Ide Helikopter Bawean, Terobosan Tanggap Kebencanaan dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Editor: Hardy
oleh -1437 Dilihat

Oleh: FAIZ ABDALLA*)

Helikopter untuk Bawean. Ide ini kali pertama dicetuskan Asluhul Alif, mantan wakil ketua DPRD Gresik. Ia politisi berlatar belakang seorang dokter. Sapaan akrabnya, Dokter Alif. Ide itu disampaikan pertengahan 2020, menyikapi dan berusaha memberi solusi atas persoalan pelayanan publik di Pulau Bawean, Gresik. Terutama layanan kesehatan. Narasi atas ide tersebut dimuat di beberapa media lokal Gresik.

Mulanya, Januari 2020, terjadi kematian bayi di dalam kandungan seorang ibu di Pulau Bawean. Bayi itu tak tertolong, tak tertangani. Sebab, kala itu terjadi kekosongan dokter spesialis anestesi di RSUD Umar Mas’ud, Bawean. Kasus ini pun mengundang empat. Keprihatinan banyak pihak. Bahkan, menjadi sorotan banyak media. Tak hanya di lokal Jawa Timur, melainkan juga media-media nasional.

Saat itu, pemerintah daerah langsung mengambil beberapa langkah reflektif. Mulai jangka pendek dan menengah, seperti menaikkan insentif bagi dokter spesialis yang mau bertugas di Bawean. Juga, jangka panjang berupa pemberian beasiswa pendidikan kedokteran spesialistik-subspesialis bagi putra-putri daerah. Khususnya warga dari Bawean.

Setelah tiga tahun berlalu, bagaimana progresnya? Harus diakui, kualitas pelayanan maupun fasilitas kesehatan di Bawean, memang kian berkembang dari tahun ke tahun. Tapi, untuk ketersediaan dokter spesialis, sejauh ini tampaknya belum sepenuhnya terselesaikan. Sebut saja, masih terulang kejadian kekosongan dokter spesialis. Bahkan, kasus kematian pasien saat berada di kapal dalam perjalanan rujukan ke Gresik masih terjadi.

Sejauh ini, RSUD Bawean masih bertumpu pada program PGDS (Pendayagunaan Dokter Spesialis) Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Meski insentif dinaikkan, tapi lowongan dokter spesialis di RSUD Bawean terbilang minim peminat. Sementara, dokter yang tersedia dari PGDS terbatas durasi kontrak. Ketika habis, beberapa kali ada jeda kekosongan, sebelum terisi kembali dokter spesialis lain dari Kemenkes.

Baca juga:  Siapkan Rp 21 Miliar, RSUD Ibnu Sina Lanjutkan Pembangunan Gedung Rawat Jalan dan Diagnostic Center

***

Nah, pascagempa Bawean, tentu menambah kondisi kerentanan di pulau kecil tersebut. Dari catatan BMKG sampai 17 April 2024, total telah terjadi 580 kali gempa sejak kali pertama terjadi gemoa pada Jumat, 22 Maret 2024. Berangkat dari ini, menuntut visi kebijakan kebencanaan pemerintah daerah yang lebih kuat untuk Bawean.

Karena itu, ada baiknya ide helikopter yang sempat mengemuka tersebut, kembali dipertimbangkan. Baik untuk penanganan kedaruratan kesehatan maupun kebencanaan.

Pertama, kondisi darurat kesehatan. Angka rasio ketersediaan dokter spesialis di Indonesia masih sangat senjang. Target rasio dokter spesialis dan jumlah penduduk yakni 0,28 per 1000 penduduk. Dari jumlah 280 juta jiwa penduduk Indonesia, idealnya jumlah dokter spesialis setidaknya 78 ribu dokter. Adapun yang tersedia per Desember 2023, baru 47 ribu dokter. Rasionya 0,17 per 1000 penduduk.

Artinya, memang secara umum, terjadi problem distribusi dokter spesialis karena kesenjangan rasio. Jangankan di kepulauan seperti Bawean, di daratan Gresik saja barangkali ketersediaa juga terbatas. Tak secukup ketersediaan di kota-kota besar. Terbukti pada 2022, pemkab pernah menginisiasi program pendayagunaan dokter spesialis, baik yang di RSUD Gresik maupun RS-RS swasta. Namun, tidak berjalan.

Sementara, program PGDS Kemenkes maupun perbantuan dokter spesialis dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, meski sangat membantu, tapi tentu masih minimalis. Yakni, satu dokter untuk per spesialistik, meliputi obgyn, anestesi, penyakit dalam, anak, dan bedah. Kontraknya setahun. Belum lagi bila mereka cuti atau ada sebuah urusan yang mengharuskan mereka pulang.

