Jabal Rahmah: Ziarah Cinta di Tanah Rahmat

oleh -699 Dilihat
JABAL RAHMAH
Ilustrasi Jabal Rahmah di Arafah (FotoL website Kemenag)

TANAH Suci bukan hanya tempat berpijak jutaan kaki. Yang menapaki rukun-rukun haji. Atau gelombang paket-paket umrah. Ia adalah hamparan puisi agung. Ditulis oleh jejak para nabi, oleh air mata para wali, dan oleh rindu para perindu.

Ketika menjadi bagian dari Media Center Haji (MCH) tahun 2013, aku tak menyangka bahwa di sela-sela kesibukan jurnalistik dan logistik, akan kutemukan celah untuk menelusuri bukan hanya dari tempat ke tempat, melainkan makna dan hikmah.

Jabal Rahmah. Di antara titik yang paling membekas. Bagi sebagian orang, mungkin sekadar tempat wisata. Pengisi waktu sela, pelepas penat dari rutinitas ibadah. Bagiku, Jabal Rahmah adalah lambang agung dari cinta yang diujikan, doa yang dilangitkan, dan pengampunan yang dijanjikan.

Baca juga: Panggilan Langit

Hari itu panas terik menggigit kulit. Seperti biasanya, gurun tak memberi belas kasih pada pejalan siang bolong. Namun langkah kami tak surut. Bersama beberapa rekan sesama anggota MCH, aku berjalan menuju Jabal Rahmah. Tampak kecil dari kejauhan, tapi menjulang dalam batin.

Dalam kendaraan yang mengantar kami ke kawasan Arafah, obrolan kami campur aduk seperti suguhan rujak cingur. Antara profesionalisme tugas, kerinduan pada keluarga di tanah air, hingga candaan khas anak-anak lapangan.

Tapi, tatkala kendaraan berhenti, ketika kami mulai menapaki tanah bersejarah itu, seolah waktu melambat. Gumam tasbih menggantikan obrolan kosong. Mata menatap penuh makna. “Di sinilah Adam dan Hawa bertemu kembali,” bisik seorang rekan, seolah takut mengusik kesunyian sejarah.

Jabal Rahmah bukanlah Himalaya. Sebatas gunung tinggi menjulang. Tapi, setiap langkah menuju puncaknya terasa seperti naik tangga ke langit. Setiap pijakan adalah pertanyaan. Siapa aku di hadapan Allah SWT? Sejauh apa aku tersesat dari fitrah, dan sejauh mana aku ingin kembali?

Angin berembus membawa aroma pasir dan keringat, seperti kehidupan itu sendiri. Kering, kadang menyakitkan, tapi sarat hikmah. Kami mendaki bersama rombongan lain dari berbagai negara. Semua satu dalam tujuan. Ingin menyentuh rahmat.

Ketika sampai di puncak, sebuah monumen putih berdiri tegak. Di sekelilingnya, tembok penuh coretan. Nama-nama. Doa-doa. Harapan-harapan. Cinta-cinta yang ditulis dengan spidol, dicoret dengan jari, atau sekadar dilafazkan dalam hati.

Baca juga: Sepuntung Asap di Tanah Suci

Aku pun berdiri terpaku. Lalu, entah kenapa tiba-tiba ikut mengambil pena kecil dari saku dan menuliskan nama. Bukan untuk pamer. Tapi, sebagai jejak. Bahwa, aku pernah datang, pernah berharap, pernah mencinta.

Jabal Rahmah dalam kisahnya adalah tempat bersatunya kembali Adam dan Hawa setelah terpisah di bumi. Sebuah reuni yang bukan hanya emosional, tapi spiritual. Kisah tentang dosa manusia pertama yang telah terampuni. Cerita tentang derita yang menjadi pintu rahmat.

