KabarBaik.co – Lonjakan harga beras dalam sebulan terakhir dinilai perlu menjadi perhatian serius. Pakar ekonomi Universitas Airlangga (Unair) dan juga Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD mengingatkan bahwa kenaikan harga beras bukan hanya menekan daya beli rumah tangga, tetapi juga berpotensi memicu inflasi pangan yang bisa merembet ke sektor lain.
Saat ini, harga beras medium sudah menembus Rp 14.500 per kilogram, naik sekitar 15 persen dari sebelumnya. Menurut Rossanto, penyebab utama kenaikan harga beras adalah menurunnya produktivitas pertanian.
“Dulu satu hektare lahan padi bisa menghasilkan 4-6 ton gabah. Kini hasilnya jauh lebih rendah,” ungkapnya saat dikonfirmasi KabarBaik.co, Minggu (31/8).
Ia menjelaskan perubahan iklim menjadi salah satu faktor penting yang mengganggu pola produksi. Pergeseran musim tanam dan panen membuat petani kesulitan menentukan pola tanam yang tepat.
“Di beberapa daerah, masa tanam yang dulu bisa dua kali setahun, kini hanya sekali,” tambahnya.
Selain faktor iklim, alih fungsi lahan juga memperburuk kondisi. Banyak area pertanian produktif berubah menjadi kawasan non-pertanian, sementara konsumsi beras terus meningkat. Akibatnya, produksi stagnan dan harga pun terdorong naik.
Rossanto juga menyinggung program food estate yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah. Menurutnya, program tersebut belum terbukti efektif.
“Deklarasi swasembada karena tidak ada impor beberapa bulan bukan solusi. Swasembada sejati harus berkelanjutan minimal 3-5 tahun,” tegasnya.
Kenaikan harga beras, kata Rossanto, berdampak langsung pada rumah tangga miskin dan pelaku UMKM, terutama di sektor kuliner. Ia mengingatkan, setiap kenaikan 10 persen harga beras bisa meningkatkan angka kemiskinan hingga 1 persen.
“Masyarakat miskin dan UMKM kuliner dihadapkan pada dilema menaikkan harga jual atau mengurangi margin keuntungan,” jelasnya.
Meski pemerintah sudah menyalurkan bantuan beras, menurutnya efeknya masih terbatas karena tidak menjangkau semua lapisan masyarakat. Untuk UMKM, ia menyarankan adanya kontrak jangka panjang dengan Bulog agar biaya bahan baku bisa lebih stabil dan terprediksi.
Lebih jauh, Prof. Rossanto memprediksi bahwa dalam 10-20 tahun mendatang, Pulau Jawa tidak lagi bisa menjadi penyangga utama beras nasional. Karena itu, ia menekankan perlunya pengembangan lumbung pangan baru di luar Jawa.
“Pemerintah perlu menyiapkan irigasi, infrastruktur transportasi, pelatihan tenaga kerja, hingga insentif bagi petani. Upaya ini harus dikerjakan dari hulu ke hilir agar benar-benar efektif,” ujarnya.
Menurutnya, langkah strategis itu penting untuk menjaga ketahanan pangan nasional sekaligus menekan risiko inflasi akibat gejolak harga beras. (*)