KabarBaik.co- Pagi masih muda ketika AKBP Ayub Diponegoro Azhar melangkah ke Mapolres Pacitan untuk kali pertama sebagai Kapolres. Langit belum sepenuhnya biru, tapi langkahnya terasa mantap. Ia datang bukan hanya membawa mandat dari Kapolri, tetapi juga nyala semangat baru. Makin mendekatkan polisi pada denyut kehidupan masyarakat.
Pacitan, kota di tepi selatan Jawa yang dijuluki “Kota Seribu Goa”, itu menyambut kehadirannya dengan hangat. Dalam upacara pisah sambut yang berlangsung khidmat di Pendopo Kabupaten, Ayub menyampaikan harapannya. Terdengar sederhana, namun terasa menyentuh. Ia tidak hanya minta dukungan, melainkan juga doa restu dari seluruh elemen masyarakat.
“Saya yakin dan percaya, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban diperlukan kerjasama yang harmonis dari semua komponen,” ucapnya kala itu. Kalimat ini mungkin terkesan normatif. Namun, bagi banyak orang, itu adalah tanda bahwa pemimpin baru ini tidak datang dengan pendekatan kekuasaan, melainkan dengan hati yang siap mendengar.
Nama Ayub Diponegoro Azhar memang tidak asing bagi jajaran kepolisian Jawa Timur. Ia telah lama malang melintang di bidang reserse. Ia pernah menjabat sebagai Kasatreskrim di Polres Sidoarjo dan Gresik, dua wilayah yang dikenal kompleks.
Di Gresik, namanya mulai dikenal publik secara luas setelah keberhasilannya menggagalkan aksi penculikan dan penyanderaan anak SD pada 2014. Sebuah peristiwa dramatik. Wujud kesigapan yang melibatkan koordinasi cepat antara kepolisian dan TNI atau Kodim setempat. Keberanian dan kecepatan dalam bertindak, membuat nama polisi muda itu terus dikenang sekaligus disegani.
Keberhasilan Ayub tak hanya tercatat dalam jejak persoalan kriminalitas. Ia juga pernah bertugas sebagai perwira menengah (Pamens) di Bareskrim Mabes Polri. Bahkan, pernah menjadi penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di sana, ia ikut serta mengungkap kasus-kasus besar. Namun, justru di Pacitan—kota yang tenang, jauh dari riuh ibu kota—Ayub sepertinya memilih untuk memulai sebuah fragmen baru dengan cara yang lebih menyentuh sisi manusia.
Tidak lama setelah resmi dilantik pada 19 April 2025, Ayub langsung meluncurkan gebrakan bernama “WADUL Kapolres”. Wadul merupakan akronim dari Wadah Aduan Langsung. Lewat program tersebut, ia membuka lima jalur komunikasi via WhatsApp untuk aduan masyarakat. Terbuka. Tanpa sekat. Mulai sambungan langsung ke dirinya, aduan pelecehan seksual, laporan ke Reskrim, hingga layanan SKCK. Tak ketinggalan, Polres Pacitan juga mengaktifkan call center 110.
Semua itu dibuat bukan sekadar untuk mempercepat aduan. Namun, agar masyarakat merasa didengar, tanpa sekat birokrasi. Memupuk benih partisipasi. “Jangan ragu untuk melaporkan keluhan masyarakat terkait Kamtibmas, kami siap membantu,” bunyi unggahan dari akun Humas Polres Pacitan. Sebuah kalimat sederhana yang mencerminkan prinsip kerja sang Kapolres. Hadir, merespons, dan tidak mempersulit.
Langkah humanis Ayub berlanjut ketika menggagas program “SIM Bolo Bhabin”. Sebuah inovasi yang menggandeng para Bhabinkamtibmas untuk membantu warga desa dalam proses pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM). Ini bukan tanpa pertimbangan kuat. Ayub tahu, tentu tiak semua warga punya akses pelatihan atau pemahaman tentang ujian mengemudi. Maka, pihaknya hadir dengan solusi yang mendekatkan pelayanan ke desa, bukan sebaliknya.
Melalui coaching clinic yang dilakukan di desa-desa, warga dibimbing memahami aturan lalu lintas, etika berkendara, hingga praktik langsung. Pelatihan ini diberikan secara gratis, cukup bayar biaya resmi SIM sesuai aturan. Tak ada pungli. Tak ada jalan pintas.
“Kadang kegagalan saat ujian SIM itu bukan karena tak bisa mengemudi, tapi karena kurang paham prosedur atau grogi. Di sinilah, peran Bhabinkamtibmas jadi penting,” jelas AKP Angga Bagus Sasongko, Kasatlantas Polres Pacitan yang membantu mewujudkan gagasan Kapolres Ayub.
Semua ini tidak lain adalah refleksi dari tiga prinsip utama yang dipegang Ayub dalam bekerja mengemban amanat. Yakni, tidak meremehkan tugas sekecil apapun, menjunjung tinggi kejujuran, dan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat.
Ayub menyadari, keamanan adalah fondasi penting untuk pembangunan. Termasuk di sektor pariwisata. Pacitan yang dikenal dengan keindahan pantai dan goanya, membutuhkan jaminan rasa aman agar wisatawan datang dengan nyaman. Masyarakat pun hidup dengan tenteram.
“Kami selalu siap mendukung pengembangan wisata Pacitan lewat peningkatan keamanan dan pelayanan kepolisian yang humanis,” katanya, seolah memberi isyarat bahwa keamanan bukan sekadar angka kejahatan, tapi rasa tenteram yang bisa dirasakan langsung oleh warga.
Dan semua itu, dimulai dari bawah. Mendengar keluhan warga, menjembatani pelayanan, hingga menyapa langsung mereka yang selama ini hanya menonton dari jauh.
Dalam dirinya, menyatu pengalaman panjang dalam penegakan hukum dan semangat baru untuk melayani lebih dekat. Pacitan mungkin tetap jadi kota kecil yang tenang di peta Pulau Jawa, tetapi sejak kehadiran Ayub, angin perubahan mulai berembus perlahan. Bukan dengan hiruk-pikuk, tapi dengan telinga yang mendengar, tangan yang bekerja, dan hati yang tulus.
Dan, ibarat tanah yang menanti musim hujan, masyarakat menyambut kehadiran Ayub selalu dengan harapan-harapan baru. Mereka tak sekadar menunggu penjaga, tapi pemantik—yang menghadirkan inisiasi, membangun kolaborasi, dan menumbuhkan inovasi. Sebab di balik tugas yang tampak sederhana, ada harapan besar agar keamanan tak hanya terasa, tapi juga menghidupkan. (*)