SETIAP langkah menuju Tanah Suci adalah seutas benang emas yang dijalin langsung oleh takdir. Dijahit rapi dalam kain kebesaran Ilahi. Ia tidak selalu disulam dengan gegap. Tidak pula selalu didahului oleh doa yang riuh. Kadang, seperti desir angin di antara dedaunan, kepergian itu sunyi. Namun, dalam kesunyian itu juga tersembunyi makna dan hikmah.
Pada tahun 2013, bersyukur saya berkesempatan menjadi bagian dari Media Center Haji (MCH) Kementerian Agama (Kemenag) RI. Bukan sebagai jemaah reguler, melainkan sebagai bagian dari pelayan para tamu Allah. Saya di antara yang memilih berangkat dalam kesunyian. Hanya keluarga inti yang tahu. Tak ada undangan tasyakuran. Saya membiarkan perjalanan ini mengalir seperti air yang tidak memerlukan kecipak untuk menunjukkan arah.
Baca juga: Panggilan Langit
Senyum juga kala mengenang. Beberapa hari sebelum berangkat, saya diundang sahabat lama semasa kuliah di Unair. Teman akrab cangkrukan sekaligus ’’pergerakan’’. Begitu banyak lembar cerita ’’hitam-putih’’ bersamanya dan sahabat lain semasa kuliah di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), yang kini berubah jadi Fakultas Sains dan Teklonogi. Mulai sendau gurau di tempat kos, kantin kampus hingga mengggelar sejumlah event bersejarah di kampus. Salah satunya sukses menghadirkan Cak Nun dan musik Kiai Kanjeng. Lalu, istighotsah akbar di masa Reformasi bersama sejumlah kiai khas. Biayanya, hasil urunan antarmahasiswa.
Nama sahabat karib saya, Miftahul Ulum. Malam ketika itu, saya ke Sidoarjo. Menghadiri undangan doa jelang keberangkatannya bersama istrinya ke Tanah Suci. Berhaji. Sebuah tradisi baik yang jamak di masyarakat kita. Di mana doa menjadi jembatan yang menghubungkan bumi dan langit. Saya hadir, duduk bersila di antara tamu-tamu lainnya. Menyimak ayat-ayat suci dan doa yang mengalir seperti embun dari lisan sang ustad. Saya tidak berkata apa pun tentang rencana keberangkatan saya ke Tanah Suci. Bukan karena enggan berbagi, melainkan karena saya merasa perjalanan ini bukan milik saya sendiri. Saya hanya perantara.
Beberapa waktu kemudian, di bawah langit Makkah yang membentang penuh cahaya, saya mengunggah sebuah foto. Sebuah potret sederhana dengan latar Zam-zam Tower, bangunan megah yang menjulang di antara bangunan-bangunan suci lainnya. Tidak butuh waktu lama, pesan ke Ulum itupun masuk. “Lho, awakmu juga di sini? Kenapa tidak bilang waktu di rumah?”
Baca juga: Sepuntung Asap di Tanah Suci
Pertanyaan itu tidak hanya menyapa saya dalam layar gawai, tapi juga mengetuk pintu hati. Saya terdiam. Dalam tanya itu, saya menangkap sebuah gemuruh keingintahuan, mungkin juga sebersit kecewa. Maklum, kami sejatinya teman akrab. Namun, lebih dari itu, saya menangkap isyarat dari langit bahwasetiap pertemuan memiliki takdirnya sendiri.
Bukankah Allah SWT telah berfirman: “Dan tiadalah kamu menghendaki (untuk menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir: 29)
Diam-diam, saya merenung. Barangkali memang harus seperti itu. Barangkali, jika saya menyampaikan kabar saat itu, maka benih-benih duniawi akan tumbuh. Rasa ingin tahu yang berlebih, obrolan yang melebar, atau bahkan perasaan dan prasangka yang tak perlu. Dengan memilih diam, setidaknya ikhtiar untuk saling menjaga kesucian niat, memelihara keikhlasan.
Ada filosofi dalam diam. Dalam tradisi tasawuf, diam bukan sekadar tidak berkata-kata, melainkan bentuk tertinggi dari komunikasi dengan Tuhan. Ketika lisan terbungkam, hati bicara. Ketika manusia berhenti menjelaskan, Allah yang akan menerangkan.
Menyusuri Jejak Sunyi di Langit Hira
Seperti pertemuan kami di rumahnya Ulum, yang dalam pandangan dunia mungkin biasa saja. Namun, jika ditilik dari sisi batin, ada misteri yang dibungkus dalam wujud keakraban. Bukankah kita seringkali bertemu bukan untuk saling menyapa secara lahiriah, melainkan untuk menggenapi skenario yang telah Allah tulis dalam Lauhul Mahfuzh?
