KabarBaik.co- Yuanas. Akrab menyebut dirinya Cak Anas. Nama ini sudah cukup familiar dalam beberapa tahun terakhir. Menghiasi sejumlah media massa. Mengupas cerita menarik dan kesuksesannya. Edukasi melalui akun media sosialnya, pun diikuti dan ditonton ribuan orang. Menginspirasi untuk mewujudkan harapan.
Anas adalah petani muda. Sukses. Menggarap lahan puluhan hektare. Sawah itu ditanami padi dan ubi. Omzetnya lebih dari Rp 3,5 miliar per tahun. Namun, petak-petak sawahnya bukan di Indonesia. Ada di Jepang. Tepatnya, di wilayah Mito City, Provinsi Ibaraki, Jepang. Jarak dari Ibukota Tokyo sekitar 129 km. Mito dapat ditempuh dengan mudah dari Stasiun Tokyo. Hanya 75 menit.
Sukses Anas bukan bim salabim. Melainkan buah ketekunan. Kerja keras. Ibarat pepatah Arab Man jadda wajada, siapa giat pasti dapat. Berangkat dari nol puthul. Kini, pria 43 tahun itu menguasai teknologi modern. Alat-alat pertanian. Bukan hanya sekadar mengoperasikan. Tapi, juga membengkeli permesinan itu. Anas hanya tamat SD. Asalnya, Klakah, Kabupaten Lumajang. Dialek Maduranya masih kental.
Cerita Anas berawal dari pertemuannya dengan seorang gadis asal Jepang. Namanya Ichisawa Chikako. Pertemuan itu terjadi pada 2005 silam. Di sebuah toko handycraft di Bali. Chikako masih berusia 23 tahun. Ia tengah berlibur. Bagi Chikako, liburan ke Pulau Dewata tentu tidak repot. Maklum, ia berkarir di perbankan.
Dalam pertemuan itu obrolan terjadi. Layaknya pekenalan muda-mudi. Waktu itu, topik obrolannya antara lain tentang agama Islam. Chikako merasa heran. Mengapa masyarakat di Bali dengan mayoritas penduduk beragama Hindu, namun bisa berdampingan begitu rukun dengan Islam? Anas pun menjawab pertanyaan tersebut semampunya. Sebab, Anas sadar hanya lulusan madrasah.
Namun, hidayah memang selalu tak terduga. Sekehendak Sang Pencipta. Obrolan demi obrolan dengan Anas, membuat Chikako memantapkan hatinya menjadi mualaf pada 2010. ’’Sebelumnya, ia (Chikako, Red) sering datang ke Indonesia. Suatu ketika, akhirnya saya bertanya balik. Apakah kamu bersedia menjadi ibu dari anak-anak saya?’’ cerita Anas dilansir dari sebuah media.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Garam dari laut Madura, bertemu dengan Sushi di sebuah piring hidangan. Ternyata, Chikako menjawab siap bersedia. ‘’Kami dipersatukan oleh Islam,” ujar Anas.
Perjalanan dari stasiun cinta menuju ke tangga pernikahan itulah yang menjadi cikal bakal Anas menggeluti dunia tani. Setelah memeluk Islam dan menikah, pada 2010 Anas bertolak ke Mito City. Mengurus legalitas pernikahannya. Maklum, keduanya dari warga negara berbeda.
Dari sinilah ujian dimulai. Anas hanya bermodalkan ijazah SD. Tentu, tidak mudah mendapat pekerjaan di Jepang. Padahal, ia harus mulai menghidupi istrinya. Apalagi saat itu kondisi sebagian wilayah Jepang sedang tidak baik-baik saja akibat diterjang tsunami. Tepatnya, pada Maret 2011. Berdasarkan data, korban dampak tsunami itu mencapai 18.431 orang. Ketinggian gelombang maksimal 55.88 meter. Namun, berkah bagi Anas.
Semula tidak ada niat Anas hidup di Jepang. Setelah mengurus legalitas dan tinggal beberapa waktu di Jepang, ia ingin balik ke kampung. Izin tinggal atau visa hanya tiga bulan. Namun, karena nikah dengan warga Jepang, pemerintah memperpanjang visanya hingga satu tahun.
Satu tahun di Jepang, Anas kerja serabutan. Demi menopang nafkah keluarga. Mulai bersih-bersih reruntuhan bangunan dampak tsunami itu hingga mengumpulkan besi tua. Ia menjalani dengan tetap banyak bersyukur. Ada pemasukan rezeki. Nah, beberapa bulan kemudian, Anas kembali menghadapi ujian. Situasi cukup pelik. Betapa tidak, Chikako mengandung, sementara izin tinggal menyisakan waktu satu bulan.
Sang anak pertama pun lahir. Ternyata, berkah dari kelahiran anak pertamanya, pemerintah memberikan tambahan izin tinggal di Jepang selama tiga tahun. Karena sudah memiliki anak, beban ekonomi keluarga pun bertambah. Anas pun tertuntut untuk memiliki pekerjaan tetap. Ia melamar ke sana-sni hingga diteima di perusahaan Kubota, salah satu perusahaan yang memproduksi alat pertanian.
Buah ketelatenan dan mau terus belajar, dari hanya modal nekat, lama-lama Anas pun menjadi mahir. Di pekerjaan itu. Tiga tahun berselang, Anas kerap mendengar keluhan dari para petani berusia tua di lingkungan tempat tinggalnya. Yang juga sama dengan di Indonesia. Yakni, minimnya minat generasi muda untuk mau bertani. Alasannya, capek, kotor, dan tidak cukup menjanjikan secara ekonomi.
Dari situ, justru Anas menjadi tertantang. Semangatnya untuk bertani tergugah. Seolah pengalamannya di kala kecil membantu ayahnya bertani di sawah membisikinya. Untuk mewujudkan niat itupun tidak mudah. Mulanya, sang bapak mertua yang merupakan orang cukup terpandang sebagai ketua ikatan dokter hewan di sejumlah provinsi, sempat menentang keinginannya. Namun, Anas ingin membuktikannya.
Akhirnya, Anas mengelola sepetak sawah. Hanya seluas 0,5 hektare. Dengan bantuan alat pertanian modern, kerja-kerja tani Anas mulai mendulang kesuksesan. Garapan sawah bertambah. Kini, ia bersama Chikako telah mengolah petak sawah dengan luas mencapai 35 hektare.
Dalam sebuah kesempatan, kediaman Anas di Jepang pernah dikunjungi Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Dr KH M Cholil Nafis. ’’Saya mau tanya ini Mas Anas, sampeyan bisa mengoperasikan alat-alat ini belajar di mana? Terus lahan pertanian Anda ditanami apa saja seluas 30 hektare ini,” tanya kiai dalam sebuah video.
Anas pun menjawab bahwa dirinya banyak membaca buku. Lalu, soal pertanyaan sawahnya ditanami apa, Anas menjawab padi dan ubi. Penjualan hasil panennya, Anas mengungkapkan sangat mudah. Dibeli Jepang Agrycultural, salah satu koperasi pertanian di Jepang. Sedangkan ubi jalar, dijual ke pabrik untuk diolah menjadi produk lainnya.
“Sistem pertanian di Indonesia dan di sini beberapa berbeda. Dari cara pengelolaan lahan, perawatan tanaman hingga penanganan hasil produksi yang mengutamakan kualitas. Bukan hanya sekadar kuantitasnya saja,” ujarnya.
Di sekitar tempat tinggal Anss, ada sejumlah alat pertanian. Traktor yang dalam sehari mampu membajak sawah sekitar 3 hektare. Ada juga Combine, dalam sehari mampu memanen di areal seluas 3 hektare. Lalu, mesin tanam, sehari mampu menyelesaikan 3 hektare. Serta ada mesin pengering padi dan penggilingan yang sehari bisa memproduksi 15-20 ton beras.
Kini, Anas dikaruniai empat orang anak. Nama- namanya menarik. Padu padan bahasa Jepang dengan Arab. Anak pertama diberi nama Ichisawa Sakura Asmaul Husna. Ichisawa, bukan iki sawah alias ini sawah.
Lantas, putra kedua, Ichisawa Dewa Amar Makruf Nahi Munkar. Anak ketiga, Ichisawa Musashi Pranaja Fathul Muslim. Keempat, Ichisawa Karen Sekar Arum Jannatul Balqis.
Di antara anaknya tersebut, ada yang telah menjadi santri di sebuah pesantren di Jombang. Keluarga Anas memang santri. Ia warga Nahdiyin. Dalam memberikan edukasi melalui kanal YouTube maupun di beberapa kesempatan, Anas selalu mengenakan kopiah alias songkok.
Dari Anas, kita bisa belajar bersyukur. Tidak mudah putus asa dan mudah mengeluh. Sebab, siapa yang mau bersyukur, pasti akan diberikan tambahan nikmat olehNya. (*)