Baca juga:  Kodim 0817/Gresik Kirim Bantuan Logistik untuk Korban Gempa Bawean

Penting juga dicatat, pelayanan kesehatan bukan hanya bicara ketersediaan sumber daya manusia kesehatan. Tapi, juga sumber daya kesehatan (SDK) yang lainnya. Baik peralatan, perbekalan, maupun teknologi kesehatan. RSUD Bawean dibangun pada 2013 bertipe D. Sembari terus berprogres, tentu peluang rujukan masih akan terbuka. Sementara, ada jarak yang harus ditempuh bagi para pasien.

Karena itu, ide helikopter bisa dipertimbangkan. Melihat fakta-fakta di atas, masing-masing program mulai jangka pendek, menengah, hingga panjang, masih memiliki problem celah. Memang tidak mudah menyelenggarakan sebuah layanan kesehatan yang sarat keterpencilan dan kerentanan. Namun, dibutuhkan solusi komplementer yang lentur. Nah, helikopter untuk kedaruratan transportasi itu bisa menjadi jawaban.

Ketika program jangka panjang sudah bisa dipetik hasilnya, maka ketersediaan dokter spesialis akan lebih terjamin. Baik untuk penanganan kuratif dan rehabilitatif. Atau, untuk pengurangan risiko pasien bila akhirnya harus tetap dirujuk ke Jawa. Untuk yang membutuhkan penanganan cepat, helikopter menjawab kedaruratan tersebut. Di sisi lain, sambil terus upgrading kualitas upaya dan pelayanan kesehatan di Bawean.

Alasan kedua, yaitu darurat kebencanaan. Paparan BMKG tentang aktivitas sesar aktif dan reaktivasi sesar tua di Laut Jawa, tentu menjadi wawasan baru bagi perspektif mitigasi bencana di Jawa Timur. Semula terkonsentrasi pada sumber gempa subduksi lempeng di selatan dan sesar-sesar aktif di daratan, kini harus mulai berinteraksi dengan sumber ancaman gempa di utara, yakni Laut Jawa.

Dengan demikian, pemerintah daerah pun harus mulai bersesuai. Beradaptasi dengan kondisi. Menyusun kembali perspektif kebencanaan di Pulau Bawean yang lebih kuat. Baik berupa kebijakan struktural maupun kultural. Penguatan struktur perangkat penanganan bencana di Bawean, harus menjadi prioritas terdekat. Perencanaan prabencana untuk pengurangan risiko dan kerentanan masyarakat, bisa segera dilakukan penyusunan.

Baca juga:  Gercep Bantu Korban Gempa Bawean, Kepala BNPB Apresiasi Petrokimia Gresik

Selebihnya, ada peningkatan manajemen kesiapsiagaan hingga tanggap darurat. Terdapat tiga perangkat daerah yang berkorelasi. Pertama, tentu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Kedua, Dinas Kesehatan. Ketiga, Dinas Sosial. Ketiga organisasi perangkat daerah itu menjadi pilar. Mulai mengorganisasi jalur dan tempat evakuasi, prioritas kelompok rentan, pertolongan darurat, upaya kesehatan kebencanaan, hingga distribusi dan pemenuhan kebutuhan dasar selama kurun periode kritis.

Dalam semua usaha itu, sekali lagi penting dicatat, bahwa jarak antara daratan Gresik dengan Pulau Bawean ini terpaut jauh. Sekitar 145 kilometer. Selama ini bertumpu pada transportasi laut. Butuh empat jam untuk kapal penumpang. Sembilan jam untuk kapal barang. Belum lagi potensi terjadi gangguan cuaca buruk. Ombak besar. Karena itu, tak jarang kapal mengalami penundaan berlayar. Di sini, ada potensi kendala konektivitas.

Dalam kondisi kedaruratan, kendala konektivitas tranportasi tersebut perlu diantisipasi. Penanganan darurat medis, pemenuhan perbekalan obat dan kebutuhan dasar yang bersifat segera, hingga kesegeraan komando dan koordinasi dari kepala daerah yang mendesak, tentu berperan krusial dalam menghadapi situasi tanggap darurat. Maka kiranya, ide ketersediaan helikopter bisa dipertimbangkan untuk direalisasikan. (*)

—-

*) FAIZ ABDALLA, Juara 1 Karang Taruna Berprestasi Provinsi Jawa Timur 2022

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.