OLEH: PROF SUPARTO WIJOYO*)
PERISTIWA hijrah Rasulullah Muhammad SAW merupakan fase monumental. Hijrah merupakan etalase pendar cahaya peradaban Islam yang menjadi tonggak kegemilangan masa depan. Beragam kejadian sepekan menjelang hari H pelaksanaan hijrah dari Makkah menuju Yasrib pastilah menarik dijadikan referensi kehidupan. Kemampuan strategi dan profesionalitas diplomasi serta penguasaan peta geografi kewilayahan jazirah maupun penyiapan alur logistik, sungguh mengagumkan. Ini peta jalan yang spektakuler.
Pemilihan Abu Bakar sebagai sahabat yang menemani ruang jasmani-ruhani dalam perjalanan hijrah ini menandakan perhitungan yang matang. Maka hidup jangan salah pilih teman biar tidak tersesat. Abu Bakar yang Siddiq menggumpalkan kesetiaan yang bersifat kolegial dan kekeluargaan tanpa reserve. Putra Abu Bakar, Abdullah maupun Asma’ bersama-sama pakar pengembaraan di gurun yang bernama Amir ibn Fuhayra (budak yang dimerdekakan) telah menjalankan fungsi utamanya dengan sempurna. Distribusi pangan dan delegasi yang bermisi utama sebagai “sang penghilang jejak” perjalanan Nabi dilakoninya penuh tanggung jawab. Melalui karapan domba di gurun gembala oleh Amir ibn Fuhayra mengakibatkan rekam jejak kaki unta Rasulullah SAW dan tim hijrahnya tidak dapat dideteksi oleh “detektor” Suku Badui yang paling canggih saat itu.
Titik transit yang dipilih Rasullulah SAW juga spektakuler, Gua Tsur (Gunung Tsawr). Medan yang ditempuh berkelok “memutar” ke arah selatan terlebih dahulu dengan pertimbangan pemanfaatan infrastruktur “jalan lingkar” yang probabilitasnya sangat kecil untuk dikontrol kaum pengusir Makkah. Hijrah memang pada mulanya adalah “pendulum” keterusiran. Nabi SAW sewaktu meninggalkan Makkah untuk berhijrah sempat menoleh sejenak ke hamparan Makkah, seperti yang direkam Martin Lings (Abu Bakr Siraj al-Din) sambil berkata: “Dari seluruh Bumi Allah, engkaulah tempat yang paling kucintai dan dicintai Allah. Jika kaumku tidak mengusirku darimu, maka aku tidak akan meninggalkanmu”. Sebuah ungkapan keterikatan yang menunjukkan kedalaman cinta Kanjeng Nabi Muhammad SAW pada Makkah yang ternyata membuncahkan semangat untuk selalu meraih kerinduan yang oleh sejarah dicatat dengan kemenangan paripurna: Fatkhul Makkah. Di episode inilah “Hari Persaudaraan” (Yaumul Marhamah) itu dicetuskan.
Suku Quraisy Makkah tentu tidak membiarkan sejengkal koordinatnya lolos dari pemantauan. Spionase dan pemburu disebar sampai di lereng Gua Tsur demi memperebutkan hadiah seratus ekor unta terbaik bagi siapa saja yang mampu membawa kembali Rasulullah SAW. Abu Bakar tampak gelisah dengan kesedihan yang tertahankan, hingga Nabi SAW membisikkan ungkapan Al-Quran: “jangan bersedih, karena sesungguhnya Allah beserta kita.” Itulah manifestasi kepercayaan hidup bersama Allah di bentara “oase spiritual” yang amat mengkristal di ruas perjalanan menuju arah utara dengan persinggahan di Quba’.
Di sinilah semburat terang Illahiyah atas jiwa-jiwa yang tangguh diukir di gerbang Kota Nabi: Al-Madinah (Medina). Secara kosmologi situasinya sangat bermakna dalam tuangan maknawi Alquran: “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Alquran benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali” (28: 85).
Penyebutan Yasrib menjadi Madinah bukan produk spontan tetapi luaran dari pengendepan spirit membangun Islam dengan pribadi unggul. Bukankah sejarah menorehkan cakrawala komprehensifnya bahwa sebelum di Quba’ (yang Nabi SAW pernah mengunjunginya sewaktu kecil), Rasulullah SAW bertemu sepupu Abu Bakar yang “membentuk formasi kafilah” sepulang dari Suriah, Thalhah, konglomerat tekstil yang menyulurkan pakaian putih terbaik.
Kehadiran Rasulullah SAW di Madinah pun sangat dramatik dan menyibakkan optimisme yang menyentuh ranah “Ipoleksosbud Hankamnasling”. Pribadi-pribadi muslim dalam kualifikasi Muhajirin dan Ansor serta suku-suku yang bhinneka di Madinah ternyata berkomitmen membangun kekuatan legal maupun sosial yang bersifat komunal dan institusional. Dalam perkembangannya terekamlah identifikasi itu di Piagam Madinah (622 M). Sebuah konstitusi tertulis perdana di dunia. Sang Nabi Muhammad SAW merupakan Sang Konstitusionalis yang mengagumkan. Inilah peradaban berkehidupan publik yang didasarkan kepada hukum dasar tertulis.