Dalam hadis disebutkan: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Saya datang ke rumahnya bukan hanya untuk menghadiri doa. Namun, mungkin, secara tidak sadar, untuk menanamkan sebuah tanda di hati kami berdua. Tanda bahwa perjalanan ini tidak dimulai ketika kaki melangkah ke pesawat, tapi saat hati menerima panggilan.
Berjalan di lorong-lorong Masjidil Haram, saya pun kerap merenungi pertemuan itu. Barangkali pertemuan tanpa pengakuan itu menjadi pelajaran bagi saya sendiri. Bahwa, tidak semua hal harus diumumkan. Bahwa, keikhlasan terkadang tumbuh subur dalam ketiadaan pengakuan.
Dalam dunia yang validatif, diam bisa menjadi bentuk tertinggi dari penghambaan. Ia seperti malam yang memeluk siang. Memberi ruang bagi bintang-bintang untuk bersinar tanpa takut kehilangan makna.
Dari peristiwa tersebut, saya belajar tentang pentingnya menyimpan sebagian cerita untuk Tuhan. Bahwa, tidak semua perjalanan perlu diketahui semua orang. Ada kisah yang mungkin cukup diceritakan pada untaian tasbih dan sajadah, ada peristiwa yang cukup Allah saja yang menjadi saksi.
Ulum mungkin terkejut bukan karena saya berhaji. Tapi, karena saya tidak berkata. Dan mungkin, dalam setiap keterkejutan itu ada pelajaran juga untuknya. Bahwa, Allah bisa menghadirkan siapa pun di tempat suci-Nya, dengan jalan yang tak pernah kita duga. Bukankah Nabi Ibrahim pun tidak mengumumkan kepada orang-orang bahwa ia akan menyembelih putranya? Ia hanya menyampaikan lewat mimpi, lalu melaksanakan dalam nyata. Begitu pula dengan banyak nabi dan wali, yang seringkali lebih banyak berbisik.
Baca juga: Hajar Aswad dan Nama Ibu
Sepulang dari Tanah Suci, saya membawa pulang lebih dari sekadar sebuah kenangan lucu tersebut. Saya membawa pulang pelajaran tentang makna dari sebuah perjalanan. Tentang bagaimana sebuah pertemuan sederhana di rumah sahabat akrab bisa menjadi pengingat bahwa dalam hidup ini, begitu banyak hal yang lebih dalam dari apa yang tampak.
Dalam sunyi, ada hikmah. Dalam tidak berkata, ada kejujuran. Dalam tidak mengumumkan, ada kesungguhan.
Kini, setiap kali mengingat peristiwa itu, saya tidak hanya mengingat foto di depan Zam-zam Tower, atau percakapan di pesan singkat. Saya mengingat betapa Allah SWT menyusun takdir dengan sangat indah, seperti menulis puisi di langit, dengan tinta cahaya dan pena rahmat.
Perjalanan ke Tanah Suci bukanlah tentang siapa yang tahu, tapi tentang siapa yang dipanggil. Dan ketika kita telah sampai di sana, semua nama dan status luruh, yang tersisa hanya satu identitas. Tamu Allah. “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…” (QS. Al-Baqarah: 196)
Saya berangkat bukan sebagai siapa-siapa, tapi sebagai pelayan. Dan mungkin itulah cara terbaik berhaji, dengan menyadari bahwa kita bukan raja, bukan tamu kehormatan. Namun, budak yang rindu untuk mencium debu di hadapan-Nya.
Kini saya tahu, bahwa dalam setiap pertemuan yang tampak biasa, bisa jadi ada takdir besar yang tersembunyi. Bahwa tidak semua yang tidak dikatakan adalah kebohongan. Bisa jadi, itu adalah bentuk paling halus dari ketulusan.
Banyak jalan berhaji dengan jalan berbeda. Tapi mereka bertemu di tempat yang sama. Disatukan oleh panggilan yang sama, dan dirajut dalam takdir yang sama. Dan bukankah itu cukup untuk membuat kita bersyukur?
Perjalanan ini telah usai secara fisik, tapi hakikatnya belum benar-benar selesai. Karena setiap langkah kaki di Tanah Suci adalah awal dari perjalanan batin yang terus mengalir. Ia bukan akhir, melainkan awal. Dan semoga, kita semua, diberi kesempatan untuk kembali. Dalam ikhlas, dalam cinta yang hanya Allah Yang Maha Tahu.
“Barang siapa yang menunaikan haji karena Allah semata, tidak berkata kotor dan tidak berbuat fasik, maka ia pulang seperti hari dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sepi yang penuh zikir, dalam diam yang penuh makna, saya temukan bahwa berkesempatan menjadi pelayan itu anugerah. Sebuah jalan sunyi untuk terus berupaya mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan, bagi saya, pertemuan di rumah Ulum itu, bukan hanya nostalgia. Ia adalah pintu masuk menuju pemahaman baru tentang apa arti sebuah perjalanan. Perjalanan yang kadang tidak perlu pamit, cukup niat baik. Insya Allah ada kabar baik. (*/bersambung)