KabarBaik.co — Di usia 77 tahun, saat kebanyakan orang seusianya lebih banyak duduk di kursi goyang dan menghitung sisa waktu, Mbah Lasinah memilih menggenggam waktu itu erat-erat. Membawanya berjalan kaki dari satu dusun ke dusun lain untuk menjajakan bumbu dan jajanan tradisional.
Telapak kakinya yang telanjang seperti membaca peta nasib di jalan-jalan berbatu Desa Bugoharjo, Kecamatan Pucuk, Kabupaten Lamongan. Ia tidak sekadar menjual makanan. Mbah Lasinah menjual ketekunan, harapan, dan ketabahan yang tak bisa dikemas dalam plastik atau ditakar dengan timbangan pasar.
Mbah Lasinah adalah satu dari jemaah haji tertua dari Lamongan tahun ini. Usianya renta, namun semangatnya lebih segar dari embun yang jatuh di ladang-ladang dini hari.
Perjalanannya menuju Tanah Suci bukan sekadar perjalanan fisik. Melainkan ziarah panjang batin yang ia mulai sejak 2012 silam, kala ia dan sang suami mendaftarkan diri untuk haji. Namun, takdir memintanya berjalan sendirian. Sang suami lebih dahulu berpulang sebelum panggilan itu datang.
Setiap hari, sejak Subuh menampakkan jari-jarinya di langit, Mbah Lasinah telah bersiap. Pukul tujuh pagi ia mulai memantapkan langkah, membopong dagangan di atas kepala yang sudah renta namun tetap tegak.
Ia menempuh puluhan kilometer. Menyusuri jalan desa yang tak selalu mulus, kadang berlubang, kadang tergenang, tapi tak pernah membuat semangatnya keropos. Mbah Lasinah baru pulang saat bayangannya sendiri mulai memanjang, sekitar pukul dua siang.
Yang membuat kagum, ia melakukan itu semua tanpa alas kaki. Bukan karena tak mampu membeli sandal, melainkan karena keyakinan yang tak lazim tapi kuat. “Biar sehat,” begitu katanya saat ditemui wartawan KabarBaik.co di rumahnya, Kamis (8/5).
Bahkan saat dipaksa oleh cucunya, Suryono, untuk memakai sandal, Mbah Lasinah tetap mencopotnya di tengah jalan. Ia ingin tetap menyatu dengan bumi. Seolah-olah tanah itu menyerap lelahnya dan memberikan kekuatan sebagai ganti.
“Kalau saya tidak kerja malah jenuh, sakit-sakitan,” ucapnya sambil terkekeh kecil. Wajahnya menyimpan cahaya. Bukan dari lampu kilat kamera, melainkan dari cahaya keyakinan yang dibakar dengan sabar dan doa.
Tatapannya tajam, penuh tekad, tak sedikitpun menyisakan ruang bagi kata menyerah. “Kata capek itu sudah saya buang jauh-jauh,” katanya dengan senyum lebar.
Keberangkatanmya ke Tanah Suci pada 19 Mei mendatang adalah hasil dari 13 tahun menabung. Bukan hanya uang tapi juga tenaga, kesabaran, dan keikhlasan.
Ia adalah perempuan yang berjalan sendirian dalam arti sebenarnya dan simbolis. Sendirian menyusuri desa, sendirian mengatasi duka, sendirian menanti giliran berhaji, dan kini sendirian pula menjemput panggilan Allah.
Suryono, sang cucu, menyebut bahwa hasil tes kesehatan Mbah Lasinah bahkan mengalahkan yang muda-muda. “Normal semua,” katanya.
Tak pernah ia mendengar keluhan dari sang ibu, baik tentang pegal di punggung, rematik di kaki, atau pusing di kepala. Seolah semangat yang mendidih di dada Mbah Lasinah menguapkan semua kemungkinan sakit.
Sebenarnya, Mbah Lasinah dijadwalkan berangkat saat pandemi Covid-19. Tapi nasib kembali memintanya menunggu. Ibadah haji ditutup. Dan ia menunggu seperti biasa, dengan sabar, seperti ia menunggu pembeli datang membeli klepon dan ketan katol di tikungan jalan.
Kini, ia tengah menghentikan aktivitas jualannya. Untuk pertama kali dalam hidup, ia memberi jeda pada tubuhnya, mempersiapkan diri lahir dan batin. Apakah nanti akan kembali berjualan sepulang haji?.
Tak ada cukup kata untuk merangkum betapa besar semangat perempuan satu ini. Ia tidak sekadar pergi haji. Ia adalah haji itu sendiri. Perjalanan, ujian, kesabaran, dan keyakinan yang tak pernah padam. Ia menapaki tanah suci bukan hanya dengan kakinya yang telanjang, tapi juga dengan jiwa yang penuh.(*)