Allah SWT berfirman: ‘’Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37)

Ayat ini seolah hidup di tempat ini. Setiap jengkal pasirnya mengingatkan bahwa kesalahan bukanlah akhir. Selalu ada jalan pulang. Cinta tak mati karena jatuh, tapi justru diuji agar bangkit.

Sebagian pengunjung di Jabal Rahmah adalah pasangan suami istri, atau jomblo yang sudah pasti berharap segera dipertemukan dengan jodohnya. Tidak sedikit yang menangis, memegang erat tangan pasangannya, atau berdiri menatap jauh dengan mata berkaca-kaca.

Aku sendiri hanya menatap langit. Mengirimkan bisikan kepada Tuhan. Tentang cinta, tentang keluarga, tentang pengabdian.

Baca juga: Hajar Aswad dan Nama Ibu

Selain cerita Adam dan Hawa, ingatan kami terlempar ke dalam sebuah riwayat lain. Jabal Rahmah juga menjadi tempat cinta yang lebih agung. Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan terakhir kepada umat manusia.

Langit menunduk malu, matahari pun menahan panasnya, seolah semesta tahu bahwa suara itu bukan sekadar khutbah. Ini adalah warta langit yang diturunkan ke bumi dalam bentuk kata-kata, keluar dari lisan manusia paling mulia, dan menggema ke dalam dada-dada yang mencari kebenaran.

“Hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam sebagai agamamu.”
(QS. Al-Ma’idah: 3)

Ayat itu turun laksana tetesan embun terakhir sebelum musim kemarau panjang. Ia bukan hanya penggenap sebuah bangunan keimanan, tapi juga penanda bahwa sang arsitek kehidupan telah menyelesaikan tugasnya.

Mereka yang mendengarkan diam tak bersuara. Tapi dalam dada, badai rasa mulai menggulung. Abu Bakar menangis. Umar bin Khattab, yang biasanya sekeras baja, matanya basah. Mereka tak menangisi ayat itu, mereka menangisi maknanya yang tersembunyi. Semua membaca pesan langit di balik pesan yang disampaikan bahwa kesempurnaan agama berarti selesainya risalah. Dan jika risalah telah selesai, maka sang pembawa risalah akan segera dipanggil pulang.

Seperti seorang petani yang tahu bahwa panen telah usai, maka tak lama ia akan meninggalkan ladang. Seperti seniman yang setelah menyelesaikan mahakaryanya, tahu bahwa babak di panggung sudah waktunya berganti.

Baca juga: Sahabat di Tanah Suci: Seutas Tali Penenun Makna

Jabal Rahmah merekam air mata bukan hanya dari para sahabat-sahabat. Juga dari langit yang menyaksikan. Bahkan, barangkali batu-batu itu ikut bersedih. Ia tahu bahwa pijakan Nabi akan segera menjadi kenangan. Bukit itu menjadi altar terakhir cinta antara Rasul dan umatnya, di mana pesan suci terakhir diberikan sebelum sunyi menjemput.

Kami tahu, dalam khutbahnya, Rasulullah berbicara tentang darah, harta, dan kehormatan yang tak boleh dinodai. Tentang persamaan derajat, tentang perempuan yang harus dijaga, tentang Alquran dan Sunnah sebagai pusaka agung. Dan, yang paling menusuk adalah diamnya beliau setelah ayat itu turun. Sebuah diam yang lebih keras dari guntur, lebih dalam dari lautan, dan lebih tajam dari pedang.

Karena kadang, keheningan adalah bahasa terakhir dari jiwa yang akan berpisah. Dan para sahabat mengerti itu.

Abu Bakar menangis tentu bukan karena lemahnya hati. Tapi, karena dalam bening air matanya mengalir kesadaran, bahwa ia akan segera memimpin tanpa sang Pemimpin, mencintai tanpa bisa lagi memeluk, dan melanjutkan cahaya dalam kegelapan dunia yang kembali mengintai. Pun dengan Umar. Tentu ia menangis bukan karena takut, tapi karena tahu, kekuatan bukan apa-apa jika kehilangan sumber cahaya yang selama ini menuntun.

