. (Foto IST)

KabarBaik.co- Ada yang memilih hidup dalam riuh tepuk tangan. Namun, ada pula yang memilih menjadi angin di balik layar. Yang tak terlihat, tetapi menggerakkan layar kapal. Ibrahim Sjarief Assegaf boleh jadi termasuk memilih menjadi angin itu. Ia bukan panggung, melainkan fondasi. Ia bukan sorot cahaya, melainkan lentera yang menyala tenang di balik dinding, cukup untuk menerangi jalan orang-orang yang dikasihinya.

Pada 20 Mei 2025, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, angin itu berhenti berembus. Ibrahim meninggal dunia. Di usia yang belum separo abad. Masih 47 tahun. Kabarnya, almarhum berpulang setelah mengalami pendarahan otak akibat deraan stroke. Ia mengembuskan napas terakhir di RS Pusat Otak Nasional, Jakarta. Suami Najwa Shihab yang tak banyak bicara itu telah berpulang. Ia tentu telah banyak menulis hikmah dalam lembar-lembar hidup. Terutama di lingkungan keluarganya.

Dalam dunia yang bising dengan ego dan ambisi, Ibrahim hadir laksana langit: tinggi, tenang, dan luas. Ia lahir di Surakarta, sebuah kota yang juga melahirkan kesantunan dalam peradaban Jawa. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Jalan hidupnya, soal keadilan dan mengurai simpul-simpul hukum yang rumit bagi masyarakat dan juga lingkup korporasi.

Ia tercatat menjadi salah seorang pendiri firma hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP). Dikenal sebagai salah satu firma yang cukup terkemuka. Di sana, ia menjabat sebagai Managing Partner, sebuah posisi yang menuntut ketajaman intelektual dan integritas. Ia juga dikenal sebagai tokoh di balik berdirinya Hukumonline.com dan Justika, dua platform hukum yang telah dikenal sangat membantu masyarakat awam dalam memahami hak dan kewajibannya.

Namun, bagi Ibrahim, tampaknya profesi bukanlah panggung. Ia memperlakukan hukum bukan sebagai alat kekuasaan, melainkan lensa untuk melihat kemanusiaan. Dalam wawancara-wawancara yang jarang, rekan-rekannya menggambarkannya sebagai pribadi yang jernih, lembut namun tegas, dan penuh ketelitian dalam mengambil keputusan.

Kisah cinta Ibrahim dan Najwa Shihab adalah kisah dua kutub yang terbilang saling menguatkan. Mereka bertemu di FH UI, ketika dunia masih muda dan idealisme tumbuh subur. Najwa dikenal dengan semangat menyala dan jiwa ’’pemberontak’’ yang elegan. Ibrahim, sebaliknya. Tenang dan menghanyutkan. Seperti laut yang menerima langit dalam refleksi airnya.

Keduanya menikah pada 11 Oktober 1997. Usia mereka saat itu masih muda. Najwa Shihab masih 20 tahun. Ibrahim 26 tahun. Namun, cinta mereka matang. Dari pernikahan itu, lahirlah dua anak. Izzat Assegaf yang kini tumbuh menjadi pemuda yang membawa semangat keduanya. Adapun putri mereka, Namiyah, hanya sempat menghirup udara dunia selama 4 jam sebelum kembali ke haribaan Tuhan. Tentu, peristiwa ini menjadi luka sunyi. Luka yang tak dipamerkan, tapi pelan-pelan menjadi bagian dari narasi cinta yang lebih kuat.

Dalam kesempatan wawancaranya, Najwa kerap menyebut bahwa tanpa Ibrahim, langkahnya tak akan sejauh ini. Di saat menghadapi tekanan sebagai jurnalis yang vokal terhadap kekuasaan, Ibrahim selalu menjadi jangkar yang menahannya tetap berakal sehat dan utuh. Bagi putri Prof Quraish Shihab ini Ibrahim bukan hanya pasangan hidup, melainkan pelabuhan tempat pulang dari badai kehidupan.

Mungkin tak banyak yang tahu wajah Ibrahim. Namanya pun jarang disebut dalam media. Ia seperti rembulan yang memantulkan cahaya matahari. Tidak silau, tapi cukup menerangi malam. Dalam kehidupan rumah tangga, Ibrahim tampaknya lebih memilih jalan sebagai pelindung, pengayom, dan pemegang keseimbangan. Ia mengizinkan dunia mengenal Najwa, istrinya, tapi menjaga agar rumah mereka tetap milik mereka sendiri.

