KabarBaik.co- Dalam khazanah budaya Jawa yang kaya akan filosofi dan kearifan lokal, terdapat berbagai pantangan dan anjuran yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu yang mungkin terdengar unik adalah larangan menggunakan sisir yang ompong. Bagi sebagian masyarakat modern, hal ini mungkin dianggap sekadar mitos usang. Namun, jika ditelaah lebih jauh, larangan ini menyimpan makna mendalam yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Mitos lain yang beredar di masyarakat Jawa ialah larangan menggunakan sisir yang ompong atau patah karena dapat menyebabkan kemiskinan dan cerai dengan suaminya. Mitos ini masih sering dipercaya beberapa orang. Padahal, makna sesungguhnya ketika sisir sudah rusak atau patah, kita harus menggunakan sisir baru karena sudah tidak layak digunakan dan menyebabkan kerusakan pada rambut. Makna lain, harga sisir pada masa lalu tergolong mahal. Tidak mengganti sisir yang rusak berarti tidak mampu membeli yang baru dan tergolong masyarakat miskin.
Menurut beberapa penutur budaya Jawa dan budayawan, larangan menggunakan sisir ompong bukan semata-mata takhayul. Lebih dari itu, ia mengandung pesan-pesan moral dan etika yang penting:
1. Simbol Ketidaklengkapan dan Ketidakberesan:
Sisir yang ompong melambangkan sesuatu yang tidak utuh atau tidak sempurna. Dalam konteks budaya Jawa yang menjunjung tinggi keharmonisan dan kesempurnaan, menggunakan benda yang rusak dianggap mencerminkan ketidakrapihan dan ketidakberesan dalam diri seseorang. Hal ini bisa diartikan sebagai cerminan pribadi yang kurang menghargai diri sendiri dan lingkungannya.
2. Aspek Estetika dan Kebersihan Diri:
Meskipun zaman dahulu belum ada pemahaman ilmiah tentang bakteri dan kuman, masyarakat Jawa sudah menyadari pentingnya kebersihan dan kerapian. Sisir yang ompong tentu tidak dapat menata rambut dengan baik, bahkan berpotensi merusak rambut atau kulit kepala. Larangan ini secara implisit mengajarkan pentingnya merawat diri dengan baik dan menggunakan alat yang layak untuk menjaga penampilan.
3. Penghargaan terhadap Benda dan Rezeki:
Dalam pandangan Jawa, segala sesuatu, termasuk benda mati, memiliki “nyawa” atau energi. Menggunakan sisir yang ompong bisa diartikan sebagai kurangnya penghargaan terhadap benda atau alat yang dimiliki. Ini juga bisa dikaitkan dengan konsep nrimo ing pandum (menerima apa adanya) namun tetap berupaya untuk menjaga dan merawat apa yang sudah diberikan Tuhan. Menggunakan benda yang rusak seolah menunjukkan ketidakpedulian terhadap rezeki yang telah diterima.
4. Pengaruh terhadap Aura dan Keberuntungan:
Meskipun ini masuk dalam ranah kepercayaan, beberapa orang Jawa percaya bahwa menggunakan benda-benda yang tidak sempurna dapat memengaruhi aura positif seseorang dan bahkan membawa ketidakberuntungan. Ini adalah bagian dari keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta saling terhubung dan memengaruhi satu sama lain.
Pesan yang Relevan di Masa Kini:
Meskipun teknologi dan gaya hidup telah berubah drastis, esensi dari larangan menggunakan sisir ompong ini tetap relevan. Ia mengajarkan tentang pentingnya:
- Kerapihan dan kebersihan diri: Menjaga penampilan bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk diri sendiri.
- Menghargai apa yang dimiliki: Merawat barang-barang adalah bentuk syukur dan tanggung jawab.
- Integritas dan kesempurnaan: Berusaha memberikan yang terbaik dalam segala hal, termasuk dalam hal-hal kecil.
Dengan demikian, mitos larangan menggunakan sisir ompong bukan sekadar cerita tanpa dasar. Di baliknya, terkandung kearifan lokal yang mengajarkan tentang nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga diri, menghargai lingkungan, dan selalu berupaya untuk kesempurnaan.






