Kadin Jatim Peringatkan Risiko Ketergantungan Baru di Balik Penurunan Tarif Impor AS

oleh -188 Dilihat
IMG 20250718 WA0004
Ketua Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto.

KabarBaik.co – Penurunan tarif impor dari Amerika Serikat terhadap produk asal Indonesia, dari 32 persen menjadi 19 persen, sempat disambut sebagai keberhasilan diplomatik. Namun di balik kabar baik tersebut, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur justru melihat potensi ancaman serius bagi industri nasional.

Ketua Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto, menyebut bahwa kesepakatan ini bisa membawa Indonesia masuk dalam era baru ketergantungan ekonomi terhadap negara adidaya. Menurutnya, meskipun Indonesia selama satu dekade terakhir (2015–2024) konsisten mencatatkan surplus perdagangan dengan AS—bahkan mencapai rekor tertinggi sebesar US$ 16,84 miliar pada 2024—keberhasilan itu kini justru menjadi titik rawan.

“Amerika melihat surplus kita sebagai ketidakadilan. Padahal itu hasil kerja keras pelaku usaha dan pemerintah dalam membangun daya saing ekspor. Kini, keberhasilan itu justru dibalas dengan tekanan tarif,” ujar Adik di Surabaya, Kamis malam (17/7).

Ancaman kenaikan tarif menjadi 32 persen sempat dilontarkan Presiden AS Donald Trump pada April 2025. Alasannya, Indonesia dinilai menerapkan hambatan perdagangan hingga 64 persen terhadap produk AS. Pernyataan itu langsung mengguncang pasar keuangan nasional.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, dan nilai tukar rupiah anjlok hingga ke level Rp 17.217 per dolar AS—lebih dalam dibandingkan krisis moneter 1998.

Pemerintah Indonesia pun bergerak cepat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memimpin delegasi ke Washington untuk bernegosiasi. Hasilnya, tarif ditekan turun menjadi 19 persen. Namun Adik menilai, kesepakatan itu dibayar dengan harga mahal.

“Tarif untuk kita 19 persen, tapi produk mereka masuk ke sini tanpa bea alias nol persen. Ini bukan kesetaraan, ini ketimpangan,” tegasnya.

Adik juga menyebutkan, komitmen pembelian produk dari AS sebagai bagian dari kesepakatan dagang turut memperbesar beban Indonesia. Total nilai pembelian yang disepakati mencakup sektor energi hingga US$ 19,5 miliar, pertanian sekitar US$ 4,5 miliar, serta pembelian lebih dari 50 pesawat Boeing dan produk aviasi senilai lebih dari US$ 19,5 miliar.

“Ini bukan sekadar angka, ini beban struktural. Kita mengimpor dalam jumlah besar tanpa proteksi terhadap industri dalam negeri,” lanjutnya.

Adik menyoroti beberapa komoditas AS yang kini bebas bea masuk, di antaranya bahan bakar mineral (US$ 1,63 miliar), kedelai (US$ 1,26 miliar), mesin (US$ 1,21 miliar), dan bahan kimia (US$ 0,91 miliar). Ia menyebut, meskipun gandum bebas bea mungkin menurunkan harga mi instan, dampaknya terhadap petani lokal bisa sangat menyakitkan.

“Produsen lokal tercekik. Dalam jangka pendek, pendapatan negara dari bea masuk pasti turun. Dalam jangka panjang, bisa mengganggu struktur industri nasional,” ujarnya.

Ia juga mewanti-wanti potensi berbaliknya neraca perdagangan Indonesia yang selama ini selalu surplus terhadap AS. Dengan beban pembelian besar dan tak adanya tarif terhadap produk AS, posisi ekspor Indonesia semakin lemah.

“Bayangkan, produk kita dikenakan tarif 19 persen saat masuk ke sana, sementara barang mereka bebas masuk ke pasar kita. Ini jelas tidak adil,” katanya.

Adik juga menyebut Vietnam sebagai negara yang lebih siap dan efisien menghadapi pasar global. Negara itu hanya dikenakan tarif 20 persen dan tak perlu memberikan konsesi sebesar Indonesia. “Vietnam punya kebijakan industri yang konsisten. Kita justru makin tergantung,” tambahnya.

Lebih jauh, Adik mengkritisi ketergantungan struktural terhadap AS yang semakin besar, terutama pada sektor energi dan pangan. Ia menilai, masuknya produk-produk pertanian dari AS secara masif bisa memukul upaya swasembada.

“Swasembada pangan bisa jadi tinggal slogan jika impor lebih murah dari produksi lokal,” ujarnya.

Ia mendesak agar pemerintah segera mengkaji ulang kesepakatan tersebut dan menyusun peta jalan mitigasi risiko. “Kita memang selamat dari tarif 32 persen, tapi dengan harga konsesi yang sangat besar. Apakah itu sepadan? Kita perlu refleksi nasional,” ucapnya.

Adik menutup dengan menyerukan perlunya langkah-langkah konkret dari pemerintah pusat untuk menjaga daya saing dan kedaulatan ekonomi nasional.

Kadin Jatim mengusulkan perlindungan terhadap industri strategis, insentif bagi UMKM, dan kebijakan pajak yang adil sebagai upaya memperkuat posisi Indonesia di tengah tekanan global. “Kami ingin Indonesia tetap berdiri sejajar di pasar internasional, bukan menjadi pasar empuk bagi negara besar,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: Dani
Editor: Gagah Saputra


No More Posts Available.

No more pages to load.