Inisiasi, Kolaborasi dan Inovasi KIP dari Sidoarjo

oleh -872 Dilihat
IMG 20250527 153111 scaled

KabarBaik.co- Di sebuah simpang waktu, ketika arus informasi mengalir seperti sungai yang tak pernah berhenti, Kabupaten Sidoarjo telah menemukan seorang nakhoda yang kini mengarahkan haluan kapal keterbukaan ke samudra publik yang luas dan jernih. Ia adalah Noer Rochmawati, sosok perempuan yang datang bukan hanya membawa nama, tetapi membawa nyala api transformasi.

Ia bukan teknokrat informasi sejak lahir. Bukan pula pemanjat jenjang karier konvensional yang dibesarkan di lorong-lorong lembaga komunikasi dan teknologi. Latar belakangnya adalah akuntansi, ilmu tentang angka dan neraca, logika dan presisi. Namun, justru dari angka-angka itulah tampaknya ia belajar menimbang nilai, menakar akuntabilitas, dan merajut narasi kepercayaan. Karena bukankah keterbukaan informasi pada akhirnya adalah neraca kepercayaan antara pemerintah dan masyarakatnya?

Ima, panggilan akrab Noer Rochmawati, adalah jembatan. Ia menghubungkan dua dunia yang sebelumnya mungkin berjarak. Antara publik yang penting akan informasi dan pemerintah yang seringkali memagari data dan informasi dengan tembok birokrasi. Namun, Ima memilih menjadi lentera di jembatan itu, bukan menara gading yang jauh dari pijakan tanah.

Tatkala diangkat menjadi Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Pemkab Sidoarjo, mungkin ia sedikit tergagap. Sebab, tidak memiliki rekam jejak tentang dunia komunikasi dan informasi. Namun, sebagai seorang birokrat tentu pantang menolak ketika mendapat amanat dari atasannya. Dengan keberanian yang tak lekang oleh ketakutan administratif, ia memilih jalan berbeda.

Ia melompat dari paradigma “kertas dan power point” ke semangat “panggung publik dan ruang terbuka”. Maka, begitu ada inisiasi dari Komisi Informasi Jawa Timur agar Sidoarjo menjadi panggung utama puncak Hari Keterbukaan Informasi Nasional (HAKIN) 2025 dengan konsep inovatif, Ima pun menyatakan kesigapannya. Sebuah keputusan yang barangkali dianggap nyeleneh oleh kaum konservatif birokrasi. Tapi justru di situlah keberaniannya diuji sekaligus dibuktikan.

Apa yang dilakukan Noer Rahmawati di peringatan HAKIN 2025 bukanlah seremonial biasa. Ia menyulap semangat keterbukaan seolah menjadi pesta rakyat. Ada donor darah, simbol bahwa berbagi adalah memberi hidup. Ada senam massal, perwujudan harmoni dan ritme bersama. Ada cek kesehatan gratis, sebagai simbol layanan informasi harus murah dan mudah diakses. Lalu, ada bazar UMKM, tanda bahwa informasi juga harus berpihak pada ekonomi kerakyatan. Semua dikemas dalam narasi yang menggembirakan, bukan menakut-nakuti dengan bahasa hukum atau pasal-pasal administratif.

Keterbukaan informasi bukan jargon yang beku. Ia menjadikannya makhluk hidup, yang bernapas bersama rakyat, bergerak di tengah tawa anak-anak, dan hadir dalam percakapan hangat pedagang kaki lima.

Di tangan Ima, kampanye Keterbukaan Informasi Publik (KIP) tak lagi eksklusif. Ia demokratisasi-kan. Ia girangkan. Ia “manusia-kan”.

Mereka yang hanya mengenal permukaan, mungkin akan terkejut mengetahui bahwa Kadiskominfo Sidoarjo ini adalah lulusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) angkatan 1984. Bidang yang tampaknya jauh dari gegap gempita dunia komunikasi dan informasi. Tapi di balik itu semua, tersembunyi pelajaran paling filosofis: akuntansi mengajarkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas, yang semuanya adalah jantung dari keterbukaan informasi.

Ima membawa nilai-nilai itu ke medan pengabdian yang lebih luas. Ia bukan hanya mengelola data. Namun, berupaya merawat kepercayaan. Ia tidak sekadar membuka akses , melainkan membangun relasi. Sebagai mantan staf ahli, ia sepertinya telah mengasah kepekaan membaca dinamika kebijakan. Maka ketika dipercaya memimpin Diskominfo, ia sudah menyiapkan diri bukan sebagai pejabat, tetapi sebagai pelayan.

Ima bak embun pagi, yang hadir tanpa suara, namun menyuburkan harapan. Ia juga matahari, yang menyingkap kabut dan memberi terang kepada yang lama tersembunyi. Dalam dirinya, teknologi bukan sekadar alat, tetapi jalan menuju kebijaksanaan. Dalam kepemimpinannya, birokrasi bukan menara penguasa, tetapi jembatan penyambung suara.

Informasi bukan benda mati. Ia adalah ruh yang harus mengalir, tidak boleh mandek, tidak boleh dikunci. Karena ketika informasi macet, maka demokrasi lumpuh. Maka dari itu, tidak cukup hanya memastikan akses, tetapi juga menumbuhkan kesadaran. Karena hak atas informasi bukan hadiah dari negara, tetapi hakikat dari kewargaan. Hak Asasi Manusia.

