KabarBaik.co – Kontroversi kembali mengguncang industri hiburan Indonesia, kali ini melalui pernyataan Abidzar Al Ghifari, aktor utama adaptasi lokal film A Business Proposal. Pernyataannya bahwa ia tidak membaca Webtoon atau menonton drama Korea versi asli demi menciptakan karakter versinya sendiri menuai kritik tajam dari netizen.
Akibat reaksi keras ini, skor film di IMDb (Internet Movie Database) anjlok ke 1/10, dan penayangannya dihentikan di sejumlah bioskop. Fenomena ini mencerminkan kuatnya budaya cancel culture di masyarakat kita, di mana figur publik yang dianggap tidak memenuhi ekspektasi langsung dihujani kritik hingga di“enyahkan.”
Menurut Meilinda, S.S., M.A., dosen English for Creative Industry dari Petra Christian University (PCU), cancel culture adalah “budaya pengenyahan” yang bertujuan untuk menyingkirkan individu dari posisi atau peluangnya. “Dalam kasus ini, Abidzar tidak hanya menghadapi konsekuensi pribadi, tetapi juga memengaruhi tim produksi secara keseluruhan,” jelasnya saat ditemui di Kampus Petra Surabaya, Senin (17/2).
Meilinda memaparkan sebagai figur publik, aktor memang memiliki tanggung jawab atas perkataan dan tindakannya. Meilinda menilai, pernyataan Abidzar terkesan arogan, sesuatu yang sulit diterima dalam budaya Indonesia. “Di sini, masyarakat cenderung mengidolakan figur yang rendah hati,” tambahnya.
Kasus ini juga membuka perdebatan soal strategi adaptasi. Meilinda menjelaskan bahwa dalam adaptasi yang masih terhubung dengan karya asli, pemahaman mendalam terhadap sumbernya adalah kunci. “Jika ingin mempertahankan kesinambungan, aktor perlu mempelajari dan mendiskusikan karakter asli dengan sutradara,” katanya.
Namun, ia juga menyoroti bahwa interpretasi baru bukanlah hal yang salah, asalkan selaras dengan visi produksi. Pemilihan aktor menjadi aspek vital, karena merekalah wajah dan jiwa dari cerita. “Aktor harus mampu menghidupkan karakter secara emosional agar penonton merasa terhubung,” ujarnya. Sebaliknya, casting yang tidak tepat bisa merusak pengalaman menonton, bahkan jika skenarionya kuat.
Meilinda menambahkan, citra publik seorang aktor memegang peranan besar dalam penerimaan sebuah film. “Kontroversi atau reputasi buruk aktor dapat mengurangi minat penonton, sehingga produser perlu mempertimbangkan aspek ini saat casting,” ungkapnya.
Dalam produksi adaptasi, memahami esensi karakter menjadi sangat penting. “Jika ingin menghadirkan sesuatu yang segar, fleksibilitas tetap dibutuhkan, tetapi jangan sampai kehilangan daya tarik inti dari karya asli,” tambahnya.
Meilinda juga menggarisbawahi bahaya cancel culture yang menghilangkan ruang untuk klarifikasi. “Cancel culture menciptakan ekosistem digital di mana diskusi menjadi sulit. Segala perbedaan pandangan mudah dienyahkan tanpa upaya memahami,” jelasnya. Jika terus dibiarkan, budaya ini dapat mempersempit ruang dialog dan membentuk masyarakat yang intoleran terhadap perspektif lain.
Kontroversi ini menjadi pelajaran penting bagi aktor dan produser untuk lebih bijak menjaga citra, baik di dunia nyata maupun maya. Dalam dunia yang serba cepat ini, opini publik bisa menjadi pedang bermata dua yang memengaruhi kesuksesan atau kegagalan sebuah karya.(*)