Pendekatan Humanis Pangdam V/Brawijaya di Tengah Bara Krisis Grahadi

oleh -163 Dilihat
IMG 20250913 WA0009
Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Rudy Saladin saat turun langsung menemui massa.

KabarBaik.co – Malam itu, akhir Agustus 2025, Gedung Negara Grahadi, Surabaya, berada di ujung bahaya. Api berkobar dari sisi barat bangunan bersejarah itu. Sementara ribuan massa anarkistis melempar batu, petasan, bahkan molotov. Suara kaca pecah berpadu dentuman kembang api rakitan menciptakan suasana mencekam.

Namun beberapa jam sebelum bara kerusuhan menyala, Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Rudy Saladin sudah lebih dulu turun langsung menemui massa. “Ijo! Ijo! Ijo!” teriak mahasiswa ketika ia mendekat. Rudy menyambut dengan senyum tenang, mencairkan ketegangan yang sempat membeku.

Dalam situasi genting itu, ia memilih bukan kekuatan senjata, melainkan empati dan pendekatan humanis. “Saya lihat mereka dewasa. Saat ada yang melempar botol, teman-teman mahasiswa sendiri yang melarang. Mereka tak suka kerusuhan,” katanya, Sabtu (13/9).

Keputusan itu penuh risiko. Rudy sadar, selalu ada provokator yang bisa memicu bentrokan. Namun, intuisi kepemimpinan membawanya untuk berdiri di tengah kerumunan, mendengarkan tuntutan, dan membuka ruang dialog. “Mereka minta teman-temannya yang ditahan di Polrestabes Surabaya dibebaskan. Saya sampaikan, kita cari jalan bersama,” ujarnya.

Rudy kemudian bergerak ke Polrestabes Surabaya bersama Gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Kapolda Jatim untuk melobi pembebasan mahasiswa. Tetapi tak lama setelah rombongan meninggalkan Grahadi, situasi kembali membara. Api mulai melahap sisi barat gedung.

Malam itu, Rudy menegaskan ada empat hal yang menjadi senjata pemimpin dalam kondisi krisis: berpikir cepat, mengandalkan intuisi, berani mengambil risiko, dan berempati. Langkah itu terbukti manjur. Mahasiswa justru ikut menjaga ketertiban, sementara TNI dan pemadam kebakaran bahu-membahu memadamkan api.

Bagi Rudy, stabilitas tak bisa dijaga TNI sendirian. Ia menekankan pentingnya sinergi lima unsur: pemerintah, akademisi, masyarakat, media, dan dunia usaha. “Kita hidup di era post-truth. Kalau lima unsur ini tidak saling percaya, yang hancur pertama kali adalah ekonomi. Dunia usaha harus yakin pemerintah mampu menjaga keamanan,” tegasnya.

Ketegangan malam itu menguji koordinasi. Kepala Staf Korem 084/Bhaskara Jaya, Kolonel Inf Nico Reza H. Dipura, mendapat instruksi langsung dari Pangdam. “Segera padamkan,” perintah singkat Rudy, yang segera diterjemahkan Nico menjadi gerakan cepat pengamanan lokasi agar pemadam bisa bekerja.

Di tengah kepanikan, Wakil Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Surabaya, Bambang Vistadi, mengatur siasat. Empat truk damkar diarahkan masuk dari sisi belakang. Selang ditarik sejauh mungkin, sementara 24 petugas bergantian menyemprot api dengan metode spray dan jet.

“Kalau terlambat lima menit saja, habis sudah Grahadi,” kenang Bambang.
Dengan dukungan TNI yang membuka akses, empat unit damkar – dua berkapasitas 3.000 liter dan 5.000 liter, ditambah dua lagi 10.000 liter – akhirnya mampu menjinakkan si jago merah. Api berhasil dipadamkan sebelum merembet ke gedung utama.

Malam itu, krisis yang nyaris membakar simbol sejarah Jawa Timur berakhir dengan pelajaran berharga: keberanian, koordinasi, dan empati bisa menjadi pemadam paling ampuh di tengah kobaran amarah massa.

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: Dani
Editor: Gagah Saputra


No More Posts Available.

No more pages to load.