Yang paling menyentuh, kemampuannya menginspirasi tanpa menggurui. Ia hadir bukan sebagai komando yang keras, tetapi sebagai suluh yang lembut. Ia tidak membangun menara ego, tetapi ladang kolaborasi. Maka jangan heran jika apa yang dilakukan di Sidoarjo itu kini dapat menjadi cermin yang ditengok oleh daerah lain. Bahwa, inovasi bisa lahir bahkan dari tempat yang tidak disangka.

Ia menunjukkan bahwa keterbukaan tidak harus kaku. Bisa dibalut seni, bisa bergaul dengan budaya, bisa berdialog dengan masyarakat tanpa kehilangan esensinya. Keterbukaan bukan sekadar membuka pintu, tetapi juga mengundang masuk, menyambut, dan berbagi makan bersama.

Di ujung perjalanannya nanti, mungkin nama Noer Rahmawati tidak akan selalu disebut di buku sejarah. Tapi, seperti sungai yang tak pernah mencatat nama tetes-tetes hujan yang membentuknya, warisan itu akan terus mengalir. Dalam bentuk kepercayaan publik yang tumbuh. Dalam bentuk keberanian masyarakat untuk bertanya, memohon dan menjaga akuntabilitas. Dan di sanalah sesungguhnya keabadian seorang pemimpin. Bukan pada kursi yang ia duduki, tetapi pada nilai yang ia wariskan.

***
Zaman ini adalah zaman banjir informasi. Kita hidup di era di mana data membanjiri setiap ruang, namun makna sering kali tenggelam. Di tengah gempuran algoritma dan kabar simpang siur, sosok seperti Ima berdiri seperti mercusuar. Ia tidak hanya menunjukkan arah, tetapi juga menjadi simbol bahwa cahaya informasi harus dikendalikan oleh nurani.

Ia menyadari bahwa teknologi secanggih apapun tidak akan menyelamatkan masyarakat dari kegelapan jika nurani padam. Maka, ia berikhtiar menjadi bagian dari orang yang menyalakan cahaya itu dari dalam, dari integritas yang sederhana, dari kepedulian yang tulus, dari keyakinan bahwa keterbukaan bukan sekadar tuntutan regulasi, tetapi kebutuhan moral.

Dengan memindahkan kampanye Keterbukaan Informasi ke ruang publik, ia memiliki andil besar telah ikut mengubah wajah birokrasi. Ia mendekonstruksi batas formal dan menciptakan ruang temu antara pemerintah dan warga. Sebuah kebijakan yang hanya bisa lahir dari pemahaman mendalam bahwa melayani bukan berarti mengatur, tetapi mendengar dan merangkul.

Banyak yang berkata bahwa sistem terlalu kuat, terlalu kaku untuk diubah. Tapi, Ima setidaknya ingin membuktikan bahwa perubahan tidak selalu harus revolusioner. Ia menulis ulang arah, bukan dengan pidato-pidato besar, tetapi dengan langkah-langkah kecil yang konsisten. Setiap rancangan program bukan hanya acara, tetapi simbol. Setiap keputusan yang dibuat, bukan hanya administrasi, tetapi narasi.

Ia mengubah Diskominfo dari sekadar pusat data dan humas pemerintah menjadi taman interaksi antara informasi dan warga. Menyulap ruang yang dahulu tertutup menjadi panggung inklusif yang terbuka. Bukan datang membawa segunung teori, tetapi membawa satu hal yang sangat langka di birokrasi. Kemauan untuk bertanya, “Kenapa tidak?”

Ima sepertinya bukan jenis yang gaduh. Ia tidak perlu berteriak untuk terdengar. Namun seperti air tenang namun mampu melubangi batu. Seperti akar, tidak terlihat, tapi menopang pohon yang besar. Seperti malam, tampak sunyi, tapi menyimpan miliaran bintang.

Dalam diamnya, terus bergerak. Dalam senyumnya, ia seoalah menggugat sistem yang kerap tertidur dalam kenyamanan. Menanam kepercayaan itu dengan konsistensi, menyiraminya dengan kehangatan. Kemudian, menjaganya dari birokrasi yang kerap membuat orang lupa bahwa di balik setiap data, ada manusia.

Ia membuktikan bahwa perempuan tidak harus menjadi “keras” untuk bisa memimpin. Memimpin dengan kelembutan, dengan empati, dengan rasa. Dan justru dari sana lahir keteguhan yang tidak bisa ditaklukkan oleh struktur, karena dibangun dari panggilan jiwa.

Mungkin tidak akan ada monumen untuknya saat punatugas nanti. Mungkin tak ada nama jalan yang kelak diberikan untuknya. Tapi warisannya hidup dalam bentuk yang lebih abadi. Dalam kebiasaan, dalam cara pandang, dalam kebijakan yang lebih terbuka. Ia telah mengukir jejak tanpa jejak. Seperti angin yang tidak tampak, tapi kita tahu kehadirannya dari daun-daun yang menari.

Ia mengajarkan kepada generasi berikutnya bahwa jabatan adalah amanah, bukan singgasana. Bahwa tugas pemimpin bukan hanya menciptakan kebijakan, tetapi juga menumbuhkan budaya. Budaya untuk terbuka. Budaya untuk jujur. Budaya untuk percaya.

Noer Rahmawati adalah lentera. Dan seperti lentera sejati, ia tidak menyinari dirinya sendiri, tetapi jalan bagi orang lain. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.