Ji’ronah dan Tan’im: Miqat Kesadaran, Titik Awal Menuju Pulang

oleh -419 Dilihat
MIQOT
emaah haji Indonesia mengambil miqat di Masjid Aisyah atau Tan'im untuk melakukan umrah sunnah (Foto Kemenag).

ALLAH SWT mengizinkan saya menapaki Tanah Suci tidak sekadar sebagai jemaah. Namun, juga sebagai pelayan. Di balik tugas yang menuntut ketekunan, fokus, dan empati, terselip sebuah anugerah. Kesempatan menunaikan umrah beberapa kali di sela-sela kewajiban. Dari sejumlah titik miqat yang memungkinkan, dua nama senantiasa menjadi saksi bisu langkah kami. Yakni, Ji’ronah dan Tan’im.

Ji’ronah dan Tan’im bukan sekadar tempat untuk berniat. Bukan hanya koordinat geografis di peta Arab Saudi. Keduanya adalah ruang liminal, ambang kesadaran, yang mengantar jiwa dari dunia fana menuju cakrawala abadi. Di sinilah miqat tidak lagi hanya berarti batas fisik, melainkan menjadi titik temu antara kehendak dan keikhlasan, antara dunia dan akhirat, antara hamba dan Tuhan.

Sejatinya, perjalanan menuju miqat bukan diawali dari hotel atau maktab. Perjalanan bermula dari dalam dada. Miqat yang sejati terjadi pertama kali dalam hati yang memilih untuk berniat. Niat yang bukan sekadar lisan, tetapi ikrar batin untuk menghadap Sang Kekasih Agung dengan penuh kepasrahan. “Sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan apa yang diniatkannya…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kami berangkat dari Makkah dalam rombongan kecil dengan dibersamai Ustad Moh. Khoeron, tim Kemenag RI. Selepas menyelesaikan laporan harian dan menyambung kabel-kabel komunikasi antar dunia. Kami bukan jemaah dalam artian biasa. Kami adalah pengabdi, namun Allah mengizinkan kami mencicipi nikmatnya menjadi tamu.

Dengan kendaraan yang sederhana, kami menyusuri jalan ke Ji’ronah yang terbentang seperti garis takdir. Di luar, langit gurun menjadi saksi diam. Pohon-pohon berduri berdiri seperti penjaga zaman, mengingatkan bahwa tanah ini pernah diinjak para nabi, para pejuang iman, dan para pencinta kebenaran.

Ji’ronah bukan hanya tempat. Ia adalah palung waktu. Dalam sejarah, Ji’ronah adalah tempat Nabi Muhammad SAW mengambil miqat setelah penaklukan Makkah, selepas perang Hunain, ketika dunia ditundukkan tapi ego harus tetap ditundukkan pula. Tempat ini menyimpan napas kemenangan dan refleksi. Bukan kemenangan atas musuh, melainkan atas hawa nafsu.

Berwudhu di Ji’ronah terasa berbeda. Airnya bukan hanya membasuh kulit, tetapi menyapu kerak-kerak kelelahan, kesombongan tersembunyi, dan residu dunia yang tanpa sadar menempel dalam tugas-tugas harian kami.

Ketika kain ihram disarungkan, saat itu juga kami ditelanjangi dari status, jabatan, dan bahkan nama. Kami bukan lagi ’’wartawan MCH,” bukan “staf,” bukan “delegasi.” Kami menjadi manusia telanjang di hadapan Tuhan, berbalut dua helai kain putih, serupa kafan yang suatu hari akan mengantar ke liang batas.

Namun, tidak semua perjalanan kami dimulai dari Ji’ronah. Terkadang langkah kami diantar menuju Tan’im. Tempat yang lebih dekat, tetapi tak kalah dalam makna. Tan’im bukan sekadar titik praktis untuk memulai umrah. Ia adalah pelukan sunyi dari sejarah. Di sanalah Sayyidah Aisyah RA pernah berniat umrah atas izin Rasulullah SAW, menjadikan tempat itu sebagai gerbang ibadah yang dibuka oleh kasih sayang dan cinta.

Tan’im mengajarkan bahwa untuk kembali kepada Allah, tak selalu harus melalui jarak yang jauh. Terkadang cukup dengan jarak dekat dan hati yang lapang. Air wudhu di Tan’im juga membasuh dengan keheningan. Tidak ramai, tapi khusyuk. Kain ihram yang kami kenakan pun tetap sama. Tapi ada perasaan lain yang menyelimuti. Bahwa, langkah pulang tidak selalu perlu diawali dengan derap keras. Cukup dengan bisikan rindu yang dalam.