Dari segebok pustaka yang ditulis oleh ilmuwan Eropa maupun Amerika dapat ditarik suatu pesan akademik yang profesional adalah suatu keanehan apabila membincang konstitusi dan konstitusionalisme tanpa pernah menyimak dengan cermat keseluruhan konteks maupun konten Piagam Madinah. Konstitusi tertua di dunia yang dibuat Rasulullah Muhammad SAW pada tahun 1 Hijriah atau 622 M berisi norma hukum yang sangat memadai. Piagam Madinah maupun kesepakatan-kesepakatan pada Hudaibiyah Treaty menjadi bukti otentik betapa mengagumkannya Rasulullah dalam melakukan pembentukan legal jurisprudence. Di Abad ke-21 ini telah diintrodusir perlunya fit and proper test dalam lelang jabatan negara, lihatlah Rasulullah SAW di awal Abad ke-7 itu sudah mengajarkan dan menerapkan hal itu. Pelajarilah kisah penunjukan Mu’adz bin Jabal sewaktu harus menjadi pemegang jabatan negara di Yaman.
Selanjutnya, dengan jalan hijrah itulah peradaban Islam berkembang menapaki seluruh Bumi Allah. Tadaburilah Surat An-Nisa’ ayat 95 ini secara lengkap meski kali ini cukup dinukilkan sedikit: “… qooluuu alam takun ardhullohi waasi’atan fa tuhaajiruu fiihaa …” – bukankah Bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di Bumi itu”. Ayat yang memberikan jejak untuk tidak berpangku tangan mendekam dalam satu titik planologi dunia. Hijrah ditakdirkan meneguhkan pandom perhitungan tahun kalender Hijriah. Meski harus dicatat bahwa tanggal 1 Muharam yang dianggitkan sebagai awal tahun Hijriah yang Kamis depan “dirayakan”, secara syamsiah berkorelasi dengan tanggal 16 Juli 622 M. Dengan demikian, perhitungan 1 Muharam bukan murni urusan saat mulai hijrah, tetapi merangkai “segumpal narasi ikhtiar” hijrah yang bersinggungan di bulan September 622 M. Biarlah ranah ini menjadi areal penelitian pakar sejarah Islam.
Bagiku yang utama adalah kemampuan merengkuh semangat hijrah untuk melahirkan Generasi Hijrah (Generasi H). Generasi yang hidupnya kian hari kian semarak mendakwahkan Islam Rahmatan Lil Alamin di Bumi Allah. Generasi yang tiada henti mengelanakan diri menjelajah bumi memanggul amanah Nabi Allah untuk mensyiarkan Islam.
Ungkapan tersebut kuhantar (Generasi H) sebagai penambah “warna” epistimologi dunia yang dinilai sedang memasuki fase Generasi Z. Perspektif pustaka telah menorehkan pelajaran hadirnya periodesasi generasi: Waktu usai Perang Dunia II, 1946-1964 dipatok era Generasi Baby Boomer. Tarikh 1965-1980 merupakan ajang waktu Generasi X yang menghantar hadirnya Generasi Y, berdurasi 1981-1994. Adapun Generasi Z, berkurun 1995-2010, suatu generasi yang beratribut i-Generation, Generasi-Net., bibit keberlanjutan Generasi Y yang keluar dari rahim Generasi X. Kini, zaman sedang mengandung Generasi Alpha, 2011-2025.
Generasi Z merupakan penggenggam kecanggihan berjejaring multitasking, Generasi serba gadget dengan penguasaan beragam vitur serta akses informasi tak berbatas. Teknologi internet menjadi intsrumen vital hidupnya yang menyibak dunia amat berbeda dengan tata hidup Generasi X dan Y. Tumbuhnya Generasi Z yang memiliki supremasi digital sejurus hadirnya Generasi Alpha yang berkeunggulan nanoteknologi, adalah panggilan zaman. Tugas keluarga muslim adalah membekali Generasi Z, generasi milenial, superteknologi ini agar berjiwa Islam Rahmatan Lil Alamin (Generasi H) dalam tataran negara bangsa (nation state). Lagak laku Generasi Z pastilah global, tetapi tetap berpijak kepentingan lokal sedasar dengan adagium Think Globally – Act Locally.
Di luasnya “armada literasi” yang membagi tahapan generasi tersebut, dalam nuansa Tahun Baru 1446 Hijriah, kuhadirkan atribut jiwa Generasi H sebagai indentitas yang menempuh jalan Kenabian Muhammad SAW. Sebuah realitas fenomenologis dalam kerangka sosiologi kehidupan masyarakat. Anak-anak mengikatkan diri dalam sebuah gelombang untuk berhijrah menuju kehidupan yang lebih baik. Lebih mencintai Nabinya, mengamalkan ajaran-ajaran agamanya, dan semakin mencintai negaranya yang berfalsafat Pancasila. Saya percaya anak-anak yang lagi berkembang untuk hijrah menuju kesiapan diri yang handal, mengasah menjadi SDM unggul bagi hadirnya Indonesia Emas 2045. (*)
—
*) PROF SUPARTO WIJOYO, Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, dan Pengajar Strategic Leadership Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga