Orang Tua Kunci Melindungi Anak dari Dampak Negatif Konten Digital

oleh -193 Dilihat
IMG 20250612 WA0022 2
Dra. Lisa Narwastu Kristsuana, M.PSDM., dosen Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD) di Petra Christian University (PCU)

KabarBaik.co – Fenomena konten absurd seperti Ballerina Cappucina dan Tralalero Tralala tengah membanjiri layar gawai anak-anak. Animasi yang menggambarkan benda mati atau hewan bertingkah layaknya manusia ini memang tidak logis, namun justru memikat imajinasi anak-anak yang masih berada dalam fase perkembangan.

Menurut Dra. Lisa Narwastu Kristsuana, M.PSDM., dosen Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD) di Petra Christian University (PCU), fenomena ini bukanlah hal baru. Imajinasi, katanya, memang bagian penting dari proses tumbuh kembang anak, terutama pada usia dua hingga enam tahun. Namun, saat anak mulai memasuki usia sekolah, kemampuan berpikir logis harus mulai diasah.

“Dulu kita punya Barbie dan Harry Potter yang memacu imajinasi. Tapi, kini imajinasinya semakin absurd dan tak terkendali,” ujar Lisa, Kamis (12/6).

Ia menjelaskan bahwa konten seperti ini bukan hanya menarik karena visualnya, tetapi juga akibat algoritma platform digital yang mendorong konsumsi berulang. Akibatnya, anak-anak menjadi ‘penonton pasif’ dari tayangan yang tidak mendidik.

“Ibarat tanaman yang disiram secara sembarangan, otak anak bisa rusak. Anak kehilangan fokus, menjadi emosional, dan sulit berkonsentrasi,” paparnya.

Hal ini disebabkan oleh produksi dopamin yang tidak teratur, membuat otak kehilangan struktur dalam memproses informasi. Kondisi ini berisiko memicu brainrot, istilah yang merujuk pada kerusakan kemampuan berpikir akibat paparan konten tidak terarah secara terus-menerus.

Lisa menambahkan, dampaknya tidak hanya memengaruhi kemampuan belajar, tetapi juga aspek emosi dan sosial anak. Anak cenderung lebih mudah marah, berbicara kasar, bahkan merasa cemas berlebihan. “Banyak orang tua mengeluh anak mereka lebih suka menyendiri dengan gadget dan sulit diajak berbicara,” ungkapnya.

Selain itu, empati anak juga bisa menipis.
Kebiasaan menyaksikan konten palsu dan tidak bernilai membuat anak menjadi kurang peka terhadap perasaan orang lain. Meski demikian, Lisa mengingatkan bahwa melarang sepenuhnya bukanlah solusi yang bijak.

“Semakin dilarang, anak justru semakin ingin melawan. Solusinya adalah menjadi teman bicara yang bijaksana, bukan penghakim,” jelas Lisa. Hubungan yang hangat dan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, menurutnya, menjadi tameng terbaik dalam menghadapi pengaruh buruk dunia digital.

Lisa juga menekankan pentingnya edukasi bagi orang tua dan guru, tidak hanya dalam memahami teknologi, tetapi juga dalam menanamkan nilai-nilai. “Anak harus merasa dirinya berharga, bukan karena diterima oleh teman-temannya, tetapi karena mereka tahu bahwa mereka dicintai,” katanya.

Jika anak memiliki rasa aman yang kuat dari rumah, mereka akan lebih tahan terhadap tekanan eksternal. Di tengah era digital yang serba cepat ini, kehadiran orang dewasa yang hangat dan pengertian adalah fondasi utama dalam melindungi anak dari dampak negatif konten digital.

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: Dani
Editor: Gagah Saputra


No More Posts Available.

No more pages to load.