Hari itu, di Jabal Rahmah, khutbah sungguh bukan sekadar pidato. Ia adalah senandung terakhir Sang Nabi kepada umat yang dicintainya. Khutbah itu seperti surat cinta terakhir dari langit kepada bumi. Setelah itu, waktu akan membawa Nabi kembali ke asalnya: pelukan Tuhan.

Baca juga: Menyusuri Jejak Sunyi di Langit Hira

Dan kita, umat yang hidup berabad-abad kemudian, masih bisa mendengar gema khutbah itu. Terdengar dalam ayat-ayat, dalam jejak sejarah, dan dalam kesunyian hati yang rindu. Kita masih bisa memeluk beliau, meski hanya lewat salawat. Sebab cinta, jika suci, tak pernah benar-benar mati.

Jabal Rahmah tetap berdiri sampai kini. Ia menyimpan gema khutbah terakhir itu, menunggu manusia yang datang bukan hanya untuk mendaki, tapi untuk memahami: bahwa Islam yang sempurna bukan akhir dari cerita, tapi awal dari tanggung jawab kita menjaganya.

Sebagai bagian MCH, tugas kami adalah menyampaikan narasi haji kepada publik di tanah air. Tapi, hari itu, aku menyadari bahwa narasi bukan hanya soal laporan. Ia adalah soal rasa. Bahwa untuk menyampaikan makna, kita harus lebih dulu menjalaninya.

Teman-teman dari berbagai media sibuk mengambil gambar, merekam video, mencatat kutipan. Tapi, aku tahu, di balik profesionalitas itu, kami semua sedang berziarah dalam diam. Ke dalam diri kami masing-masing.

Seorang rekan berkata lirih padaku, “Tempat ini seharusnya bukan hanya jadi tempat foto-foto. Tapi tempat merenung: apa yang selama ini hilang dalam cinta kita?” Aku hanya tersenyum. Karena aku tahu, ia sedang berbicara tentang dirinya sendiri.

Mungkin ada pihak mencela tindakan mencoret-coret batu dan tembok di kompleks Jabal Rahmah itu. Dari sudut pandang etika, hal itu boleh jadi tak bisa dibenarkan. Namun, sebagai manusia, aku mencoba melihat sisi lainnya. Coretan itu adalah bentuk desperate, bentuk rindu yang mewujud dalam goresan. Mungkin bagi mereka, jika tidak menuliskannya di sana, cinta itu akan menguap seperti embun. Sia-sia.

Aku pun menuliskan satu kalimat sederhana: “Ya Rahman, izinkan cinta ini menemuMu.” Bukan karena aku ingin menggantungkan cinta pada batu. Tapi, karena aku ingin mengingat bahwa semua cinta sejati bermuara kepada-Nya.

Baca juga: Meniti Magnetisme Ilahi: Ziarah ke Jabal Magnet

Ketika kami turun dari bukit, langkah kami lebih lambat dari saat naik. Bukan karena lelah, tapi karena tak ingin pergi. Seperti anak kecil yang meninggalkan pangkuan ibunya.

Di perjalanan kembali ke penginapan, aku memandangi foto-foto yang kami ambil. Sayangnya, tak satu pun gambar yang bisa menangkap getar hati yang sebenarnya. Kamera menangkap cahaya, tapi tidak bisa menangkap ziarah.

Haji adalah perjalanan luar biasa. Ia bukan hanya tentang thawaf dan sa’i, bukan hanya tentang Mina dan Muzdalifah. Tapi tentang tempat-tempat kecil yang menyimpan pesan besar. Seperti Jabal Rahmah. Seperti cinta yang tak pernah mati. (*/bersambung)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: M. Sholahuddin


No More Posts Available.

No more pages to load.