Menguji Serap Gabah oleh Bulog

oleh -958 Dilihat
2e3181d9 9dda 45a3 b6aa 1b8d997354ab

KABAR baik! Presiden Prabowo Subianto optimistis realisasi swasembada pangan lebih cepat. Tidak sampai empat tahun. Seperti yang ia rencanakan pada masa pemerintahannya. Keyakinan itu setelah Presiden mendapat ‘’bisikan’’ dari jajaran menterinya. Swasembada cukup dua tahun, sudah bisa terwujud. Dengan begitu, negeri yang sejatinya begitu kaya ini tidak butuh impor. Sebab, kebutuhan pangan sudah bisa dicukupi petani. Anak-anak dan warga dalam negeri sendiri. Tidak memborong dari luar negeri lagi.

Sungguh menggembirakan mendengar kabar itu. Ada harapan membuncah. Geliat untuk dapat mewujudkan swasembada pangan pun telah terasa di mana-mana. Termasuk di daerah-daerah. Bergairah. Setiap hari kita pun membaca berita, TNI-Polri juga ramai-ramai turun gelanggang. Ke sawah-sawah, tegalan, perkebunan. Ramai-ramai mengawal target swasembada pangan tersebut. Bahkan, juga jajaran Kejaksaan. Misalnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim yang meluncurkan program menarik: Jaksa Sahabat Tani.

Wamentan Sudaryono Imbau Peternak Sapi Jatim Segera Vaksinasi untuk Cegah PMK

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman dan Wakil Mentan Sudaryono begitu bersemangatnya. Ibarat kendaraan, langsung tancap gas. Tidak pakai pemanasan. Nyaris waktu keduanya dihabiskan untuk berkeliling ke daerah-daerah. Mungkin ia sudah tak banyak memikirkan waktu untuk keluarganya. Tapi, untuk petani dan petani. Terus bergerak, menjadi motor dan dirigen demi satu irama dan satu nada itu: Swasembada.

Di wilayah hulu sudah tancap gas. Pembenahan irigasi, cetak sawah, ketersediaan pupuk dan obat-obatan, peningkatan subsidi pupuk, pemberian bantuan alsintan, dan sejenisnya, menjadi bukti tekad kuat. Namun, satu hal yang tidak kalah teramat penting adalah sektor hilirnya. Yakni, penyerapan komoditas hasil-hasil pertanian. Sebab, percuma gabah, jagung, dan produk pangan lain berlimpah, namun tidak terserap optimal. Baik jumlah maupun harga. Justru, bisa memunculkan malapetaka.

Pada 12 Januari lalu, Badan Pangan Nasional telah mengeluarkan Keputusan Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras. Dalam keputusan itu telah diatur HPP gabah dan beras bagi Bulog. Yakni, Gabah Kering Panen (GKP) di petani sebesar Rp 6.500 per kilogram (kg) dengan kualitas kadar air maksimal 25 persen dan kadar hampa maksimal 10 persen. Lalu, GKP di penggilingan sebesar Rp 6.700 per kg dengan kualitas kadar air maksimal 25 persen dan kadar hampa maksimal 10 persen.

Gabah Kering Giling (GKG) di penggilingan sebesar Rp 8.000 per kg dengan kualitas kadar air maksimal 14 persen dan kadar hampa maksimal 3 persen. GKG di gudang Bulog sebesar Rp 8.200 per kg dengan kualitas kadar air maksimal 14 persen dan kadar hampa maksimal 3 persen. Beras di gudang Bulog sebesar Rp 12.000 per kg dengan kualitas derajat sosoh minimal 100 persen, kadar air maksimal 14 persen, butir patah maksimal 25 persen, dan butir menir maksimal 2 persen.

Dapat Laporan dari Jajaran Menteri, Presiden Optimistis Swasembada Pangan Lebih Cepat

Jika terdapat gabah di luar ketentuan kualitas yang telah ditetapkan tersebut, maka dapat diberikan kebijakan rafaksi harga agar Bulog masih dapat menyerap. Keputusan itu mulai berlaku pada 15 Januari 2025.

Sejatinya, keluarnya keputusan Badan Pangan Nasional itu angin segar. Makin menguatkan bukti komitmen dan keberpihakan pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto kepada petani. Kebijakan penetapan HPP itu dirancang untuk melindungi pendapatan petani. Memastikan harga yang stabil di tengah ancaman spekulasi dan ketidakpastian harga saat panen. Dalam konteks ini, kebijakan HPP menjadi jaring pengamannya.

Namun, efektivitas atas implementasi kebijakan HPP itu rasanya masih harus diuji dan dipertanyakan. Apakah keputusan HPP dan serap gabah oleh Bulog itu benar-benar berjalan sesuai harapan, sesuai kenyataan di lapangan? Ataukan hanya sekadar kabar baik di atas kertas? Tapi, di bawah kertas, tetap tidak ada perubahan alias sama saja?

Faktanya, diakui atau tidak, saat musim panen awal tahun ini di beberapa daerah  harga gabah masih cukup rendah. Di bawah HPP. Belum sesuai keputusan baru Badan Pangan Nasional tersebut. Dari sejumlah pemberitaan media, kita masih mendengar pengakuan petani bahwa harga gabah hanya Rp 5.500 sampai Rp 5.800 per kilogram. Artinya, masih ada selisih Rp 1.000 dibandingkan dengan HPP. Memang, hanya seribu perak. Namun, jika dikalikan sekian ton, maka nominal itu sungguh sangat berarti bagi kesejahteraan petani.

Kalau demikian, di mana letak kesalahannya? Apakah karena kualitas gabah para petani di bawah standar? Ataukah tetap menjadi problem klasik, kualitas gabah petani sudah bagus, tetapi jatuh ke tangan spekulan, para tengkulak? Lantas, sejatinya kapan dan di mana kehadiran Bulog? Bagamana para petani dapat mengakses informasi kehadiran Bulog itu dengan cepat, mudah, dan dengan bahasa sederhana? Sejauh mana Bulog sebagai badan publik membuka kran atas hak informasi itu?

Karena itu, mumpung belum terlambat. Tidak hanya giat di wilayah hulu, namun mesti ada transformasi besar di sektor hilir. Jangan sampai kelak panen melimpah, tapi serapannya bermasalah. Swasembada mungkin kelak terwujud lebih cepat seperti harapan Presiden Prabowo dan seluruh rakyat Indonesia. Namun, apalah artinya keberlimpahan pangan itu kalau tidak berkorelasi signifikan dengan kesejahteraan. Terutama bagi petani. Justru, bisa jadi bumerang  Berpotensi menjadi back fire. Semangat bertani yang sudah menyala, kembali menjadi keputusasaan. Untuk apa bertani, toh begini-begini lagi?

Karena itu, pengawasan dan sanksi tegas untuk memastikan HPP berjalan efektif dan tepat sasaran perlu mendapat perhatian khusus.  Sekaligus serius. Termasuk pendampingan lapangan yang bertujuan untuk menghindari penurunan harga akibat ulah spekulan yang kerap menekan harga pasar di tingkat petani. Rasanya, Presiden Prabowo Subianto mampu menyelesaiakannya. Rakyat menaruh harapan besar dengan ditunjukkan tingkat kepuasan jelang 100 hari yang menyentuh angka 80 persen. Kalau tidak sekarang kapan lagi? Kalau bukan kita, lalu siapa lagi?

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News



No More Posts Available.

No more pages to load.