Perjalanan dari kedua miqat ini menuju Masjidil Haram tak hanya memindahkan tubuh, tetapi membawa jiwa. Kami mengumandangkan talbiyah sepanjang jalan: “Labbayk Allahumma labbaik…”

Suara itu bukan hanya gema dari mulut. Ia adalah jeritan jiwa yang telah lama merindu. Lalu lintas Kota Makkah kadang padat, kadang lengang. Tapi di dalam hati, lalu lintas kenangan dan harap begitu semrawut. Betapa jalan itu serupa urat nadi yang mengalirkan kesadaran spiritual, mengalirkan ruh menuju pusat kehidupan: Ka’bah.

Saya ingat, ada seorang rekan yang memandangi luar jendela sepanjang perjalanan dengan mata basah. Katanya, “Kita ini ditarik, bukan sekadar datang.” Saya mengangguk. Memang bukan kaki yang membawa ke sana, melainkan magnet cinta Ilahi. “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.” (QS. Al-Baqarah: 125)

Ketika akhirnya kami tiba di pelataran Masjidil Haram, saya merasakan sesuatu yang paradoksal. Rasa asing dan rasa pulang sekaligus. Ka’bah yang berdiri anggun di tengah masjid itu tidak terlihat sombong. Justru memancarkan kesederhanaan semesta, mengundang, memeluk, dan menasihati.

Kami melakukan tawaf seperti planet mengelilingi matahari spiritual. Setiap putaran adalah laku makrifat. Pelepasan dunia, pertarungan batin, permintaan ampun, penyerahan, pengakuan cinta, doa yang tak diucapkan, dan kepasrahan mutlak. Ka’bah menjadi pusat, dan kita semua menjadi serpihan yang tersedot dalam medan gravitasi spiritualnya.

Selepas tawaf, kami melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwah. Tapi, yang berjalan bukan hanya kaki, melainkan bayang-bayang Siti Hajar. Dalam tiap langkahnya, Siti Hajar mengajarkan bahwa ikhtiar tak membutuhkan jawaban cepat. Ia mengajarkan bahwa ketulusan berjalan, walau tanpa kepastian, akan melahirkan air kehidupan: Zamzam. “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah…” (QS. Al-Baqarah: 158)

Dalam sa’i, kami berlari di tengah keraguan dunia dan keyakinan akhirat. Kami mengucurkan peluh bukan karena lelah, tapi karena cinta yang mendidih dalam dada. “Umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali Surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kini, bertahun-tahun telah berlalu. Namun Ji’ronah dan Tan’im tetap hidup. Mereka bukan lagi tempat yang bisa dikunjungi dengan kendaraan, melainkan ruang spiritual yang harus dicapai dengan keikhlasan. Dalam setiap niat baik, dalam setiap keputusan hijrah dari gelap menuju cahaya, dari keraguan menuju iman, ada Ji’ronah dan Tan’im di sana.

Sebagian besar jemaah Indonesia memang menjadikan dua tempat ini sebagai miqat. Tapi mungkin tanpa sadar, mereka juga sedang menyentuh bagian terdalam dari jiwa. Keinginan untuk diperbaiki oleh Allah. Karena awal yang baik adalah hasil dari kehendak yang tulus. Dan perjalanan spiritual tak selalu dimulai dengan teriakan, tapi bisa dengan kesunyian dan penyerahan.

Perjalanan dari Ji’ronah atau Tan’im ke Masjidil Haram itu mungkin hanya berdurasi satu jam. Namun, makna yang dikandung melampaui hitungan waktu. Ia adalah miniatur kehidupan. Dari kelahiran (niat), perjalanan (talbiyah), pencarian (tawaf dan sa’i), hingga penebusan (tahalul).

Ketika kembali ke tugas sebagai pelayan media haji, ada sesuatu yang berbeda. Kamera kami tidak lagi hanya merekam kejadian. Pena kami tidak lagi hanya menulis fakta. Kini, kami menjadi penyaksi dengan hati yang telah disentuh miqat, menjadi pelayan yang mengerti makna menjadi tamu Allah.

Karena pada akhirnya, miqat bukan hanya soal batas ruang. Ia adalah batas kesadaran. Ia adalah titik tolak menuju Tuhan. “Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu adalah dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)

Miqat, entah itu di Ji’ronah maupun Tan’im, telah menjadi sebentuk ziarah batin. Ia bukan hanya bagian dari sejarah ibadah, tapi menjadi episentrum pencerahan spiritual. Bagi siapa pun yang pernah berhenti di sana, bukan hanya kain ihram yang dikenakan, tetapi juga jubah jiwa yang diperbaharui. Semoga, kita semua bisa menemukan Ji’ronah dan Tan’im di dalam diri kita masing-masing, kapan pun jiwa ini ingin kembali pulang kepada-Nya. (*/bersambung)

 

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: M. Sholahuddin


No More Posts Available.

No more pages to load.