Ketika Najwa mendirikan Narasi, Ibrahim adalah pendukung terbesarnya. Ia tak pernah tampil sebagai “suami dari”. Namun, kontribusinya terasa dalam banyak keputusan besar. Najwa sendiri pernah menyatakan bahwa apa yang ia capai tak lain adalah hasil dari kekuatan yang diberikan sang suami.

Begitulah Ibrahim. Ia seperti akar pohon yang tak tampak, tapi justru yang membuat batang tetap berdiri kokoh. Dalam diamnya, ia mendidik, memimpin, dan mencintai. Dunia melihat bunga, tapi rumahnya tahu siapa yang menanam dan menyiraminya.

Tidak hanya dalam profesi dan rumah tangga, Ibrahim juga dikenal sebagai mentor dan guru bagi banyak pengacara muda. Ia tak pernah menggurui, tapi sikap dan kebijaksanaannya menjadi pelajaran. Ia percaya bahwa hukum bukanlah jalan cepat menuju kekuasaan, melainkan komitmen panjang terhadap keadilan dan integritas.

Pada sebuah kesempatan, ia kerap mengingatkan rekan-rekannya bahwa dalam dunia hukum yang kerap penuh kompromi, menjaga moralitas adalah bentuk tertinggi dari perjuangan. Ia sendiri menunjukkan hal itu dengan konsistensi yang luar biasa. Nyaris tidak pernah ada kabar miring, tidak ada kontroversi, tidak ada ambisi yang membabi buta. Hidupnya adalah pernyataan bahwa kehebatan bisa hadir tanpa harus berteriak.

Kepergian Ibrahim adalah kehilangan yang senyap, namun terasa menggema. Dalam budaya Timur, orang-orang seperti Ibrahim termasuk “laku sunyi”. Ia yang memilih jalan senyap tapi penuh makna. Ia tidak pergi sebagai selebriti, tetapi sebagai lelaki yang hidupnya penuh kontribusi.

Rencananya, jenazah almarhum disemayamkan di kediaman keluarga di kawasan Jeruk Purut, Jakarta Selatan, dan dimakamkan di TPU Jeruk Purut pada Rabu (21/5).

Dalam ajaran sufistik yang mungkin tak asing bagi keluarga besar Shihab, kehidupan dipandang sebagai perhentian sejenak dalam perjalanan panjang menuju Tuhan. Ibrahim menjalani hidup dengan kesadaran itu. Ia tidak mengumbar dirinya di dunia, karena ia tahu dunia ini bukan tujuan, melainkan jembatan.

Cintanya kepada Najwa adalah bentuk ibadah, bukan sekadar relasi duniawi. Dedikasinya dalam profesi adalah bentuk syukur, bukan ambisi. Diamnya bukan ketidakhadiran, tapi bentuk kehadiran yang lebih mendalam. Seperti bayangan yang hanya ada ketika cahaya hadir, Ibrahim adalah bentuk cinta yang tidak memerlukan suara keras untuk didengar.

Kini, setelah ia tiada, warisan Ibrahim hidup dalam diam yang menyelimuti ruang-ruang Narasi, dalam keputusan-keputusan hukum yang dibuat, dalam anaknya yang tumbuh dalam nilai-nilai mulia, dan dalam hati sang istri yang kehilangan, namun juga tahu bahwa cinta mereka belum selesai.

Najwa mungkin akan terus tampil di layar, tapi di balik setiap langkahnya, akan ada jejak kaki Ibrahim. Ia tidak lagi hadir secara fisik, tapi hadir dalam bentuk yang lebih abadi: dalam doa, dalam nilai, dalam kenangan, dan dalam cinta yang tidak mati.

Ibrahim bukan sekadar suami dari seorang jurnalis ternama. Ia menjadi salah satu pribadi yang menghidupi perannya sebagai suami, ayah, profesional, dan manusia dengan utuh. Ia membuktikan bahwa hidup yang tenang dan tidak mencolok pun dapat memiliki gema yang panjang.

Dalam dunia yang sering mengukur makna lewat popularitas, Ibrahim menunjukkan bahwa makna sejati justru lahir dari ketulusan, konsistensi, dan cinta yang tenang namun dalam. Selamat jalan, Ibrahim. Engkau bukan hilang, hanya pulang. (*)

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Editor: Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.